Minggu, 02 Oktober 2016

Bencana Cukrik, Potret Lemahnya Penegakan Hukum

Indonesia kembali berduka. Kali ini, duka Indonesia datang dari dua daerah di Jawa Timur, yakni Surabaya dan Gresik. Kedua daerah yang secara geografis berdekatan itu diguncang dengan tewasnya 14 orang akibat menenggak minuman keras (miras) jenis cukrik. Selain locus-nya yang berdekatan, tempus-nya pun terjadi dalam kurun waktu yang hampir bersamaan pula.

Selain menewaskan 14 orang, minuman laknat itu juga mengakibatkan belasan orang yang ikut berpesta cukrik masih terbaring di rumah sakit. Sementara itu, sebagian yang lain juga harus menjalani cuci darah untuk menetralkan racun yang masuk ke tubuh bersama minuman laknat tersebut.

Berdasarkan pantauan sebuah media online, cukrik sangat digemari oleh para pemabuk di kota pahlawan. Hal ini dikarenakan harga cukrik jauh lebih murah dibandingkan dengan miras-miras lainnya.

Cukrik dikenal sebagai minuman sejenis arak Jawa yang kandungan alkoholnya mencapai 65%. Bahkan, kadar alkohol pada cukrik bisa jauh lebih tinggi dibandingkan arak pada umumnya, karena para pembuat cukrik biasanya mencampur dengan spirtus.

Sesat Pikir!

Terungkap fakta, bahwa pesta cukrik yang membuat banyak korban berjatuhan itu diikuti oleh mereka yang sudah tergolong dalam kategori tua bersama-sama dengan para remaja. Menanggapi hal ini, sebuah surat kabar nasional menyebutkan dalam editorialnya, bahwa kasus ini benar-benar konyol. Sebab, para orang yang sudah tua tidak ada sama sekali memberikan contoh kebaikan kepada generasi di bawahnya. Sungguh konyol!

Bila kita pikirkan lebih jauh dan mendalam, maka tidak ada manfaatnya bagi seseorang untuk menenggak minuman setan itu. Biasanya, yang menjadi alasan seseorang untuk menenggak miras adalah mereka ingin lepas dari tekanan hidup, baik dari sisi ekonomi dan sosial. Bagi mereka, miras menjadi “obat mujarab”, sebab segala tekanan akan hilang walaupun hanya sementara.

Hal di atas sangat salah besar! Aktivitas itulah yang sebenarnya akan membawa mereka pada masalah yang lebih rumit.

Sementara itu, Kepala Instalasi Rawat Darurat RSU Dr Soetomo Surabaya dr Uriep Muterdjo mengatakan pada sebuah media online, bahwa alkohol dengan kadar yang tinggi bila terminum oleh manusia akan masuk dan mengalir bersama darah serta dapat mempengaruhi saraf.

Ia menambahkan, jika terpengaruh saraf mata, maka penglihatan akan rabun, kemudian pada kaki dan tangan akan mengalami kelumpuhan. Dan yang paling “menggemaskan” adalah cukrik bisa menyebabkan impotensi.

Lemahnya Penegakan Hukum di Indonesia

Dalam dunia medis, sudah sangat jelas bahwa bahaya-bahaya yang terkandung dalam cukrik bisa mengancam nyawa seseorang bila sampai terminum dan kemudian mengalir di dalam darah. Di sisi lain, bagaimana dengan tinjauan dalam dunia hukum terkait dengan peredaran miras atau cukrik itu sendiri?

Jujur, hukum positif kita belum merespon dengan baik terkait dengan peredaran minuman laknat itu, khususnya pada aspek penegakannya yang masih lemah. Buktinya adalah pernyataan Kapolrestabes Surabaya Kombespol Setija Junianta pada sebuah media online, bahwa cukrik sudah lama beredar dan menjadi minuman tradisional pemabuk di Surabaya. Kesimpulannya, selama ini di Surabaya, cukrik (atau kemungkinan besar juga miras-miras jenis lainnya) beredar secara bebas dan liar tanpa ada penindakan dari aparat penegak hukum. Di mana peran kepolisian selama ini?

Dalam hal ini, para pemabuk dan juga yang telah meregang nyawa akibat bahayanya cukrik tidak dapat disalahkan secara sepihak. Ini merupakan akumulasi dari penegakan hukum yang sangat lemah terkait dengan peredaran cukrik itu sendiri. Dengan kata lain, jika aparat penegak hukum secara terintegrasi dan profesional getol untuk melakukan razia dan kemudian memberikan hukuman kepada pembuat, penjual, atau bahkan peminumnya, maka saya kira akses untuk membuat, menjual, membeli, dan meminum cukrik akan “tertutup” rapat-rapat dan akhirnya akan tiarap.

Sementara itu, bencana cukrik yang menewaskan 14 orang di dua daerah pada hakikatnya menjadi sebuah “tamparan” bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim). Dan, “tamparan ini” seharusnya menjadi cambuk bagi Pemprov Jatim untuk segera membuat peraturan daerah (Perda) yang memuat tentang larangan peredaran miras.

Usulan untuk membuat Perda tentang larangan peredaran miras sudah disampaikan, salah satunya oleh Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Baktiono. Menurutnya pada sebuah media online, dengan adanya Perda tersebut diharapkan kejadian tewasnya peminum cukrik tidak terulang kembali.

Pembuatan sebuah peraturan yang terkait dengan pelarangan peredaran miras kini juga sudah menjadi kewenangan daerah masing-masing, yakni dalam bentuk Perda. Hal ini dikarenakan pada 18 Juni 2013, Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya nomor 42P/HUM/2013 telah membatalkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol, di mana Keppres tersebut selama ini menjadi ganjalan bagi daerah yang ingin membuat Perda pelarangan peredaran miras. Artinya, dengan dihapuskannya Keppres tersebut, maka Perda antimiras bisa berlaku.

Dalam peraturan yang lainnya, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga sudah mengatur terkait dengan kejahatan yang diakibatkan miras, yakni Pasal 204 hingga Pasal 206. Namun demikian, pada kenyataannya, aturan itu masih belum tampil mengganas.

Bila nantinya Perda telah selesai dibuat dan aturan dalam KUHP benar-benar ditegakkan secara profesional, harapannya adalah semakin terintegrasinya aparat penegak hukum yang satu dengan yang lainnya terkait dengan pemberantasan miras, baik di pusat maupun di daerah. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi korban-korban yang berjatuhan akibat menenggak minuman laknat tersebut.

Dan, dengan adanya Perda tersebut, harapan lainnya adalah sudah tidak ada lagi oknum organisasi masyarakat yang “ikut campur” dalam menindak pelaku-pelaku yang berada pada “lingkaran setan” peredaran miras dengan berbagai bentuk kekerasan. Semoga!(*)

-

Terbit di Harian Surabaya Pagi pada Selasa, 1 Oktober 2013.

Tidak ada komentar

Posting Komentar