Rabu, 29 Juni 2016

THR dan Wawasan Kebangsaan

Memasuki bulan Ramadhan, isu yang sensitif bagi para pekerja adalah pemberian Tunjangan Hari Raya (THR). Lalu apa hubungannya THR dengan upaya menumbuhkan wawasan kebangsaan bagi kalangan pengusaha dan buruh?

THR merupakan hak bagi pekerja. THR ini wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja. Meski wajib, dalam praktik masih banyak pengusaha yang enggan atau lalai dalam membayarkan THR.

Ujung-ujungnya, pengaduan pun datang. Posko yang dibentuk oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya bersama Serikat Buruh Jawa Timur mencatat, setiap tahun pelanggaran terhadap hak-hak pekerja ini selalu saja terjadi.

Pada 2014, terdapat 8.127 pekerja yang terlanggar haknya oleh 114 perusahaan yang tersebar di Jawa Timur. Sementara itu, pada 2015, terdapat 7.746 pekerja yang kembali terlanggar haknya oleh 46 perusahaan di Jawa Timur yang sebaran daerahnya tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

Modus yang dilakukan oleh perusahaan pelanggar hak atas pemberian THR sangat beragam. Di antaranya adalah pekerja kontrak, outsourching, maupun harian lepas tidak diberi THR. Ada juga perusahaan yang memberikan THR tidak sesuai dengan aturan pemerintah, yakni bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk barang.

Pada 2016 kali ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Kehadiran kebijakan eksekutif tersebut menggantikan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Ada berbagai hal baru dalam kebijakan yang ditetapkan di Jakarta pada 8 Maret 2016 yang lalu itu. Di antaranya adalah pada Pasal 3 ayat (1) huruf b disebutkan, “Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja …”. Sebelumnya, pekerja baru dapat menikmati THR ketika sudah bekerja secara terus-menerus minimal tiga bulan.

Lalu, terkait sanksi yang dikenakan terhadap perusahaan juga mengalami pembaruan. Sebagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (1), pengusaha yang terlambat membayar THR dikenai denda 5% dari total THR yang harus dibayar.

Wawasan Kebangsaan

Pada faktanya, pelanggaran atas pemberian THR selalu saja terjadi setiap tahunnya. Walaupun sudah ada sanksi yang mengancam, perusahaan-perusahaan pelanggar hak asasi pekerja itu masih saja tak ketakutan. Di sisi yang lain, aparatur pemerintah kurang maksimal dalam hal penegakan aturan.

Jika tawaran agar aturan tentang pemberian THR ini tidak begitu mudah diacuhkan oleh perusahaan, maka perlu kiranya dirumuskan sebuah kebijakan kriminalisasi atas pelanggaran tersebut. Sanksi yang sebelumnya hanya bersifat administratif, ke depan akan ada jerat pidana bagi pengusaha yang tidak memberikan THR kepada pekerja.

Tentu, jika melihat Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka peraturan menteri tak memenuhi kualifikasi untuk dapat memuat materi muatan mengenai ketentuan pidana. Dalam hal ini, kebijakan kriminalisasi pelanggaran pemberian THR hanya mungkin dirumuskan pada sebuah undang-undang atau peraturan daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Menurut Sudarto (1983: 44), penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata spiritual berdasarkan Pancasila. Agar tujuan pembangunan nasional tercapai, maka diperlukan pedoman yang tepat dan kuat berupa konsepsi wawasan kebangsaan yang berdasar pada Pancasila.

Dalam berbagai literatur, hakikat wawasan kebangsaan adalah cara pandang yang utuh dan menyeluruh demi mewujudkan tujuan pembangunan nasional yang terjabarkan pada alinea IV Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Artinya, dalam tawaran kriminalisasi pelanggaran pemberian THR ini, wawasan kebangsaan menjadi pedoman bagi penyusun kebijakan bahwa berdayanya pekerja melalui pemenuhan hak asasinya adalah suatu keniscayaan dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional.

Selain itu, kriminalisasi pelanggaran pemberian THR berperspektif wawasan kebangsaan memiliki makna bahwa kebijakan tersebut merupakan ikhtiar aspiratif untuk pekerja demi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Pasalnya, Abdul Fatah (2016: 3) menyampaikan, pekerja adalah aktor penting dalam pembangunan daerah, yakni ketika hak-hak normatifnya terpenuhi melalui kehidupan industrial yang kondusif.

Memperhatikan fakta lemahnya penegakan hukum secara administratif terhadap perusahaan yang melanggar dan hakikat wawasan kebangsaan, sudah saatnya disusun sebuah kebijakan yang progresif. Salah satu di antaranya yang dapat segera disusun adalah kebijakan kriminalisasi pelanggaran pemberian THR. Semoga.

-

Terbit di Radar Surabaya pada Jumat, 24 Juni 2016. Klik di sini.

Tidak ada komentar

Posting Komentar