Jumat, 01 Oktober 2021

Strategi Penanganan Perkara: Pandangan Singkat dan Refleksi Pengalaman Praktik Hukum

Selama berpraktik sebagai advokat, ada 4 (empat) hal pokok yang saya lakukan ketika menangani suatu perkara hukum. Barangkali ada yang membaca opini ini, keempatnya tidak baku. Bisa ditambahkan. Bahkan, juga bisa dikurangi. Keempatnya adalah melakukan interview, memahami karakteristik perkara, menentukan forum penyelesaian, dan memetakan pihak ketiga.

Pertama, melakukan interview. Advokat mengatur arah serta mengendalikan irama dan tempo pembicaraan dengan klien. Namun, pastikan menjadi pendengar yang baik bagi calon klien atau klien sebagai upaya untuk menumbuhkan kepercayaan.

Saat interview berlangsung, pastikan dapat memilah-milah antara isu dengan fakta hukum. Informasi-informasi yang mengandung fakta hukum yang harus digali lebih dalam.

Fakta-fakta hukum yang didapatkan sebisa mungkin disertai dengan alat bukti. Petakan berdasarkan karakteristik perkaranya.

Setiap perkara idealnya mempunyai alat bukti yang harus disesuaikan dengan ketentuan undang-undang. Ingat, pembuktian adalah jantungnya peradilan. Dalil-dalil yang kalimatnya disusun sesempurna mungkin tidak akan berarti apa-apa tanpa ada alat bukti yang dapat membuktikannya.[1]

Selanjutnya, melakukan riset hukum. Produk dari riset hukum ini adalah legal opinion[2]. Susun berdasarkan fakta hukum dan alat bukti. Bisa menggunakan metode penulisan restatement[3].

Kedua, memahami karakteristik perkara. Memahami karakteristik perkara pidana, misalnya, dimaksudkan untuk memberikan dasar atas pembelaan-pembelaan yang akan dilakukan oleh penasihat hukum terhadap saksi, tersangka, maupun terdakwa.

Pada aspek materiil, perlu memahami perkembangan mengenai tujuan pemidanaan, misalnya, restorative justice, ruang lingkup berlakunya hukum pidana, karakteristik tindak pidana, dolus dan culpa, poging, deelneming, samenloop dan recidive, alasan-alasan penghapus pidana, serta hapusnya kewenangan menuntunt dan menjalankan pidana.[4] Sementara itu, pada aspek formil, perlu memahami karakteristik penyelidikan, penyidikan, upaya paksa, bantuan hukum, penuntutan, praperadilan, pembuktian, putusan, dan upaya hukum.[5]

Memahami karakteristik perkara perdata, misalnya, dimaksudkan agar pekerjaan mewakili kepentingan hukum klien oleh advokat berada pada batasan yang jelas. Demikian juga dapat menjadi dasar dalam memilih forum yang tepat untuk menyelesaikan perkara.

Pada aspek materiil, perlu memahami karakteristik subjek hukum, domisili, catatan sipil, hukum perkawinan, hukum keluarga, hukum kebendaan, hukum kewarisan, hukum jaminan, hukum perikatan, wanprestasi (cidera) janji, dan perbuatan melawan hukum. Sementara itu, pada aspek formil, perlu memahami karakteristik surat kuasa, permohonan dan gugatan, alternatif penyelesaian sengketa, kompetensi pengadilan, jawaban, eksepsi, rekonvensi, penyitaan, intervensi, pembuktian, putusan, upaya hukum, serta perkembangan model gugatan.[6]

Memahami karakteristik perkara tata usaha negara, misalnya, dimaksudkan agar pekerjaan mewakili kepentingan hukum klien oleh advokat berada pada batasan yang jelas. Demikian juga dapat menjadi dasar dalam memilih forum yang tepat untuk menyelesaikan perkara.

