Rabu, 18 Oktober 2023

Formulasi Pemerasan sebagai Tindak Pidana Korupsi

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 1946 menentukan pemerasan sebagai kejahatan. Afpersing, istilahnya dalam hukum pidana, dirumuskan dalam Pasal 368 KUHP 1946. Pasal tersebut terdapat padanannya dalam Artikel 317 Wetboek van Straftrecht (W.v.S.). Lalu, formulasinya berkembang. Muncul Pasal 423 KUHP 1946. Merupakan pasal sisipan, sehingga tidak ada padanannya dalam W.v.S (Andi Hamzah, 2010: 90).

Menurut Andi Hamzah (2010: 90), Pasal 423 KUHP 1946 adalah perpaduan antara penyalahgunaan wewenang (Pasal 421 KUHP 1946) dengan pemerasan (Pasal 368 KUHP 1946). Knevelarij, begitu nama tindak pidana ini dalam bahasa Belanda, lalu diterjemahkan, salah satunya, sebagai tindak pidana pemerasan dalam jabatan.

Pasal 423 KUHP 1946 perlu ditetapkan (sebagai pasal sisipan) oleh pemerintah kolonial Belanda. Pasalnya, penguasa pribumi dipandang sering memeras rakyat (Andi Hamzah, 2010: 90). Dengan pasal ini, rakyat tidak lagi menjadi korban (yang pasrah dan terbiasa), sehingga mendapatkan pelindungan hukum (P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2011: 143-144).

Pemerasan sebagai Tindak Pidana Korupsi

Melalui Pasal 43B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 423 KUHP 1946 dinyatakan tidak berlaku. Tapi, rumusannya diacu oleh Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001, “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar sesuatu, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri”.

Unsur yang pertama, “pegawai negeri atau penyelenggara negara”. Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 memberikan kualifikasi “pegawai negeri”, salah satunya, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah. Sementara itu, “penyelenggara negara”, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudisial dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.

Unsur yang kedua, “dengan maksud”. Istilah lain untuk menyebut adanya kesengajaan. Artinya, pelaku mempunyai kehendak dan pengetahuan bahwa perbuatan yang dilakukan (dalam ruang lingkup Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001) adalah melawan hukum. Konsekuensi diletakkannya unsur ini pada urutan yang kedua adalah perbuatan yang dirumuskan setelahnya haruslah dilakukan dengan sengaja.

Unsur yang ketiga, “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”. Dalam doktrin, menguntungkan artinya menambah kekayaannya semula, baik diri sendiri atau orang lain (P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, 2011: 104). Keuntungan itu tidak semata-mata berupa benda atau uang saja, tetapi segala sesuatu yang dapat dinilai dengan uang, termasuk hak (Adami Chazawi, 2018: 76).

Unsur yang keempat, “melawan hukum” atau “menyalahgunakan kekuasaannya”. Sifatnya adalah alternatif. Unsur “melawan hukum” dalam kebijakan hukum pidana korupsi di Indonesia menganut ajaran melawan hukum secara formil. Artinya, untuk menentukan ada atau tidaknya melawan hukum, cukup melihat di dalam peraturan perundang-undangan. Pilihan ajaran yang demikian dapat dijumpai dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006.

Sementara itu, unsur “menyalahgunakan kekuasaannya” bukan merupakan perbuatan, tetapi cara dalam melakukan perbuatan memaksa. Menyalahgunakan kekuasaan adalah menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara secara menyimpang dari tata laksana yang seharusnya (Adami Chazawi, 2018: 207-208).

Unsur yang terakhir, “memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar sesuatu, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri”. Memaksa adalah perbuatan (aktif) dengan menekan kehendak (psikis) orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang yang ditekan itu sendiri. Pemenuhan atas pemaksaan tersebut pada akhirnya dilakukan dengan terpaksa (tidak sukarela) (Adami Chazawi, 2018: 205-207).

Unsur tersebut di atas yang membedakan antara pemerasan dengan penyuapan dalam konstruksi tindak pidana korupsi. Dalam pemerasan, inisiatif ada pada pemaksa (pemeras), sehingga yang dipaksa (diperas) tidak dapat dipidana. Sementara itu, dalam penyuapan, inisiatif ada pada penyuap dan yang disuap menghendakinya, sehingga pemberi dan penerima suap dapat dipidana (lihat, Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).

Perbuatan memaksa tersebut harus dihubungkan dengan perbuatan “memberikan sesuatu, membayar sesuatu, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri” secara alternatif. Dalam perbuatan “memberikan sesuatu”, sesuatu itu harus telah beralih kekuasaannya pada orang yang menerimanya (Adami Chazawi, 2018: 213). Peralihan tersebut dapat dimungkinkan dilakukan melalui perantara (Adami Chazawi, 2011: 56).

