Jumat, 20 Juni 2014

Akil Mochtar Tak Perlu Dihukum Mati

Korupsi di negeri ini semakin hari semakin menjadi-jadi. Buktinya, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar, harus tiarap dan kalah secara tragis melawan ordinary crime yang bernama korupsi.

Rabu, 02 Oktober 2013 yang lalu, Akil berhasil ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di rumah dinasnya. KPK menggagalkan praktik suap-menyuap dengan menemukan bukti lembaran demi lembaran uang dollar Amerika dan dollar Singapura yang kurang lebih berjumlah Rp 3 miliar.

Banyak masyarakat yang tidak percaya dengan kejadian memilukan dan sekaligus memalukan ini. Memilukan karena ternyata korupsi ini sudah semakin menjadi-jadi. Sekaliber Ketua MK pun dibuat tak berdaya. Hal ini juga memalukan, karena berita tertangkapnya sang penjaga konstitusi (the guardian of constitution) dengan cepat sudah beredar di berbagai belahan dunia.

Perlu Dihukum Mati?

Berbagai reaksi pun muncul seiring dengan tertangkapnya Akil. Mulai masyarakat awam dengan media sosialnya, hingga kalangan elit di negeri ini ramai-ramai ikut bersuara dengan kejadian yang baru pertama kali menimpa MK ini.

Salah satu reaksi yang sangat keras muncul dari pernyataan mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. “Kalau sudah OTT (operasi tangkap tangan) begitu, dia juga berarti terbukti melakukan. Menurut saya, pantasnya orang ini (Akil Mochtar) dihukum mati,” tegasnya sebagaimana dirilis oleh sebuah surat kabar nasional, pada Jumat, 04 Oktober 2013 yang lalu.

Hukuman mati memang dapat menjadi solusi bagi permasalahan korupsi yang menggurita di sebuah negeri. Buktinya adalah negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Melalui pemimpinnya saat itu, Zu Rongji, RRT telah berhasil menjalankan program antikorupsi. Program penanggulangan ordinary crime itu diwujudkan dengan memberikan hukuman mati bagi pelaku korupsi (koruptor). Alhasil, dua tahun ia menjabat sebagai Perdana Menteri, ada sekitar 500 orang yang telah dihukum mati. Sejak saat itulah RRC terkenal sebagai negara yang tidak main-main dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam ilmu hukum pidana, hukuman dimaksudkan untuk beberapa hal. Diantaranya adalah: (1) menakut-nakuti yang ditujukan terhadap umum; (2) memperbaiki pribadi si pelaku atau penjahat agar menginsafi atau tidak mengulangi perbuatannya; dan (3) melenyapkan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan hidup (Leden Marpaung, 2008:106). Maksud yang ketiga itulah yang disebut dengan memberikan hukuman mati pada pelaku kejahatan atau pidana.

Koruptor dapat dijatuhi hukuman mati jika perbuatan itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku atau pada waktu terjadi bencana alam nasional sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, jika tidak dalam keadaan yang telah tersebut di atas, para penegak hukum dapat memberikan hukuman semaksimal mungkin, bukannya hukuman mati.

Dengan demikian, seharusnya hukuman mati bukan merupakan jalan satu-satunya untuk menanggulangi kejahatan terorganisir tersebut. Apalagi, melihat kondisi badan peradilan di Indonesia yang masih belum berkualitas dan independen. Dikhawatirkan, bisa saja terjadi kesalahan menghukum mati para koruptor.

Di Indonesia, para hakim bekerja dalam situasi yang tidak kondusif untuk mengembangkan sikap judicial discretion, yakni sikap imparsial dan independen dalam memutus perkara. Lebih jelasnya, judicial discretion adalah intelejensi dan kemauan belajar, dikontrol oleh prinsip-prinsip hukum, didukung keberanian dan pikiran yang dingin, bebas dari pengaruh luar dan tidak goyah karena simpati atau prasangka, pengaruh, atau campur tangan dari luar, kecuali oleh keinginan besar untuk menegakkan keadilan (Franz H. Winarta, 2009: 340).

Sebagai salah satu organisasi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga menentang keras pelaksanaan hukuman mati. Sebagaimana pers release yang termuat pada website resminya, KontraS mengemukakan dua alasan penolakan terhadap hukuman mati. Pertama, atas dasar prinsip hukum HAM yang mengutamakan nilai kemanusian di atas hukum positif apa pun. Kedua, atas dasar realitas politik hukum di Indonesia yang masih tidak netral dan korup.

Dijadikan Justice Collaborator?

Melihat peradilan di Indonesia yang kini sedang “tidak beres”, kemungkinan untuk putusan hukuman mati yang diterima oleh koruptor merupakan hasil intervensi suatu pihak tertentu yang menginginkan agar kasus itu tidak meluas ke mana-mana merupakan prediksi yang tidak berlebihan. Dengan demikian, jika koruptor “dibiarkan” hidup, kemungkinan besar akan dapat menjerat para koruptor lainnya.

Sulit dibayangkan kesalahan menghukum untuk diperbaiki karena terhukum sudah dihukum mati, akibat dari peradilan yang masih belum berkualitas dan independen. Artinya,  nyawa itu adalah urusan Tuhan, bukannya badan peradilan.

Bukan berarti jika hukuman mati tidak diberlakukan pada koruptor, kemudian ia bebas dari jeratan hukum yang menjerakan. Hendaknya, koruptor dijatuhi hukuman maksimal (bukan hukuman mati). Dengan demikian, ada peluang untuk menjadikan si koruptor itu sebagai lumbung informasi dari berbagai praktik-praktik korupsi yang kian masif.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu telah mengakui peran juctice collaborator untuk membumihanguskan praktik korupsi di negeri ini. Di mana, yang dimaksud dengan justice collaborator adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu (misalkan korupsi), mengakui yang dilakukannya, dan memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan.

Dalam SEMA itu juga dijelaskan bahwa keberadaan dua istilah ini bertujuan untuk menumbuhkan partisipasi publik dalam mengungkap suatu tindak pidana tertentu tersebut. Salah satu acuan SEMA adalah Pasal 37 ayat (2) dan ayat (3) Konvensi PBB Anti Korupsi, yakni United Nations Convention Against Corruption tahun 2003.

Sementara itu, sinyal untuk menjadikan Akil sebagai juctice collaborator dapat dilihat saat persidangan dilangsungkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin, 16 Juni 2014. Yakni, jaksa KPK “hanya” menuntut penjara seumur hidup dan denda Rp 10 miliar. Jaksa juga menuntut pencabutan hak politik untuk memilih dan dipilih.

Akhirnya, hukuman mati bukan merupakan satu-satunya hukuman yang dapat memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia yang kian masif dan sistemik. Dengan upaya membiarkan koruptor hidup dan dihukum secara maksimal, kemungkinan besar akan dapat menjerat para koruptor yang lainnya. Semoga.

-

Terbit di Harian Suara Madura, 19 Juni 2014.

Tidak ada komentar

Posting Komentar