Sebenarnya tidak terlalu mengagetkan saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan tersangka atas kasus penyalahgunaan dana haji tahun 2012-2013. Pasalnya, jauh sebelum penetapan Surya Dharma Ali sebagai tersangka, Indonesian Coruption Watch (ICW) telah mencium ketidakberesan pengelolaan dana haji sejak 2004 yang lalu. Namun, baru ditahun ini KPK mulai “bergerak”.
Berangkat dari penetapan status tersangka terhadap Menteri Agama tersebut, ada salah satu hal yang perlu menjadi perhatian kita. Yakni, apakah pidana yang selama ini telah dijatuhkan terhadap seluruh para koruptor tidak membuat takut orang-orang yang kini sudah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus korupsi?
Sesuai dengan fakta yang ada hingga saat ini, jawaban pertanyaan di atas adalah tidak. Kita lihat bagaimana aparat penegak hukum selain KPK kini juga panen kasus korupsi, baik yang terjadi di daerah maupun di pusat. Artinya, pidana yang telah dijatuhkan kepada koruptor tak digubris sebelumnya oleh orang-orang yang kini berstatus tersangka.
Indonesia Melawan Korupsi
Dalam teori hukum pidana, tujuan penjatuhan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana adalah membuat jera. Selain itu, pidana yang dijatuhkan dimaksudkan untuk memberikan edukasi kepada subjek hukum yang lain agar tidak melakukan tindak pidana (Wirjono Prodjodikoro: 2009, 19-20).
Bila kita melihat teori di atas, maka terlintas begitu mulianya fungsi hukum pidana tersebut bagi kepentingan masyarakat umum. Namun, bila kita melihat fakta yang ada selama ini, teori itu memunculkan “sinar kemuliaan” hanya pada lembaran demi lembaran yang tersusun dan terjilid rapi.
Salah satu upaya Indonesia untuk melawan korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, Indonesia juga memiliki Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Dengan adanya aturan-aturan yang telah disebutkan di atas, secara normatif korupsi merupakan tindak pidana yang bisa dijatuhi pidana. Artinya, Indonesia sudah mempunyai aturan yang jelas untuk memberantas tindak pidana korupsi.
Aturan yang sudah ada perlu untuk ditegakkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum. Selain pihak Kepolisian dan Kejaksaan, KPK juga mempunyai peran sebagai lembaga negara yang bertugas memberantas korupsi sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pemberdayaan Masyarakat dan Teladan dari Pemimpin
Idealnya, dengan aturan yang sudah jelas dan penegak hukum yang tegas, maka fungsi pidana sebagai alat jera bagi pelaku sekiranya dapat terwujud. Namun faktanya, masih banyak orang yang melakukan perbuatan keji itu sehingga kemudian ditetapkan menjadi tersangka atas kasus tindak pidana korupsi.
Lihatlah bagaimana Republik Rakyat Tiongkok atas keberhasilannya untuk memberantas korupsi yang bukan hanya menjatuhkan hukuman berat bagi para koruptor. Tetapi, bagaimana para pemimpin di RRT memberikan teladan kepada rakyatnya untuk hidup sederhana, antikorupsi, berwibawa, berwawasan, dan punya leadership (Franz H. Wiranata: 2009, 231-232).
Political will pemerintah dan kesungguhan aparat penegak hukum tidaklah cukup untuk memberantas tindak pidana korupsi. Di dalam hal ini, dukungan masyarakat sangat menentukan keberhasilannya. Upaya penegakan hukum yang bersifat represif hanya berhasil optimal jika diikuti dengan pemberdayaan dan peningkatan partisipasi aktif masyarakat (Eggi Sudjana: 2008, 71).
Upaya represif dengan mengoptimalkan hukum dan penegak hukum yang ada diharapkan mampu menjerakan koruptor. Di sisi lain, pidana yang dijatuhkan tersebut mempunyai muatan edukatif kepada masyarakat umum tentang buruknya kejahatan korupsi. Tentu, muatan edukatif yang dimaksud sekiranya dapat terwujud dengan memberdayakan masyarakat.
Selain itu, adanya teladan dari pemimpin dan penyelenggara negara untuk hidup tanpa korupsi juga akan memperkuat maindset masyarakat Indonesia untuk anti terhadap korupsi. Semoga.
-
Terbit di Harian Suara Madura, 28 Juni 2014.
Tidak ada komentar
Posting Komentar