Perbuatan “membayar sesuatu” artinya menyerahkan sejumlah uang untuk suatu tujuan tertentu atas adanya paksaan dari yang memaksa. Adami Chazawi (2018: 214) mengungkapkan, formulasi pemerasan sebagai tindak pidana korupsi ini dimaksudkan untuk menghindari pembayaran oleh orang yang tidak wajib membayar karena terpaksa oleh adanya tekanan dari pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Perbuatan “menerima pembayaran dengan potongan” maksudnya adalah tidak ada kewajiban hukum si penerima pembayaran agar jumlah penerimaannya dikurangi (Adami Chazawi, 2018: 214-215). Dengan kata lain, tidak ada hak bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk mengurangi jumlah uang yang seharusnya dibayarkan kepada si penerima pembayaran.

Perbuatan “untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri”, menurut Adami Chazawi (2018: 215), diperlukan beberapa syarat. Orang yang dipaksa tidak mempunyai kewajiban hukum untuk mengerjakan sesuatu yang diminta oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara. Di samping itu, kepentingan dikerjakannya sesuatu secara terpaksa tersebut hanya ditujukan untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Melihat rumusan perbuatan-perbuatan di atas, seharusnya Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 termasuk sebagai tindak pidana dengan perumusan materiil. Artinya, perbuatan tersebut harus sudah selesai dan menimbulkan suatu akibat tertentu (Moch. Choirul Rizal, 2021: 125-126). Hal tersebut juga mengingat unsur-unsur Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 mengacu pada Pasal 423 KUHP 1946 yang dirumuskan secara materiil.

Namun, pemerasan sebagai tindak pidana korupsi oleh UU No. 31 Tahun 1999 dirumuskan dengan tegas sebagai tindak pidana dengan perumusan materiil. Penegasan tersebut tidak diubah dengan adanya UU No. 20 Tahun 2001. Artinya, meskipun belum ada perbuatan yang mengakibatkan adanya peralihan sesuatu, misalnya, pegawai negeri atau penyelenggara negara sudah dapat dipidana apabila telah dipenuhinya unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang”.

Belum selesainya perbuatan yang dimaksud di atas dapat dikualifikasikan sebagai percobaan, sepanjang memenuhi syarat Pasal 53 ayat (1) KUHP 1946. Mulai dari sudah adanya niat, permulaan pelaksanaan, hingga pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Dengan begitu, menurut Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999, setiap orang yang melakukan percobaan pemerasan sebagai tindak pidana korupsi dapat dipidana.

Kasus Terkini

Beberapa waktu terakhir, publik disuguhkan dugaan pemerasan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri, terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo. Menurut keterangan Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Ade Safri Simanjuntak, kasus tersebut sedang dalam penyidikan. Artinya, memang ada tindak pidana.

Namun, dugaan tindak pidananya bukan saja pemerasan, tetapi ada juga gratifikasi. Itulah salah satu tugas penyidik dalam penyidikan, yaitu membuat terang tindak pidana apa yang diduga dilakukan melalui alat bukti dan barang bukti yang dikumpulkan. Baru kemudian menetapkan siapa yang tersangkanya.

Apabila perbuatan terlapor mengarah pada pemerasan dalam ruang lingkup tindak pidana korupsi, maka unsur-unsur dalam Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 harus terpenuhi. Dengan begitu, pelapor tidak dapat dipidana. Atau, justru merupakan tindak pidana penyuapan? Kita tunggu.

-

Terbit di Harian Bhirawa, 17 Oktober 2023, halaman 4. Klik di sini.

22 komentar

  1. Nama: Aini Nur Musyarofah
    Kelas: Hukum Pidana HKI-B
    NIM: 23301048

    Menurut saya dalam hal ini yang sudah bisa diadili itu dalam pemerasan nay karena telah tercantum jelas dalam Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 terkait dengan tindak pemerasan, walaupun hanya sebuah ancaman namun hal ini sudah merupakan tindak pidana. Sedangkan untuk unsur gratifikasi nya belum memenuhi syarat karena belum adanya bukti bahwa orang tersebut membayar maupun menerima sesuai dengan Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001. Jadi disini unsur yang telah dipenuhi hanya pada kasus pemerasan, untuk gratifikasi nya itu belum memenuhi.

    BalasHapus
  2. Nama: Indah Muji Rahayu
    Nim: 23301004
    Prodi : HKI/B

    Dalam pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001, sudah tertera bahwa pelaku mempunyai kehendak dan pengetahuan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum, lalu dalam kasus tersebut sudah tertera bahwa 'dugaan pemerasan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri, terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo'. Meskipun kasus ini sedang dalam penyidikan, kasus tersebut sudah masuk dalam tindak pidana. Karena ketua KPK seharusnya memahami bahwa tindakan yang diperbuat tersebut ialah perbuatan melanggar hukum, meskipun belum ada barang bukti yang jelas.

