Penalaran hukum sesungguhnya merupakan penerapan logika dalam memahami asas-asas hukum, norma-norma terkait hukum, aturan-aturan hukum, berikut pula praktik-praktik hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Artinya, logika sebagai sarana ilmiah untuk melakukan penalaran hukum akan dapat menentukan pendirian hukum yang dirumuskan oleh para juris melalui dokumen-dokumen hukumnya.
Bahan baku dalam penalaran hukum adalah hukum. Terlebih kemudian, ternyata, penalaran hukum juga termasuk sebagai penelitian hukum, sehingga kegiatan menalar tersebut dimaksudkan untuk menemukan kebenaran koherensi: apakah aturan hukum atau tindakan seseorang sesuai dengan asas-asas hukum, norma-norma terkait hukum, aturan-aturan hukum, berikut pula praktik-praktik hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Lalu, apa itu hukum? Tidak ada pengertian yang baku tentang hukum. Sejumlah ilmuwan hukum juga, seyogianya, tidak dapat mendaku rumusannya tentang hukum adalah yang paling benar. Pasalnya, pemberian definisi terhadap hukum tidak dapat dipisahkan dari paradigma apa yang diiikuti oleh pemberi definisi. Meskipun begitu, pengertian tentang hukum masih menjadi penting untuk memberikan batasan-batasan yang perlu.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, dilihat dari segi tujuannya, hukum diadakan untuk mempertahankan kehidupan bermasyarakat sebagai modus survival. Dilihat dari segi wilayah yang diaturnya, hukum mengatur tingkah laku lahiriah manusia. Lalu, dilihat dari segi asal kekuatan mengikatnya, hukum mempunyai kekuatan mengikat karena ditetapkan oleh penguasa atau berkembangan dari praktik yang diterima oleh masyarakat. Selanjutnya, dari segi isi normanya, hukum menetapkan hak di samping kewajiban individu dalam interaksi dengan sesamanya di dalam masyarakat.
Merujuk pada pendapat di atas, ternyata, hukum itu tidak dapat dilepaskan dari eksistensi manusia. Telah benar adanya postulat “hukum untuk masyarakat” yang digagas oleh Satjipto Rahardjo berikut juga pengikutnya. Juga, “ubi ius ibi societas” menjadi postulat abadi, barangkali, ketika hukum itu terus bertumbuh dan berkembang di masyarakat, yang memang membutuhkan hukum.
Sementara itu, soal paradigma hukum: tidak ada yang dapat mengklaim yang paling benar. Justru, lahirnya paradigma yang satu merupakan kritik terhadap paradigma yang lain. Diskursus untuk menemukan cara pandang yang paling tepat dalam berhukum tidak akan pernah ada usainya. Proses penemuan tersebut akan selalu bersinggungan dengan realitas kemanusiaan berdasarkan tempat dan waktu.
Dengan begitu, setiap aktivitas berhukum, termasuk penalaran hukum, tidak dapat melepaskan diri dari eksistensi kemanusiaan yang mewujud dalam hak-hak asasi manusia (HAM). Artinya, hukum berkelindan dengan HAM, sehingga hukum berbeda dengan HAM. Pasalnya, HAM itu melekat pada manusia atas pemberian Tuhan, bukan pemberian penguasa atau atas kesepakatan manusia sebagaimana dalam konsepsi hukum.
Oleh karena itu, penalaran hukum untuk kemanusiaan bermaksud menjawab isu hukum yang berbasis pada asas-asas hukum, norma-norma terkait hukum, aturan-aturan hukum, berikut pula praktik-praktik hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat yang tidak melepaskan diri dari sisi-sisi normatif HAM. Artinya, sudut pandang untuk menjawab isu hukum perlu mengelaborasi pula keterpenuhan aspek HAM.
Sudut pandang yang seperti itu, sebagai konsekuensinya, tidak dapat pula melepaskan diri dari prinsip-prinsip dasar dalam HAM. Pertama, HAM itu tidak dapat dibagi, saling berkaitan, dan saling bergantung. Kedua, HAM itu universal dan tidak dapat dicabut. Ketiga, HAM itu memuat prinsip kesetaraan dan nondiskriminatif. Keempat, HAM adalah tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh negara.
-
Disampaikan sebagai salah satu bahan diskusi dalam “Pengenalan Penalaran Hukum: Hukum sebagai Ujung Tombang Kemanusiaan” yang diselenggarakan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Asy-Syafi’i Komisariat Sunan Ampel Kediri Periode 2024-2025 di Kediri, 7 September 2024.
Tidak ada komentar
Posting Komentar