Pada aspek materiil, perlu memahami karakteristik pejabat tata usaha negara dan wewenang, substansi, serta prosedur terkait keputusan tata usaha negara. Sementara itu, pada aspek formil, perlu Memahami karakteristik upaya administratif (keberatan dan banding), kompetensi pengadilan, adanya kepentingan penggugat, tenggang waktu mengajukan gugatan, dan uraian alasan penggugat.[7]

Ketiga, menentukan forum penyelesaian. Pada prinsipnya, tidak semua perkara harus diselesaikan melalui litigasi. Peluang nonlitigasi[8] perlu dimaksimalkan. Apalagi untuk perkara-perkara perdata. Pastikan mempertimbangkan hasil interview dan karakteristik perkara untuk menentukan forum penyelesaian yang tepat.

Keempat, memetakan pihak ketiga. Tidak menutup kemungkinan, penyelesaian perkara melibatkan pihak-pihak di luar perkara. Tentu, paling tidak, pihak-pihak tersebut mempunyai visi yang sama.

Kehadiran pihak-pihak di luar perkara akan menambah “amunisi” bagi advokat untuk melakukan pekerjaan mewakili dan/atau membela kepentingan hukum klien. Dalam perkara-perkara yang menyita perhatian publik, misalnya, kehadiran mereka dapat pula mempengaruhi opini publik terhadap perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Bisa juga mempengaruhi putusan sang pengadil.

Pihak ketiga yang dimaksud, misalnya, amicus curiae. Lazim disebut sahabat pengadilan. Produknya adalah amici brief. Umumnya disusun oleh akademisi maupun peneliti independen. Dimaksudkan untuk memberikan catatan dan rekomendasi kepada hakim.[9]

Dimungkinkan juga peran media massa. Pada masa digital seperti saat ini, kehadirannya masih sangat penting untuk memberikan informasi yang mendalam. Sekaligus juga mempengaruhi opini publik.

Begitu juga dapat melibatkan nongoverment organization (NGO). Organisasi nirlaba dan independen. Memberdayakan masyarakat melalui kampanye, pendidikan, pelatihan, dan lain sebagainya.


[1] Untuk perkara pidana, alat bukti sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu surat, keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Lihat, Moch Choirul Rizal, Diktat Hukum Acara Pidana (Kediri: Fakultas Syariah IAIN Kediri, 2021), 55–63. Untuk perkara perdata, alat bukti sesuai dengan Pasal 164 HIR, Pasal 248 Rbg, dan Pasal 1866 BW, yaitu tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Lihat, Anggit Satriyo Nugroho et al., Modul Pendidikan Dan Pelatihan Kemahiran Hukum (Surabaya: Anggit, Fatah, Priyono (A.F.P.) Law Firm, 2019), 20–21. Untuk perkara tata usaha negara, alat bukti sesuai Pasal 100 UU PTUN, yaitu surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan hakim. Lihat, Ibid., 38–39.
[2] Panduan praktis menyusun legal opinion, lihat Nugroho et al., Modul Pendidikan Dan Pelatihan Kemahiran Hukum, 61–70.
[3] Lihat, misalnya, Moch Choirul Rizal, “Restatement Terhadap Konsep Dalam Hukum Tentang Keluarga Sesuai Kewenangan Mengadili Peradilan Agama Di Indonesia,” Repository Publikasi Ilmiah, last modified 2019, accessed August 18, 2020, https://repositori.in/index.php/repo/article/view/5. atau Nurhana, “Penjelasan Hukum Tentang Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam Hukum Acara Pidana Di Indonesia,” Jurnal Studi Hukum Pidana 1, no. 1 (2021): 21–28.
[4] Lihat selengkapnya, Moch Choirul Rizal, Buku Ajar Hukum Pidana (Kediri: Lembaga Studi Hukum Pidana, 2021), 1–303.
[5] Rizal, Diktat Hukum Acara Pidana, 1–77.
[6] Lihat, Nugroho et al., Modul Pendidikan Dan Pelatihan Kemahiran Hukum, 14–22.
[7] Ibid., 24–41.
[8] Lihat, misalnya, Ibid., 43–59.
[9] Lihat, Rizal, Diktat Hukum Acara Pidana, 15.

-

Disampaikan dalam "Program Pendidikan Klinik Hukum" yang diselenggarakan oleh Fakultas Bisnis, Hukum, dan Ilmu Sosial Universitas Muhammadiyah Sidoarjo bekerja sama dengan A.F.P. Law Firm pada tanggal 29-30 September 2021.

Tidak ada komentar

Posting Komentar