    Lalu dalam pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 yang dirumuskan secara materiil memberi penegasan mengenai unsur tindak pidana bisa terpenuhi meskipun akibatnya belum terjadi dan menciptakan potensi ketidakpastian hukum. Dan dengan penyidikan akan dapat memberikan perbedaan antara pemerasan atau gratifikasi serta penyuapan agar tidak terjadi tumpang tindih pasal.

    Dalam artikel tersebut sudah sangat tertera jelas penjelasan mengenai formulasi pemerasan sebagai tindak pidana, kemudian penjelasan mengenai unsur-unsur dalam pasal yang terkait sangat memberikan pemahaman mendalam dan tersendiri untuk memahami bagaimana pemerasan diatur dalam hukum yang ada di Indonesia.
    Dalam artikel ini juga memberikan pendekatan analitis yang dapat membantu memahami pembaca dalam konteks penerapan hukum secara praktis, kemudian artikel ini juga sangat membantu seseorang yang menyukai atau tertarik untuk mengkaji pada hukum pidana.

    BalasHapus
  3. Nama: Muhammad Ainul qolbis Surur
    Nim: 23301028
    Kelas: hukum pidana B
    Komentar:
    Kasus dugaan pemerasan ini sangat relevan dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia, terutama dalam konteks pemberantasan korupsi. Penanganan yang tepat dan transparan terhadap kasus ini akan menjadi indikator penting bagi KPK dan sistem hukum di Indonesia. Jika terbukti bersalah, tindakan tegas harus diambil untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang kebal hukum, termasuk mereka yang memiliki kekuasaan dalam penegakan hukum. Hal ini penting untuk memulihkan kepercayaan publik dan memastikan integritas lembaga penegak hukum.

    BalasHapus
  4. Nama: Faya Faizatin Nuriha
    Kelas: Hukum Pidana B
    NIM: 23301029

    Korupsi di Indonesia saat ini menjadi masalah yang cukup serius karena dengan adanya korupsi oleh para "petinggi-petinggi" negara, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan ataupun lembaga negara sedikit demi sedikit hilang. Dan dengan kasus diatas, seorang ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, yang terjerat kasus dugaan pemerasan dan gratifikasi juga menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap KPK menurun. Sebuah lembaga negara yang bertugas memberantas Korupsi malah ketuanya sendiri terjerat kasus pemerasan dan gratifikasi. Kasus ini menunjukkan bahwa korupsi dapat masuk ke lembaga negara yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, hukum perundang-undangan di Indonesia terkait korupsi harus ditegakkan seadil-adilnya.

    BalasHapus
  5. Nama: Zahra Fathiyatur R
    NIM: 23301025
    Kelas: Hukum Pidana B


    Menurut Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001, pemerasan sebagai tindak pidana korupsi mencakup beberapa tindakan, seperti memberikan atau menerima pembayaran dengan potongan atau melakukan sesuatu untuk diri sendiri.
    Hal tersebut terkait dengan kasus dugaan pemerasan yang dilakukan ketua KPK Firly Bahuri terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, yang tengah dalam penyelidikan.
    Penyidik harus memastikan apakah unsur-unsur dalam Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 benar-benar terpenuhi, termasuk apakah ada tindakan memaksa yang bersifat melawan hukum atau penyalahgunaan kekuasaan. Jika memang terbukti terjadi pemerasan, maka pelaku dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    Sedangkan mengenai dugaan gratifikasi, jika ada bukti yang menunjukkan bahwasanya ada unsur yang melibatkan pemberian uang atau fasilitas dengan imbalan tertentu, maka dapat juga mengarah pada tindak pidana gratifikasi.

    Dalam hal ini, penyidik harus dapat memisahkan dan membuktikan tindakan yang dilakukan, apakah termasuk pemerasan atau gratifikasi, atau bahkan keduanya. Yang sesuai dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001, pemberi suap dapat dihukum jika memberikan sesuatu dengan tujuan agar pejabat negara atau penyelenggara negara melakukan tindakan tertentu untuk keuntungan pemberi.

