Penyidikan dalam kasus film yang diduga bermuatan pornografi di Jakarta Selatan masih berlangsung. Beberapa hari terakhir, penyidik telah memeriksa sebagian pemeran dalam film dewasa itu.
Mereka yang telah diperiksa penyidik kompak menyebut dirinya sebagai korban. Serangkaian kata dan perbuatan sang produser, Irwansyah, dinilai telah berhasil menipudaya mereka.
Kriminalisasi Objek atau Model Pornografi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi melarang 33 perbuatan terkait pornografi. Perbuatan-perbuatan tersebut dirumuskan dalam sepuluh pasal. Mulai dari Pasal 29 hingga Pasal 38.
Pasal 8 UU No. 44 Tahun 2008 melarang setiap orang untuk menjadi objek atau model pornografi. Menurut Pasal 34 UU No. 44 Tahun 2008, pelakunya dapat diancam pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah.
Rumusan Pasal 8 UU No. 44 Tahun 2008 adalah “Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi”. Dari rumusan ini, ada empat bentuk tindak pidana yang perlu ditelaah.
Pertama, frasa “dengan sengaja menjadi objek yang mengandung muatan pornografi”. Unsur “dengan sengaja” dapat diartikan bahwa inisiatif melakukan tindak pidana ada pada diri pelaku.
Risalah penjelasan penyusunan pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah memberikan pengertian terhadap kata sengaja (yang dalam bahasa Belanda disebut “opzet/dolus”). Yaitu, sengaja melakukan suatu kejahatan adalah melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui (Leden Marpaung, 2008: 13).
Dalam doktrin hukum pidana, sengaja itu ada tiga bentuk. Ada sengaja sebagai maksud. Lalu, sengaja sebagai kepastian. Juga, sengaja sebagai kemungkinan. Ketiganya memiliki derajat yang sama, yaitu sengaja.
Penempatan unsur “dengan sengaja” sebelum unsur-unsur yang lain bukanlah tanpa makna. Dengan penempatan demikian, unsur “menjadi objek yang mengandung muatan pornografi” harus dilakukan dengan sengaja, yaitu dikehendaki dan diketahui oleh pelaku.
Lalu, unsur “menjadi objek”. UU No. 44 Tahun 2008 tidak memberikan penjelasan. Menurut Adami Chazawi (2016: 175), kata “menjadi objek” dalam konteks Pasal 8 jo Pasal 34 UU No. 44 Tahun 2008 adalah yang sebelumnya “bukan objek” berubah “menjadi objek” yang “mengandung muatan pornografi”.
Kata “objek” tersebut di atas harus dihubungkan dengan unsur “yang mengandung muatan pornografi”. Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008 telah memerinci isi atau muatan pornografi secara limitatif (Adami Chazawi, 2016: 177).
Kedua, frasa “dengan sengaja menjadi model yang mengandung muatan pornografi”. Perbedaan pemaknaan terhadap tindak pidana bentuk yang kedua ini hanya pada kata “model”. Seperti halnya kata “objek”, “model” harus dihubungkan dengan unsur “yang mengandung muatan pornografi” sebagaimana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008.
Ketiga, frasa “atas persetujuan dirinya menjadi objek yang mengandung muatan pornografi”. Unsur “atas persetujuan dirinya” dapat dimaknai bahwa inisiatif untuk menjadi objek yang mengandung muatan pornografi berasal dari subjek hukum yang lain. Namun, tetap saja, keadaan tersebut merupakan perwujudan pengetahuan dan kehendak pelaku.
Penempatan unsur “atas persetujuan dirinya” sebelum unsur-unsur yang lain dapat dimaknai sebagaimana ulasan sebelumnya terkait unsur “dengan sengaja”. Dengan penempatan demikian, unsur “menjadi objek yang mengandung muatan pornografi” harus dilakukan atas persetujuan dirinya, yaitu dikehendaki dan diketahui oleh pelaku.
Keempat, frasa “atas persetujuan dirinya menjadi model yang mengandung muatan pornografi”. Perbedaan pemaknaan terhadap tindak pidana bentuk yang kedua ini hanya pada kata “model”. Seperti halnya, kata “objek”, “model” harus dihubungkan dengan unsur “yang mengandung muatan pornografi” sebagaimana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 1 jo Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008.
