Soerjono Soekanto menyebutkan, suatu sistem itu merupakan keseluruhan yang terangkai yang mencakup unsur (the elements), divisi (the division), konsistensi (the consistency), kelengkapan (completeness), dan pengertian dasarnya (the fundamental concepts). Sementara itu, peradilan adalah sebuah proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus, dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum in concreto untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara yang ditetapkan oleh hukum formal.
Jadi, sistem peradilan adalah keseluruhan yang terangkai yang mencakup unsur, divisi, konsistensi, kelengkapan, dan pengertian dasarnya mengenai proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus, dan mengadili perkara dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum in concreto untuk mempertahankan dan menjamin ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara yang ditetapkan oleh hukum formal.
Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 menyatakan, kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Pasal 24A UUD NRI Tahun 1945 menentukan, MARI berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Sebelum September 2011, MARI mengalami sejumlah masalah terkait penanganan perkara. Di antara masalah yang dimaksud adalah: (1) sulitnya memantau status penyelesaian perkara; (2) putusan yang inkonsisten; (3) minimnya panduan bagi pengadilan tingkat bawah dalam memutus perkara; (4) beban perkara pada MARI menjadi sangat besar; dan (5) bergesernya fungsi kasasi. Oleh karena itu, lahirlah sistem kamar yang tujuannya untuk: (1) menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan; (2) meningkatkan profesionalitas Hakim Agung; serta (3) mempercepat proses penyelesaian perkara.
Sebelumnya, sistem kamar pada MARI didasarkan pada Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (SK KMA RI) Nomor: 142/KMA/SK/IX/2011, SK KMA RI No. 017/KMA/SK/II/2012, dan SK KMA RI No. 112/KMA/SK/VII/2013. Pada akhirnya, 3 (tiga) keputusan tersebut disempurnakan melalui SK KMA RI No. 213/KMA/SK/XII/2014, tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, tanggal 30 Desember 2014. Di samping itu, terbit pula SK KMA RI No. 214/KMA/SK/XII/2014, tentang Jangka Waktu Penanganan Perkara pada Mahkamah Agung Republik Indonesia, tanggal 31 Desember 2014.
Kamar perkara adalah kamar yang memeriksa dan mengadili perkara kasasi dan peninjauan kembali serta perkara lain yang menjadi kewenangan MARI. Kamar-kamar yang dimaksud adalah kamar pidana, kamar perdata, kamar agama, kamar militer, dan kamar tata usaha negara. Setiap kamar terdiri atas: (1) ketua kamar (ex officio adalah Ketua Muda MARI); (2) hakim agung dan hakim ad-hoc khusus bagi kamar pidana dan kamar perdata; (3) panitera muda kamar; dan (4) panitera pengganti. setiap hakim agung dan hakim ad-hoc hanya dapat menjadi anggota salah satu kamar dengan memperhatikan asal lingkungan peradilan dan/atau latar belakang pendidikan formal (spesialisasi).
Alur penerapan sistem kamar dalam penanganan perkara adalah: (1) penerimaan berkas perkara (maksimal 5 hari); (2) penelaahan berkas perkara (maksimal 14 hari); (3) registrasi berkas perkara (maksimal 14 hari); (4) penetapan kamar, penetapan majelis, dan distribusi berkas perkara (maksimal 7 hari); (5) penetapan hari musyawarah dan ucapan (maksimal 6 hari); (6) pembacaan berkas perkara (maksimal 97 hari); (7) persidangan musyawarah dan ucapan (maksimal 5 hari); (8) minutasi (maksimal 98 hari); serta (9) pengiriman berkas perkara (maksimal 14 hari). Secara umum, menurut SK KMA RI No. 213/KMA/SK/XII/2014, tidak ada perbedaan signifikan dalam penerapan sistem kamar dalam penanganan perkara, perdata, dan tata usaha negara. Sepanjang undang-undang menentukan adanya kasasi maupun peninjauan kembali terhadap suatu perkara, maka mekanisme sistem kamar yang akan digunakan oleh MARI untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Setiap kamar menyelenggarakan rapat pleno kamar secara rutin sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan pada hari yang telah ditetapkan oleh ketua kamar. Rapat pleno kamar dapat memiliki agenda: (1) pembahasan substansial perkara yang mencakup permasalahan hukum (question of law) yang timbul dari masing-masing perkara dan/atau penafsiran hukum majelis hakim atas permasalahan hukum tersebut; (2) pembahasan administrasi perkara; dan/atau (3) agenda lain yang ditetapkan oleh ketua kamar.
Tujuan rapat pleno kamar adalah: (1) menjaga konsistensi putusan dalam kamar yang bersangkutan; (2) mencegah kemungkinan terjadinya penyimpangan; (3) memperkecil peluang kekeliruan atau kekhilafan hakim agung dan hakim ad-hoc yang mungkin terjadi; (4) meningkatkan kehatian-hatian hakim agung dan hakim ad-hoc dalam memutus perkara; (5) sebagai mekanisme kontrol ketua kamar dalam manajemen perkara untuk mengetahui secara teratur jumlah dan status perkara yang ditangani oleh masing-masing majelis hakim dalam kamar; dan (6) sebagai mekanisme akuntabilitas majelis hakim yang menjadi anggota kamar dalam memutus perkara.
Kesepakatan rapat pleno kamar yang membahas substansi suatu perkara tidak mengikat majelis hakim dalam memutus perkara. Apabila terdapat perbedaan pendapat setelah rapat pleno kamar, maka perkara diputus dengan mencantumkan dissenting opinion. Terkait hal ini, rumusan hukum hasil rapat pleno kamar yang telah disahkan oleh Ketua MARI sedapat-dapatnya ditaati majelis hakim.
Monitoring kepatuhan dan pelaporan terkait penerapan sistem kamar dilakukan sebagai berikut: (1) panitera muda kamar secara berkala melaporkan penanganan perkara pada kamar kepada panitera muda perkara sesuai dengan jenis perkara; (2) panitera muda perkara secara berkala melaporkan penanganan perkara kepada Panitera MARI; dan (3) kepaniteraan MARI melaksanakan monitoring kepatuhan proses penanganan perkara serta mengelola data dan informasi perkara untuk dilaporkan kepada Ketua MARI secara berkala. Atas adanya laporan tersebut Ketua MARI dapat memberikan reward and punishment.
-
Disampaikan dalam “Pendidikan dan Pelatihan Kemahiran Hukum 2021” yang diselenggarakan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya bekerja sama dengan A.F.P. Law Firm pada tanggal 9 Februari 2021.
Tidak ada komentar
Posting Komentar