    BalasHapus
  6. Nama: Nurul Azizah
    Nim: 23301026
    Kelas: HKI/B

    Menurut saya dilihat dari kasus Firli bahuri yang diduga melakukan tindak pemerasan terhadap mantan mentri pertanian Syahrul Yasin Limpo, jika ditinjau dari unsur yang kedua dari pasal 12 huruf e uu no. 20 tahun 2001 "dengan maksud" istilah lain untuk menyebut kesengajaan artinya pelaku mempunyai kehendak dan pengetahuan bahwasannya perbuatan yang dilakukan dalam ruang lingkup yang ada dalam pasal 12 huruf e UU No. 20 tahun 2001 adalah perbuatan melawan hukum. Sedangkan dalam kasus tersebut sudah tertera bahwa dugaan pemerasan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri, terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo'. Meskipun kasus ini sedang dalam penyidikan, kasus tersebut sudah masuk dalam tindak pidana. Karena ketua KPK seharusnya memahami bahwasanyya tindakan yang dilakukan tersebut ialah perbuatan melanggar hukum.

    Sedangkan jika ditinjau dari pasal 15 UU No. 31 tahun 1999, bahwasanya setiap orang yang melakukan percobaan pemerasan sebagai tindak pidana korupsi dapat dipidana.

    Lalu mengenai tindak pidana gratifikasinya apakah sudah memenuhi unsur-unsur yang disebutkan tadi atau belum. Misalkan apakah orang tersebut sudah membayar atau menerima yang sesuai dengan unsur yang terakhir yang telah disebutkan dalam pasal 12 huruf e UU No. 20 tahun 2001.

    Dalam artikel ini materinya sangat membantu sekali, untuk memahami bagaimana pasal-pasal tentang pemerasan ini mengatur dan berkerja.

    BalasHapus
  7. Nama : A Maulana Hadi Rozaqoni
    Nim : 23301082
    kelas : HKI /B

    Berdasarkan Pasal 12 huruf e UU No.20 Tahun 2001 yang berbunyi "Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalah gunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,membayar sesuatu,atau menerima pembayaran dengan potongan,atau untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri”.Pasal ini telah menjelaskan beberapa poin utama dalam tindak pidana mengenai formulasi pemerasan ataupun penyelewengan kekuasaan yakni dengan adanya subjek hukum yang berupa “Pegawai negri atau penyelanggara negara” dan berobjekan pada tidakan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau menyalah gunakan kekuasaannya”.pada pembahasan pasal 12 huruf e UU No.20 Tahun 2001 menjelaskan tindakan menyalah gunakan kekuasaan ini yakni “memaksa seseorang memberikan sesuatu,membayar sesuatu,atau menerima pembayaran dengan potongan,atau untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri”,Dalam hal ini berarti setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyelewengkan kekuasaannya guna memperkaya diri ataupun orang lain yang tindakkan tersebut sudah jelas melanggar hukum atau menyalahgunakan kekusaan yakni berupa pemaksaan kepada seseorang agar meberikan sesuatu (yang dalam hal ini berupa barang ataupun hak yang bisa diuangkan),membayar,menerima pembayaran dengan _discount_.
    Perlu diketahui bahwa Pasal 12 huruf e UU No.20 Tahun 2001 merupakan pembahasan yang lebih rinci dari pasal 368 KUHP Tahun 1946 pada Bab XXIII tentang Pemerasan dan Pengancaman.Hal ini sejalan dengan asas hukum yang ada seperti ”Lex Posterior Derogat Lex Priori” yang berati aturan baru mengesampingankan aturan lama dan ”Lex Specalist Derogat Lex Generali”yang berati aturan yang bersifat khusus mengesampingkan aturan yang bersifat umum.
    Berdasarkan opini diatas,Tendensi dari penafsiran atau pembahasan secara rinci pada Undang-undang terkait formulasi pemerasan sebagai tindak pidana korupsi sungguh sangat diperlukan.Hal ini mengacu pada istilah formulasi yang digunakan menjadi judul opini ini.Yang jika diperjelas formulasi merupakan gabungan beberapa komponen yang menjadikan suatu susunan atau struktur.
    Dengan adanya artikel ini sungguh sangat membatu bagi para pembaca untuk lebih kritis dalam membedah beberapa komponen yang menjadi formulasi suatu tindakan yang dimana tindakan tersebut telah melanggar aturan atau Perundang-undangan tentang korupsi yang ada di Indonesia.

    BalasHapus
  8. Nama : Shaharany Kharisma Rifkia
    NIM : 23301085
    Kelas : Hukum Pidana HKI-B

    Kasus dugaan pemerasan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri, terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo merupakan salah satu kasus dugaan korupsi yang terbilang sangat besar, dimana kasus ini menyeret Ketua KPK sendiri (padahal KPK sudah jelas-jelas merupakan salah satu penegak hukum yang harusnya memberantas korupsi, bukan malah melakukan korupsi) dan juga salah satu Menteri Negara saat itu (Menteri Pertanian).

