Pasal 44 ayat (4) UU No. 24 Tahun 2013 tidak jelas menyebutkan badan peradilan mana yang mempunyai kewenangan menetapkan ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya. Untuk itu, penelitian ini fokus terhadap 2 (dua) permasalahan. Pertama, praktik peradilan perdata tentang permohonan penetapan orang hilang. Kedua, pemaknaan kewenangan mengadili dalam praktik peradilan perdata tentang permohonan penetapan orang hilang.
Penelitian ini termasuk dalam theoritical research dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), kasus (case approach), dan konseptual (conseptual approach). Hasil penelitian ini menjawab 2 (dua) permasalahan. Pertama, dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan penetapan orang hilang, peradilan umum menggunakan aturan mengenai keadaan tidak hadir (afwezig) menurut Pasal 467 dan Pasal 468 KUH Perdata, sedangkan peradilan agama menggunakan dasar hukum yang berkaitan dengan hukum kewarisan.
Kedua, untuk memeriksa dan mengadili perkara permohonan penetapan orang hilang, kewenangan peradilan umum berdasarkan pada Pasal 467 dan Pasal 468 KUH Perdata, sedangkan kewenangan badan peradilan agama masih membutuhkan penafsiran hukum hakim terhadap pokok permohonan, yaitu apakah mempunyai keterkaitan dengan hukum kewarisan atau tidak. Perkara permohonan penetapan orang hilang, sepanjang dikaitkan dengan hukum kewarisan, dapat membuka kembali hak opsi bagi orang beragama Islam untuk memilih badan peradilan mana guna mendapatkan kepastian hukum mengenai keadaan tidak hadir seseorang.
-
Untuk membaca selengkapnya dan/atau mengunduhnya, sila klik di sini.(*)
Jadi setelah saya baca artikel diatas, saya dapat menyimpulkan bahwa Pasal 44 ayat UU No. 24 Tahun 2013 tidak jelas menyebutkan badan peradilan mana yang mempunyai kewenangan menetapkan ketidakjelasan keberadaan seseorang karena hilang atau mati tetapi tidak ditemukan jenazahnya. Pertama, praktik peradilan perdata tentang permohonan penetapan orang hilang. Kedua, pemaknaan kewenangan mengadili dalam praktik peradilan perdata tentang permohonan penetapan orang hilang.
BalasHapusHasil penelitian ini menjawab 2 permasalahan. Pertama, dalam memeriksa dan mengadili perkara permohonan penetapan orang hilang, peradilan umum menggunakan aturan mengenai keadaan tidak hadir menurut Pasal 467 dan Pasal 468 KUH Perdata, sedangkan peradilan agama menggunakan dasar hukum yang berkaitan dengan hukum kewarisan.
MOCH.ABDUL ROSYID_931111518_A