Pelaku atau Korban?
Adami Chazawi (2016: 169) memberikan tiga keadaan penting untuk membuktikan unsur sengaja dalam rumusan tindak pidana, khususnya terkait pornografi. Tiga hal tersebut menjadi penting untuk menentukan kapasitas para pemeran: pelaku atau korban?
Pertama, hubungan unsur “sengaja” dengan unsur yang lain. Perlu untuk digali pengetahuan dan kehendak para pemeran film dewasa itu. Dalam hal ini, bukan soal para pemeran dijanjikan film itu legal atau illegal, misalnya. Namun, sejauh mana pengetahuan mereka tentang adegan dalam film itu yang bermuatan pornografi hingga membuat keputusan untuk berperan, termasuk menerima bayaran.
Kedua, keadaan jiwa pembuat ketika berbuat. Dalam kasus tersebut, perlu untuk memastikan bahwa para pemeran mampu atau tidak dalam menentukan kehendak. Termasuk, bagaimana ekspresi para pemeran ketika memerankan perannya dalam durasi waktu tertentu. Tentu, kehendak itu berkaitan dengan “menjadi objek atau model yang bermuatan pornografi”.
Ketiga, semua keadaan ketika perbuatan dilakukan. Merujuk pendapat Adami Chazawi (2016: 174), keadaan waktu serta tempat ketika para pemeran film tersebut menjadi objek atau model, alat yang digunakan, cara alat digunakan, dan lain sebagainya menjadi penting untuk menentukan ada kesengajaan atau tidak.
Memang, vonis sebagai pelaku tindak pidana adalah wewenang hakim. Tapi, pintu masuknya dari penyidikan yang dilakukan penyidik. Pasalnya, penetapan seseorang menjadi tersangka untuk kemudian dapat diadili di pengadilan menjadi wewenang korps baju coklat.
Oleh karena itu, penyidik harus hati-hati dan cermat dalam melakukan penyidikan. Penetapan tersangka harus berbasis pada minimal dua alat bukti yang sah menurut hukum acara pidana. Juga, keilmuan hukum pidana dan yang mendukungnya. Kita tunggu!
-
Terbit di Harian Bhirawa, 27 September 2023, halaman 4. Klik di sini.
Pradita putra aribi (23301102) kelas C artikel ini sangat menarik untuk dibahas karena kita belum mengetahui pemeran tersebut dapat dikatakan pelaku atau korban.Meskipun Teks ini relevan sebagai pedoman hukum dalam menafsirkan undang-undang pornografi,Teks ini harus diterapkan dengan hati-hati,agar lembaga penegak hukum tidak merugikan korban yang mungkin ditempatkan dalam situasi eksploitasi.
BalasHapusSelain itu, dalam konteks ini, penting untuk mendorong pendekatan interdisipliner antara hukum, psikologi dan sosiologi untuk membedakan antara pelaku sebenarnya dan korban yang terkena dampak.
Nama: Ahwatus Sholichah Ramadhani
BalasHapusNIM:23301047
Kelas:HKI-C
Mata kuliah: Hukum Pidana
Dalam artikel ini yang saya pahami bahwasanya "kasus flim pornografi ini sungguh sangat miris".sudah jelas dari UU. Republik Indonesia nomor.44 tahun 2008 tentang pornografi melarang 33 perbuatan terkait pornografi.perbuatan-perbuatan tersebut dirumuskan dalam sepuluh pasal. Mulai dari pasal 29 hingga pasal 38.para pemeran yang seharusnya dilindungi malah dijadikan tersangka.padahal mereka mungkin menjadi saja menjadi korban oknum produser yang memanfaatkan situasi.dan sebagai masyarakat,kita perlu lebih kritis terhadap konten yang Kita konsumsi.jangan mudah terjebak dengan iming-iming keuntungan materi,kita juga harus mendukung upaya pemerintah dalam memberantas konten tersebut dan melindungi anak-anak mudah sekarang.