    Ada dua dugaan perbuatan melanggar undang-undang yang dilakukan oleh kedua pelaku sebagaimana yang dituliskan dalam artikel diatas yakni pemerasan dan gratifikasi.
    Artikel diatas juga sudah menjelaskan mengenai ketentuan pasal tentang pemerasan dan gratifikasi yang tertuang dalam Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001. Para pelaku dapat memperoleh hukuman jika penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwajib dapat memenuhi beberapa unsur dan keterangan yang disebutkan dalam pasal.

    Kasus diatas hanya 'salah satu' dari kasus-kasus korupsi besar yang dilakukan oleh para pejabat. Para pejabat, khususnya penegak hukum seharusnya menjadi contoh bagi masyarakat, bagaimanapun mereka memiliki tanggung jawab yang besar untuk kesejahteraan rakyat dan juga menjaga martabat serta nama baik negara. Bagaimana mungkin nama baik negara dapat terjaga jika pejabatnya mencoreng nama baik mereka sendiri dengan melakukan hal-hal yang melanggar undang-undang yang berlaku.

    BalasHapus
  9. Nama : Fitri Lailatul Nur Fadhi'ah
    Nim :23301043
    Kelas : HKI B
    Mantan ketua KPK Firli bahuri adalah salah satu pejabat yang melanggar kode etik atas dugaan kasus korupsi (Saat penulis membuat artikel ini dan pada 23 November 2023 telah di tetapkan menjadi tersangka ) .pejabat yang seharusnya menjadi contoh masyarakat malah kerap menjelma menjadi pelanggar hukum dan etika.Ketua KPK yang seharusnya bertugas memberantas korupsi justru memanfaatkan kewenangannya untuk melakukan tindakan rasuah berupa pemerasan. Terlebih, pemerasan dilakukan terhadap orang yang seharusnya diproses secara hukum olehnya.ini juga mencerminkan kebobrokan atas hak bantuan hukum yang tidak memadai di tingkat penyidikan sehingga potensi pemerasan semakin menjadi tinggi .Bahkan dugaan tindak pidananya bukan saja pemerasan, tetapi ada juga gratifikasi.Gratifikasi Menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.Gratifikasi dalam pasal 12 B ini tidak akan berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang di terima kepada KPK . Kebiasaan gratifikasi akan mendorong penerima untuk melakukan tindakan secara tidak obyektif. Selain itu, penerima gratifikasi juga dapat bertindak yang tidak profesional dan tidak adil. gratifikasi celah hukum yang merupakan akar dari tindakan korupsi.gratifikasi yang diduga di terima oleh Firli bahuri sebesar 1,3 M dan diskon sewa helikopter.Sehingga jika dugaan gratifikasi benar adanya maka harus di pertanyakan Persoalan integritas yang seharusnya merupakan hal krusial terutama bagi aparat penegak hukum Seperti Firli bahuri ,idealnya jika
    penegak hukum memiliki integritas profesional dan sekaligus juga memiliki integritas
    moral dalam pelaksanaannya mengeban tugas penegak hukum juga wajib menaati norma dan etika profesi yang telah ditetapkan.

    BalasHapus
  10. Nama : Haikal Sulthon Az-Zamzami
    nim : 23301038
    Kelas :HKI-B
    Jadi menurut pandangan saya unsur-unsur tindak pidana pemerasan dalam hukum Indonesia, khususnya terkait pada Pasal 12 UU No. 20 Tahun 2001. Penjelasan mengenai proses pengelompokan "pegawai negeri atau penyelenggara negara" sangat penting untuk memahami siapa yang dapat dikenakan pasal ini. keterangan yang diambil dari UU No. 31 Tahun 1999 dan UU No. 28 Tahun 1999 memberikan kerangka yang jelas tentang siapa saja yang termasuk dalam kategori tersebut.

    Unsur kesengajaan yang dijelaskan menyoroti pentingnya niat dalam menentukan terjadinya tindak pidana, serta perlunya pelaku menyadari bahwa tindakan mereka melawan hukum. Aspek ini sangat sulit dalam penegakan hukum, karena tanpa unsur niat, sulit untuk membuktikan pelanggaran.

    keuntungan pribadi atau untuk orang lain yang dibahas dalam pembahasan diatas memperkuat bahwa tindak pidana pemerasan tidak hanya berkaitan dengan keuntungan keuangan, tetapi juga dapat mencakup keuntungan yang lain dan dapat dinilai dengan uang, contohnya hak atau keuntungan yang lain. Penjelasan mengenai perbedaan antara pemerasan dan penyuapan sangat umum, karena hal ini menunjukkan hukum pidana korupsi, di mana inisiatif dan keadaan dapat memengaruhi klasifikasi tindakan. Pembedaan ini penting dalam proses hukum, terutama terkait dengan tanggung jawab pelaku.

