Senin, 01 September 2014

Kasus FS dan Penegakan Hukum Pidana di Indonesia

Beberapa waktu yang lalu mungkin menjadi hari yang memilukan bagi Florence Sihombing (FS). Pasalnya, ia harus merasakan dinginnya tahanan Direktorat Resort Kriminal Khusus Polisi Daerah Istimewa Yogyakarta (Ditreskrimsus Polda DIY). Ia diduga melakukan perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik via social media (sosmed).

Sebelum ditahan oleh pihak kepolisian, ia telah mendapatkan “hukuman” oleh pengguna sosmed lainnya. Tak lain dan bukan, ia menerima hukuman tersebut lantaran celotehannya di sosmed yang menghina masyarakat Yogyakarta.

FS terjerat Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2) jo 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Pasal 310 dan/ atau Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Gabungan pasal tersebut bisa jadi membuat FS kini tengah berdebar-debar.

Sebelumnya, pada 2009 yang lalu, Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE pernah di uji materikan (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, sebagaimana termuat dalam putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008, UU tersebut dianggap tidak bertentangan dengan demokrasi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).

Ketua MK saat itu, Mahfud MD, menyatakan dalil pemohon yang menyatakan Pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum adalah tidak beralasan. Pasal itu hanya merupakan alat bantu untuk mempermudah hidup dan menjaga lalu lintas informasi dalam dunia maya.

Mahfud MD menambahkan, pasal yang diujikan itu sejalan dengan Pasal 28 G ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat tentang perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Artinya, kedua pasal tersebut masih konstitusional.

Sementara itu, dengan alasan memenuhi unsur-unsur sebagaimana pasal yang dituduhkan kepada FS, Ditreskrimsus Polda DIY akhirnya menahan FS. Walaupun kemudian ada syarat formil yang belum dipenuhi oleh pihak Kepolisian, yakni belum adanya penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat terhadap penahanan FS.

Di sisi lain, tidak sedikit pihak yang menyayangkan penahanan terhadap FS. Hingga akhirnya, muncul gagasan untuk tidak memidanakan FS dengan upaya penyelesaian perkara pidana secara mediasi (penal mediation).

Gagasan tersebut sangat realistis karena Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari Pasal 310 jo 311 KUHP sebagai norma tindak pidana tentang penghinaan atau pencemaran nama baik secara umum yang mensyaratkan adanya pengaduan untuk dapat dituntut. Artinya, pencabutan pengaduan dapat menghentikan proses pidana yang tengah dijalani oleh FS.

Kini, FS telah dihukum secara etik oleh pihak kampus, yakni skorsing selama satu semester. Sementara itu, untuk kasus pidananya, FS telah memberikan kuasa kepada Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum Fakultas UGM untuk mengadvokasinya.

Pada akhirnya, kita tunggu saja bagaimana proses penyelesaian permasalahan ini secara hukum. Semoga proses ini dapat memberikan makna yang luar biasa dalam dunia penegakan hukum pidana di Indonesia.

Tidak ada komentar

Posting Komentar