Nama: Miftakhul ilmi
BalasHapusKelas: HKI C
NIM: 23301095
Menurut saya, tiga hal untuk menentukan pembuktian unsur sengaja menurut Adawi Chazawi tersebut sudah tepat karena sebelum melakukan kontrak kerja itu pasti ada berbagai macam pertanyaan,seperti : sejauh mana pengetahuan mereka tentang film adegan dewasa .Dan saat mereka menerima kontrak kerja tersebut itu sudah termasuk melakukan film dan terkena pasal 8 UU No.44 Tahun 2008. Dan jika seumpama mereka menyebut dirinya korban kenapa bisa, kan saat mereka melakukan film tersebut jelas mereka bisa mennyimpulkan kalau film yang mereka lakukan adalah film dewasa.
Nama: Alya Roudhoh Qudsi
BalasHapusNim : 23301052
Mata kuliah : Hukum Pidana
Kelas : C
Di bagian kalimat Dalam doktrin hukum pidana, sengaja itu ada tiga bentuk. Ada sengaja sebagai maksud. Lalu, sengaja sebagai kepastian. Juga, sengaja sebagai kemungkinan. Ketiganya memiliki derajat yang sama, yaitu sengaja.
Dari situ penulis tidak menjelaskan secara detail dari "sengaja itu ada tiga bentuk :sengaja sebagai maksud, sengaja sebagai kepastian, sengaja sebagai kemungkinan". Serta terkait pasal²nya. Tidak seperti 4 bentuk tindak pidana yang salah satunya frasa "dengan sengaja menjadi objek yang mengandung muatan pornografi" yang terkait dalam penyusunan pasal-pasal dalam KUHP
Nama : Laura Rimba Famillia
BalasHapusNim : 23301073
Kelas : Hukum Pidana C
Disini saya akan memberikan beberapa komentar atas analisis artikel tersebut :
Menurut Adami Chazawi, penentuan status pemeran film pornografi sebagai pelaku atau korban didasarkan pada tiga elemen penting. Pertama, pengetahuan dan kehendak pemeran. Jika pemeran sadar bahwa adegan yang dilakukan itu mengandung unsur pornografi dan tetap berpartisipasi, mereka adalah pelaku. Sebaliknya, jika dipaksa atau ditipu, mereka menjadi korban. Kedua, keadaan jiwa pemeran. Jika ada unsur paksaan, manipulasi, atau keterbatasan mental, mereka cenderung sebagai korban, jika melibatkan anak di bawah umur mereka dinyatakan pelaku. Ketiga, keadaan saat perbuatan dilakukan. Jika pemeran dalam tekanan fisik atau psikologis, mereka korban, tetapi jika sadar dan aktif, mereka dianggap sebagai pelaku.
Lailatul Munawaroh (23301036)
BalasHapusMenurut saya dalam kasus ini terdapat 2 kondisi dimana sebagai objek pornografi ini sebagai pelaku atau korban. Menurut undang-undang pornografi, ada unsur "sengaja" yang menjadi kunci. Artinya, kalau seseorang tahu dan sadar bahwa mereka terlibat dalam pembuatan konten pornografi, mereka dianggap melanggar hukum.
Namun, jika terbukti mereka ditipu atau dimanipulasi, mereka bisa dikategorikan sebagai korban. Jadi, semua tergantung pada seberapa sadar dan seberapa bebas mereka saat membuat keputusan tersebut.
Penyelidikan harus benar-benar teliti dan objektif agar tidak ada yang dikriminalisasi secara tidak adil. Hakim akan memutuskan, tetapi penyidik harus punya bukti kuat dan tidak terburu-buru menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Gita alifia umardy (23301077)
BalasHapussaya akan mengomentari artikel tersebut:
menurut saya penyidik harus tetap melakukan pemeriksaan kepada produser dan para pemain film, dan jika memang para pemain film merasa korban dan tetap bersikukuh bahwa mereka adalah korban maka harus menyertakan bukti-bukti seperti chat,telepon atau apapun yang menguatkan bahwa para pemain film ada tekanan atau paksaan dari produser. namun para pemain bisa menjadi tersangka karena mereka mengetahui adegan yang di perankannya adalah adegan pornografi dan atas kemauan dan kesadaran dirinya sendiri.