    BalasHapus
  11. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  12. Nama : Qiqi Millata Diana Rahmah
    Nim : 23301001
    Kelas : HKI - B

    Kasus ini masih dalam tahap penyidikan, namun publik sudah banyak berspekulasi. Hal ini dapat menimbulkan kegaduhan dan ketidakpastian hukum.Dugaan pemerasan yang dilakukan oleh Ketua KPK terhadap seorang menteri tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai integritas lembaga antikorupsi. Hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap KPK.Proses penyidikan harus dilakukan secara terbuka dan transparan agar publik dapat mengawasi dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan.

    Pihak kepolisian harus bekerja keras mengumpulkan bukti-bukti yang kuat untuk membuktikan dugaan tindak pidana tersebut.Kasus ini menjadi pengingat bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum, termasuk pejabat tinggi negara.

    Kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi seluruh aparat penegak hukum untuk selalu menjaga integritas dan profesionalisme.tetapi ada juga gratifikasi.Gratifikasi Menurut penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi dalam pasal 12 B ini tidak akan berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang di terima kepada KPK. Kebiasaan gratifikasi akan mendorong penerima untuk melakukan tindakan secara tidak obyektif. Selain itu, penerima gratifikasi juga dapat bertindak yang tidak profesional dan tidak adil. gratifikasi celah hukum yang merupakan akar dari tindakan korupsi.gratifikasi yang diduga di terima oleh Firli bahuri sebesar 1,3 M dan diskon sewa helikopter. Sehingga jika dugaan gratifikasi benar adanya maka harus di pertanyakan Persoalan integritas yang seharusnya merupakan hal krusial terutama bagi aparat penegak hukum Seperti Firli bahuri, idealnya jika penegak hukum memiliki integritas profesional dan sekaligus juga memiliki integritas moral dalam pelaksanaannya mengeban tugas penegak hukum juga wajib menaati norma dan etika profesi yang telah ditetapkan.

    BalasHapus
  13. Nama : Ahmad Miftahul Ulum
    NIM : 23301051
    Kelas : Hukum Pidana (B)
    Prodi : Hukum Keluarga Islam

    Tulisan ini menyajikan analisis yang komprehensif mengenai pemerasan sebagai tindak pidana korupsi dalam konteks hukum Indonesia, dengan mengulas evolusi rumusan pasal-pasal terkait, seperti Pasal 368 dan Pasal 423 KUHP 1946, serta penerapan Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001. Penulis menjelaskan dengan rinci unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk menuntut pelaku pemerasan, serta perbedaan antara pemerasan dan penyuapan. Pembahasan juga mengaitkan teori hukum dengan praktik, melalui contoh kasus terkini yang melibatkan pejabat negara. Secara keseluruhan, tulisan ini memberikan pemahaman yang mendalam dan aplikatif tentang tindak pidana korupsi.

    BalasHapus
  14. Nama : Lilla Nisviani Safira
    Nim : 23301093
    Kelas : Hukum Pidana HKI-B

    Kasus pemerasan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri terhadap mantan menteri pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
    Di dalam artikel diatas, kasus tersebut sangat jelas tertuang dalam pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001. Yang mana dalam unsur pertamanya, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dimaksud adalah penyelenggara negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini sangat tidak sesuai dengan tindakan yang dilakukan oleh SYL yang mendapat kepercayaan dari presiden karena telah memiliki banyak pengalaman sebagai kepala daerah, yang seharusnya bisa memberikan contoh untuk bekerja sesuai peraturan perundang-undangan kepada pejabat dibawahnya, tetapi justru sebaliknya, malah memerintahkan pejabat eselon I Kementan mengumpulkan uang guna memenuhi keinginan pribadi dan keluarganya dengan cara melanggar ketentuan perundang-undangan.
    Menurut pengadilan tingkat banding, pidana dan denda yang pada awalnya dijatuhkan kepada terdakwa yaitu 10 tahun penjara tidak atau belum memenuhi dan mencerminkan rasa keadilan masyarakat sehingga harus diperberat dan pada akhirnya terdakwa dijatuhi pidana badan dan uang pengganti sebesar Rp 44,2 miliar dan 30.000 dollar Amerika Serikat yang mana hukuman ini lebih berat daripada di tingkat pertama.

    BalasHapus
  15. Nama : Nailiyah Masrifah
    Nim : 23301099
    Kelas : Hukum pidana B

    Sebenarnya dalam kasus ini, mengarah pada tindak pidana yang berupa suap.

    Karena dalam Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001, “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalah gunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar sesuatu, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi diri sendiri”.

