Jumat, 28 Oktober 2016

Untukmu Negeri Dikepung Pungli

Tertangkapnya oknum pegawai negeri sipil (PNS) pada Kementerian Perhubungan dalam transaksi pungutan liar (pungli) sontak menyita perhatian publik. Terlebih orang nomor satu di negeri ini, Presiden Joko Widodo, langsung menabuh genderang perang pada praktik rasuah yang keji. Sepertinya, negeri ini telah dikepung pungli. Ngeri!

Langkah taktis untuk membumihanguskan praktik culas itu langsung juga disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto. Dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), negara bertekad memberantas praktik tak terpuji itu mulai dari tingkat daerah hingga pusat.

Kesannya, negara ini seperti baru pertama kali dilanda praktik pungli. Presiden berkomentar dan para patihnya langsung menyusun pelbagai langkah taktis. Publik mulai didengung-dengungkan dengan ujaran: laporkan, laporkan, laporkan! Dan, seperti biasanya, istilah “reformasi birokrasi” menghangat kembali di negeri ini.

Praktik pungli serta rasuah-rasuah yang lainnya sudah lama menjadi obrolan di warung kopi, pasar, arisan, dan sebagainya sebelum oknum-oknum PNS itu ditangkap. Pertanyaannya, kenapa baru sekarang dimunculkan langkah taktis itu?

Terlepas dari adanya tudingan miring terhadap langkah reaktif negara atas praktik culas yang sudah berlangsung lama itu, mari bersama, sebagai warga negara yang baik, mendukung upaya negara untuk memberangusnya. Jelas, kita menginginkan kehidupan di negeri ini tidak terbebani lagi dengan praktik pungli yang sangat menggangu, bahkan menyebalkan.

Sederhananya, pungli adalah biaya tidak resmi yang harus dibayarkan oleh masyarakat terhadap pelayan publik pada sebuah institusi. Secara normatif, beberapa peraturan perundang-undangan sudah melarang praktik koruptif itu. Tentu, sudah ada juga ancaman pidana terhadap setiap orang yang melakukannya.

Satu hal, reformasi birokrasi memang penting. Merevolusi mental oknum pelayan publik yang koruptif sangatlah mendesak. Dulu, revolusi mental ramai digaungkan, namun lambat-laun mudah dilupakan hingga tak serius dilakukan. Nampaknya, saat ini adalah momen yang tepat untuk benar-benar memulainya dengan sepenuh hati.

Semua pelayan publik, dari tingkatan yang paling tinggi, termasuk presiden dalam hal ini, harus memberi teladan yang baik terhadap setiap jajaran yang ada di bawahnya. Semuanya, tak terkecuali! Franz H Winarta (2009: 231-232) mengingatkan, lihatlah bagaimana Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atas keberhasilannya untuk memberantas korupsi yang bukan hanya menjatuhkan hukum berat bagi koruptor, tetapi bagaimana para pemimpin di RRT memberikan teladan kepada rakyatnya untuk hidup sederhana, antikorupsi, berwibawa, berwawasan, dan punya leadership.

Hal lainnya, yang juga tak kalah penting, penegakan hukum dan pemberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam rangka “bersih-bersih” di negeri ini dari praktik pungli. Melibatkan masyarakat secara partisipatif dalam kerja-kerja pengungkapan praktik rasuah adalah suatu keniscayaan dalam era demokrasi seperti saat ini.

Tiga hal yang tak pernah terlepas dari diskursus mengenai efektivitas penegakan hukum, yakni instrumen hukum, penegaknya, dan budaya masyarakat. Instrumen hukum untuk menjerat para pelaku pungli sudah tersebar diberbagi peraturan perundang-undangan di negeri ini. Persoalannya kemudian adalah pada penegakannya. Tak jarang juga segelintir penegak hukum itu sendiri menjadi bagian dari praktik pungli yang tersistem atau terorganisir. Praktik pungli yang rapi seperti itu sudah banyak terkuak.

Integritas dan profesionalitas penegak hukum adalah jawabannya. Tinggal bagaimana kemudian para pimpinan-pimpinannya memberikan pengawasan yang jauh lebih ketat dari sebelum-sebelumnya. Ketika melanggar, pemecatan adalah jalan keluarnya. Sudah ada beberapa institusi yang memulai. Harapannya, institusi yang lainnya tergerak untuk melakukan agenda “bersih-bersih” ini. Bukan hanya untuk hari ini, tetapi selamanya!

Pada faktanya, praktik pungli tetap lestari karena bertemunya pelayan publik dengan masyarakat yang menginginkan adanya pelayanan yang cepat dengan mengabaikan prosedur yang telah ada. Istilah lainnya, kelestarian pungli itu bukan hanya disebabkan oleh mental pelayan publik yang koruptif, tetapi juga dari sebagian masyarakat yang ingin memangkas prosedur birokrasi secara ilegal. Artinya, kebiasaan dalam masyarakat dapat mempengaruhi berhasil atau tidaknya agenda “bersih-bersih” ini.

Eggy Sudjana (2008: 71), dalam bukunya yang berjudul “Republik Tanpa KPK, Koruptor Harus Mati” menuliskan, political will pemerintah dan kesungguhan aparat penegak hukum tidaklah cukup untuk memberantas tindak pidana korupsi. Di dalam hal ini, dukungan masyarakat sangat menentukan keberhasilannya. Upaya-upaya penegakan hukum yang bersifat represif hanya berhasil optimal jika diikuti dengan pemberdayaan dan peningkatan partisipasi aktif masyarakat.

Jelaslah sudah bahwa masyarakat harus dilibatkan dalam agenda yang mulia ini. Pemahaman kepada masyarakat mengenai aturan yang tidak memperbolehkan praktik pungli dan ancaman pidananya harus segera gencar dilakukan. Selain itu, negara juga harus aktiv untuk mempublikasikan tarif-tarif legal dalam hal pengurusan-pengurusan di kantor pelayanan publik.

Lalu, ketika masyarakat menemukan adanya praktik pungli dan melaporkannya, negara harus memberikan jaminan perlindungan. Pasalnya, negeri ini tengah sensitif dengan dugaan terjadinya tindak pidana pencemaran nama baik, fitnah, maupun penghinaan. Alih-alih berpartisipasi dalam membuka praktik pungli, masyarakat sendiri yang dikriminalisasi.

Pada akhirnya, sinergisitas antara negara dan warga negaranya sangat dibutuhkan dalam agenda “bersih-bersih” ini. Jadi, jangan biarkan negeri ini dikepung pungli. Ngeri!(*)

Tidak ada komentar

Posting Komentar