Kelas HKI C
HapusNama: Muhammad syamsudl dluha
BalasHapuskelas: HKI C
Nim: 23301097
Dari sudut pandang saya mengenai paparan tentang pornografi diatas yang itu sangatlah menarik jika di jadikan suatu pendekatan hukum yang seimbang. Paparan diatas itu menunjukkan adanya unsur kesengajaan, persetujuan dan pemaksaan/pemanfaatan dari pihak pemeran, jadi menurut saya tidak seharusnya semua kesalahan itu harus di jatuhkan pada si pemeran. dari sini, seorang penyidik terkait kasus tersebut penting untuk mempertimbangkan bukti dan kondisi perbuatan itu terjadi. Enaknya gini, jika si pemeran tadi melakukannya dengan sengaja maka itu dapat di jerat sanksi pidana (pelaku), dan jika si pemeran tadi melakukannya secara terpaksa maka dia disebut dengan (korban).
Ayu Salsabila NIM 23301071 Kelas C. Komentar saya dari artikel diatas yaitu pornografi dijelaskan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pelaku yang mengaku menjadi korban menurut Adami Chazawi terdapat 3 unsur yang dapat membuktikan unsur sengaja dalam tindak pidana khususnya pornografi yang pertama yaitu unsur sengaja dalam unsur sengaja tersebut diartikan bahwa sejauh mana pengetahuan pemeran film tentang adegan yang dilakukan saat menjadi pemeran film, apabila pemeran film mengetahui bahwa adegan tersebut termasuk adegan pornografi maka pemeran film menjadi pelaku bukan korban, yang kedua yaitu keadaan jiwa saat melakukan hal tersebut, keadaan jiwa yang dimaksud adalah ketika melakukan adegan pornografi tersebut apakah merasa tertekan atau tidak apabila merasa tidak tertekan atau tidak ada unsur pemaksaan maka hal tersebut termasuk sengaja, yang ketiga yaitu semua keadaan keiika perbuatan dilakukan maksudnya Ketika melakukan adegan pornografi tersebut terdapat alat yang digunakan, cara atau model dan hal hal yang mendukung adegan pornografi tersebut maka hal tersebut teramasuk kesengajaan. Dalam hal ini tugas penyidik haru lebih teliti untuk mengetahui apakah pelaku yang mengaku menjadi korban tersebut apakah benar benar korban atau hanya mengaku agar proses pengadilan adil berjalan adil bagi semua pihak.
BalasHapusTriochsa Iftitah Sukma (23301032) kelas C
BalasHapusArtikel ini membahas sebuah kasus film bermuatan pornografi yang sedang diselidiki di Jakarta Selatan memperlihatkan sisi kompleks dalam hukum terkait pornografi. Para pemeran yang mengaku sebagai korban, mengungkapkan bahwa mereka tertipu oleh produser yang memanipulasi situasi mereka. Hal ini menyoroti pentingnya penyelidikan mendalam untuk membedakan antara pelaku dan korban, serta menguji apakah peran mereka dilakukan dengan sengaja atau atas persetujuan. Selain itu, penegakan hukum harus dilakukan dengan hati-hati, memastikan adanya bukti yang sah dan mempertimbangkan niat serta kondisi psikologis setiap pihak yang terlibat.
Radita Eka Putri Widodo (23301045)
BalasHapusArtikel ini dengan cermat mengulas tentang aspek hukum terkait dugaan film bermuatan pornografi yang sedang diselidiki di Jakarta Selatan, dengan menyoroti peran para pemeran yang kini mengklaim sebagai korban. Dalam konteks ini, artikel menggali ketentuan dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, khususnya Pasal 8 yang melarang seseorang menjadi objek atau model pornografi, baik dengan sengaja maupun atas persetujuan diri mereka.
M.Agil Siroj (23301106) Kelas C.
BalasHapusPada teks tersebut membahas peran dan status hukum pemeran film bermuatan pornografi di Indonesia. Mengacu pada UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, ada perdebatan apakah mereka harus dianggap sebagai pelaku atau korban. Artikel ini menganalisis elemen "sengaja" dan "persetujuan" dalam tindak pidana serta pentingnya kehendak para pemeran saat terlibat. Kesimpulannya, status mereka (pelaku atau korban) bergantung pada penyidikan yang cermat dan bukti yang memadai.
kata “menjadi objek” dalam konteks Pasal 8 jo Pasal 34 UU No. 44 Tahun 2008 adalah yang sebelumnya “bukan objek” berubah “menjadi objek” yang “mengandung muatan pornografi”.