    Dimana kasus tersebut melibatkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Firli Bahuri, terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo yang merupakan "pegawai negeri atau penyelenggara negara". Yang dimana meraka notabenenya adalah seorang pejabat negara.

    Argumentasi lain bahwasanya hal ini dilakukan karena dengan "maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum" yang merupakan penyalah gunaan kekuasaan. Instansi KPK merupakan lembaga yang sangat vital dalam mengawasi pencegahan korupsi para pejabat negara. Dengan adanya "gratifikasi" maka ada maksud yang terselubung untuk menguntungkan diri sendiri untuk melwan hukum.

    Dapat disimpulkan bahwa kasus dugaan pemerasan oleh Ketua KPK, Firli Bahuri, terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, dikategorikan sebagai tindak pidana suap. Menurut Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001, perbuatan tersebut melibatkan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum. Hal ini juga mencakup adanya gratifikasi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi secara tidak sah, yang mencerminkan penyalahgunaan wewenang di instansi vital seperti KPK.

    BalasHapus
  16. Nama : Jessica Dea Amelia
    NIM : 23301088
    Kelas : Hukum Pidana B

    Artikel di atas menghubungkan percobaan pemerasan dengan Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999 dan Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001. Penjelasan mengenai syarat-syarat hukum, seperti niat, permulaan pelaksanaan, dan kegagalan yang bukan karena kehendak sendiri, menunjukkan pemahaman tentang percobaan tindak pidana. Artikel ini terlihat netral karena tidak langsung menyimpulkan siapa yang bersalah, tetapi memberi ruang pembaca untuk menilai kasus ini lebih ke pemerasan atau penyuapan. Dalam kasus seperti ini, penegakan hukum yang transparan dan objektif sangat penting. Dugaan terhadap kasus Firli Bahuri menjadi ujian besar bagi lembaga hukum untuk membuktikan keadilan dan menjaga kepercayaan publik. Jika terbukti, kasus ini bisa menjadi pelajaran untuk memperbaiki pengelolaan di KPK.

    BalasHapus
  17. Nama:marsa rizkina natasyafira
    Nim:23301089
    Kelas:Hukum pidana B

    Kasus dugaan pemerasan yang melibatkan Firli Bahuri sangat mengkhawatirkan. Jika terbukti benar, maka ini adalah sebuah skandal besar yang dapat merusak kredibilitas KPK. Kita berharap pihak kepolisian dapat bekerja secara profesional dan transparan dalam mengungkap kasus ini. Publik perlu diberikan informasi yang jelas mengenai perkembangan kasus agar tidak terjadi misinterpretasi. Selain itu, kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya memperkuat sistem pengawasan terhadap penyelenggara negara.

    BalasHapus
  18. Nama : Yayan
    Nim : 23301098
    Hki : B
    Unsur tersebut di atas yang membedakan antara pemerasan dengan penyuapan dalam konstruksi tindak pidana korupsi. Dalam pemerasan, inisiatif ada pada pemaksa (pemeras), sehingga yang dipaksa (diperas) tidak dapat dipidana. Sementara itu, dalam penyuapan, inisiatif ada pada penyuap dan yang disuap menghendakinya, sehingga pemberi dan penerima suap dapat dipidana (lihat, Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001)
    Dalam kasus ini hendaknya pihak kpk lebih bekerja keras lagi dalam membrantas korupsi di indonesia khususnya disektor para orang yng punya wewenang sehingga para koruptor di indonesia bisa dibasmi dengan sedikit.
    Artikel ini memuat 2 kasus yng mana 1 kasus melakukan tindak pidana korupsi sedangkan 1 nya masih dalam pemeriksaan, kita sebgai anak bangsa harus mendukung para pihak kpk dalam mebrantas korupsi salah satunya ketika kita sebagai mahasiswa dengan cara mendukung orang² adil dinegri untuk duduk di parlamen sehingga rakyat bisa tentram, damai dan aman tanpa rakyat meragukan lagi keadilan yang berlaku. Tanks

    BalasHapus
  19. Nama : Reifina fitriani
    Nim : 23301090
    HKI : B

    Artikel ini menyajikan analisis yang mendalam mengenai perkembangan tindak pidana pemerasan dalam hukum pidana Indonesia, khususnya evolusi dari Pasal 368 dan 423 KUHP 1946 hingga Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001. Penjelasan rinci mengenai unsur-unsur delik, seperti "pegawai negeri atau penyelenggara negara", "dengan maksud", serta "memaksa seseorang memberikan sesuatu", menunjukkan bagaimana tindak pidana ini dirumuskan untuk mencegah perlindungan kekuasaan oleh pejabat negara. Artikel ini juga membandingkan pemerasan dengan penyuapan, yang menjelaskan perbedaan inisiatif antara kedua tindak pidana tersebut.

    Analisis teori hukum diperkuat dengan referensi kasus terkini, yaitu dugaan pemerasan oleh Ketua KPK terhadap mantan Menteri Pertanian. Hal ini menegaskan relevansi topik di tengah upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun, artikel ini masih dapat dikembangkan lebih lanjut dengan mengeksplorasi tantangan praktis dalam penegakan hukum terhadap pemerasan sebagai tindak pidana korupsi. Pembahasan mengenai dampak sosial dan kelemahan sistem hukum yang memungkinkan terjadinya tindak pidana juga akan menambah kedalaman pembahasan. Secara keseluruhan, artikel ini memberikan kontribusi penting bagi pemahaman hukum pidana Indonesia.

    BalasHapus
  20. Nama : hikmatul Ulya ifkir lillah
    Nim : 23301086
    Kelas: hki-B


    Artikel ini memberikan latar belakang sejarah tentang bagaimana Pasal 423 KUHP 1946 muncul sebagai pasal sisipan tanpa padanan di Wetboek van Straftrecht (WvS). Informasi ini relevan karena menunjukkan adaptasi hukum kolonial Belanda terhadap kondisi lokal di Indonesia. Namun, penulis hanya mengutip Andi Hamzah tanpa memperluas konteks historis yang lebih luas, seperti pengaruh budaya hukum kolonial terhadap sistem hukum Indonesia.
    Perpindahan unsur-unsur Pasal 423 KUHP 1946 ke Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 juga dijelaskan dengan baik. Namun, akan lebih kaya jika artikel ini juga membandingkan perbedaan konseptualisasi dan praktis antara rumusan kedua pasal tersebut.

    Unsur-unsur tindak pidana pemerasan dijelaskan secara sistematis dan jelas : mulai dari "pegawai negeri atau penyelenggara negara" hingga "memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar sesuatu, atau mengerjakan sesuatu." Penjelasan ini sangat membantu dalam memahami unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk mengkualifikasikan suatu tindakan sebagai tindak pidana pemerasan.
    Pendekatan formil dalam unsur "melawan hukum" : Artikel mengutip Putusan Mahkamah Konstitusi (Nomor: 003/PUU-IV/2006) yang menyatakan bahwa melawan hukum cukup dilihat dari peraturan-undangan. Ini menunjukkan penegakan hukum pidana korupsi di Indonesia, tetapi artikel ini kurang mengeksplorasi tantangan praktis pendekatan ini, misalnya bagaimana penerapannya dapat menangani kritik dalam kasus-kasus tertentu.
    Konsep "menyalahgunakan kekuasaan" : Artikel yang menyebutkan bahwa ini bukan perbuatan melainkan cara dalam melakukan perbuatan yang memaksa. Penulis dapat memperluas analisis ini dengan membahas contoh kasus hukum yang konkret yang menunjukkan perlindungan kekuasaan untuk memberikan ilustrasi yang lebih nyata.

    BalasHapus
  21. Artikel ini membahas pengertian dan penerapan hukum terkait pemerasan dalam ruang lingkup tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001, dengan mengacu pada KUHP dan berbagai pendapat ahli hukum. Selain itu, artikel ini mengaitkan topik tersebut dengan kasus dugaan pemerasan yang melibatkan Ketua KPK, Firli Bahuri, dan mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.

    Namun, ada sedikit kekurangan dalam menghubungkan perbedaan antara tindak pidana pemerasan dan penyuapan. Hal ini penting, mengingat kasus yang dibahas menyebutkan kemungkinan adanya gratifikasi. Pembahasan tentang perumusan materiil dan formal terlihat cukup kompleks bagi pembaca awam. Akan lebih baik jika dijelaskan lebih rinci dengan contoh praktis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nama : Devika Nuril Hamida
      Nim : 23301006
      HKI : B

      Artikel ini membahas pengertian dan penerapan hukum terkait pemerasan dalam ruang lingkup tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001, dengan mengacu pada KUHP dan berbagai pendapat ahli hukum. Selain itu, artikel ini mengaitkan topik tersebut dengan kasus dugaan pemerasan yang melibatkan Ketua KPK, Firli Bahuri, dan mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.

      Namun, ada sedikit kekurangan dalam menghubungkan perbedaan antara tindak pidana pemerasan dan penyuapan. Hal ini penting, mengingat kasus yang dibahas menyebutkan kemungkinan adanya gratifikasi. Pembahasan tentang perumusan materiil dan formal terlihat cukup kompleks bagi pembaca awam. Akan lebih baik jika dijelaskan lebih rinci dengan contoh praktis

      Hapus