Nahh disini tidak dijelaskan isi dari pasal tersebut.bilamana seharusnya dijelaskan,.
Nadiva Choriq’atul Haq
BalasHapus23301057 HKI-C
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi melarang 33 perbuatan terkait pornografi. Perbuatan-perbuatan tersebut dirumuskan dalam sepuluh pasal. Mulai dari Pasal 29 hingga Pasal 38.
Pasal 8 UU No. 44 Tahun 2008 melarang setiap orang untuk menjadi objek atau model pornografi. Menurut Pasal 34 UU No. 44 Tahun 2008, pelakunya dapat diancam pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah. Dalam kasus ini Adami Chazawi (2016: 169) memberikan tiga keadaan penting untuk membuktikan unsur sengaja dalam rumusan tindak pidana, khususnya terkait pornografi.
Pertama jika ada hubungan unsur “sengaja” dengan unsur yang lain. Seperti seseorang tersebut sudah mengetahui tentang adegan dalam film itu yang bermuatan pornografi hingga membuat keputusan untuk berperan, termasuk menerima bayaran, itu bisa dikatakan sebagai pelaku.
Kedua keadaan jiwa pembuat ketika berbuat. Ketika seseorang tersebut berbuat dengan keadaan sadar tanpa adanya unsur paksaan bisa dikatakan sebagai pelaku sebaliknya Ketika seseorang tersebut dalam tekanan atau tidak sadar bisa dikatakan sebagai korban.
Ketiga keadaan waktu serta tempat ketika para pemeran film tersebut menjadi objek atau model, alat yang digunakan, cara alat digunakan, dan lain sebagainya. Kapan dan di mana perbuatan tersebut dilakukan. Keadaan ini bisa mempengaruhi niat atau kesengajaan seseorang dalam bertindak bisa dikatakan sebagai pelaku dan sebaliknya.
Nama : Arina manasikana
BalasHapusNim :22301031
menurut saya kriminalisasi objek tentang pornografi adalah isu kompleks yang membutuhkan pertimbangan matang dan sangat penting untuk menyeimbangkan antara upaya melindungi anak anak dan mencegah eksploitasi dengan menghormati hak asasi manusia dan kebebasan berekpresi dan kita juga perlu pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah,akademisi,dan masyarakat sipil untuk mencari solusi yang adil dan juga meningkatkan pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya ekploitasi seksual dan pentingnya melindungi anak anak dan juga memberikan akses yang lebih mudah terhadap layanan kesehatan dan dukungan pada korban ekploitasi seksual
Nama: kharismatul Husnah putri
BalasHapusNim: 23301008
Kelas: C
Menurut saya, kasus pornografi semakin meluas dan sangat menyebar kemana-mana. Padahal di pasal 8 UU nomer 44 tahun 2008 sudah dijelaskan tentang melarang orang menjadi objek atau model pornografi. Dan seharusnya pelaku/pengedar pornografi harus lebih teliti lagi untuk menyelidiki kasus tersebut. Karena jika tidak lebih teliti akan semakin luas lagi dan dapat merusak anak anak yang masih dibawah umur dan bisa mengakibatkan kecanduan/ untuk di contoh anak². Jadi harus lebih detail dalam penelitian tersebut.
Nama : Adinda Cindy Natasya
BalasHapusNim : 22301082
Kelas : HKI-C
Menurut saya, Apabila seseorang itu tanpa ada paksaan dan melakukannya secara sadar waktu dalam pembuatan film bermuatan pornografi, mereka ini dianggap sebagai pelaku, Karena sudah jelas bahwa itu "sengaja" jadi bisa di vonis pelaku tindak pidana.
Sedangkan sebaliknya apabila pemeran ini ada unsur ekspoloitasi, paksaan, manipulasi seperti diancaman atau dijebak. Dalam kasus ini lebih tepatnya mereka dianggap sebagai korban.
Jadi pemeran film pornografi tidak bisa dilihat secara hitam putih sebagai pelaku atau korban, yaitu tadi Merujuk pendapat Adami Chazawi (2016: 174), keadaan waktu serta tempat ketika para pemeran film tersebut menjadi objek atau model, alat yang digunakan, cara alat digunakan, dan lain sebagainya menjadi penting untuk menentukan ada kesengajaan atau tidak. Dan pada intinya dilihat dalam konteks yang lebih luas, mencakup aspek hukum, sosial, ekonomi, dan personal.
Nama : Wahyu Ardi Setiyawan
BalasHapusNim. : 23301094
Kelas. : HKI C
Saya berpendapat untuk cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa dia sebagai pelaku.
Karena ilakukan secara sadar, dimana banyak pelaku model pornografi yang memasuki platform ini dengan kesadaran penuh dan pilihan bebas. Mereka mungkin melihatnya sebagai cara untuk mendapatkan penghasilan yang signifikan atau mengejar karier yang mereka minati. Dalam konteks ini, sulit untuk menganggap mereka sebagai korban jika mereka secara sukarela memilih untuk terlibat dalam konteks tersebut.
Konteks lainnya bahwa hal ini sudah ada kontrak dan kesepakatan, Menurut saya pelaku model pornografi sering kali sudah menandatangani kontrak yang mengatur hak dan kewajiban mereka. Kontrak ini memberikan perlindungan hukum dan memastikan bahwa mereka menerima kompensasi yang adil atas pekerjaan mereka. Jika kontrak tersebut dipatuhi, maka pelaku tidak dapat dianggap sebagai korban karena mereka telah menyetujui persyaratan yang ada.
Nama:Syihabuddin shofil fuadi
BalasHapusNim:23301054
Kelas:HKI C
Menurut saya, pemahaman tentang unsur-unsur yang mengandung muatan pornografi dalam Pasal 1 angka 1 Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008 dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, terutama yang berkaitan dengan aspek sengaja, persetujuan, serta kapasitas pelaku atau korban.
1. Hubungan Unsur "Sengaja" dengan Perbuatan
Unsur "sengaja" menunjukkan bahwa pelaku memiliki pengetahuan dan kehendak terhadap perbuatannya. Dalam konteks ini, seseorang yang menjadi objek atau model dalam sebuah produk pornografi harus sadar sepenuhnya bahwa perbuatannya mengandung muatan pornografi. Kesengajaan ini mencakup tidak hanya kesadaran tentang konten yang mereka tampilkan, tetapi juga penerimaan atas peran tersebut dengan konsekuensi hukum yang mungkin menyertainya.
2. Persetujuan Sebagai Penentu Kesengajaan
Frasa "atas persetujuan dirinya" memberi penekanan bahwa keputusan untuk menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi berasal dari individu itu sendiri. Persetujuan ini mencerminkan adanya kehendak bebas, di mana orang tersebut memiliki kendali atas keputusan untuk berpartisipasi. Dengan demikian, jika seseorang memberikan persetujuan secara sadar.
Nama : M.Ismoyo
BalasHapusNim : 23301031
Kelas : C
artikel ini sangat menarik untuk dibahas karena kita belum mengetahui pemeran tersebut dapat dikatakan pelaku atau korban.Meskipun Teks ini relevan sebagai pedoman hukum dalam menafsirkan undang-undang pornografi,Teks ini harus diterapkan dengan hati-hati,agar lembaga penegak hukum tidak merugikan korban yang mungkin ditempatkan dalam situasi eksploitasi.
ada unsur ekspoloitasi, paksaan, manipulasi seperti diancaman atau dijebak. Dalam kasus ini lebih tepatnya mereka dianggap sebagai korban.
Jadi pemeran film pornografi tidak bisa dilihat secara hitam putih sebagai pelaku atau korban, yaitu tadi Merujuk pendapat Adami Chazawi (2016: 174), keadaan waktu serta tempat ketika para pemeran film tersebut menjadi objek atau model, alat yang digunakan, cara alat digunakan, dan lain sebagainya menjadi penting untuk menentukan ada kesengajaan atau tidak. Dan pada intinya dilihat dalam konteks yang lebih luas, mencakup aspek hukum, sosial, ekonomi, dan personal.