Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2004 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama ternyata masih biasa disiasati. Dengan memanipulasi keterangan pencatatan pernikahan, oknum kantor urusan agama (KUA) mengeruk uang dari keluarga mempelai (Jawa Pos, 23/8).
Sebagaimana dilansir Jawa Pos, Irjen Kementerian Agama (Kemenag), Mochammad Jasin menuturkan, praktik korupsi itu terendus dari hasil audit dan laporan masyarakat. Modusnya, biaya nikah di luar KUA sebesar Rp 600 ribu tidak disetor ke kas negara, tetapi dicatat sebagai biaya pernikahan di dalam KUA.
Pasal 6 ayat (1) PP tersebut di atas menyatakan, “Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk”. Sementara itu, bagi warga negara yang menginginkan pelaksanaan pencatatan pernikahan di luar KUA dan di luar jam kerja dikenakan tarif Rp 600 ribu.
Saat ini, Irjen Kemenag sedang mendalami kasus tersebut untuk mengungkap para pelaku. Parahnya, praktik penilapan uang negara itu dilakukan secara berjamaah oleh oknum aparat KUA. Irjen Kemenag mengancam memecat aparat KUA yang menjadi penilap uang negara dari posisi sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
PP terbaru yang mengatur biaya nikah pada nyatanya hadir sebagai jawaban atas terjadinya praktik-praktik yang sama di masa yang silam. Tentu, tak elok jika Kemenag harus jatuh ke lubang sama. Dengan demikian, pihak Kemenag memang harus segera melakukan “bersih-bersih”.
Ancaman untuk memecat aparat KUA yang terlibat praktik “menggelikan” itu dari posisi sebagai PNS dipandang lebih tepat jika bersamaan dengan proses pemidanaannya. Pasalnya, praktik semacam itu termasuk dalam ranah tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dan berdimensi adanya pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini sangat penting dilakukan sebagai upaya untuk memberikan efek jera dan memberikan pelajaran bagi aparat-aparat KUA yang lainnya.
Pada hakikatnya, kerja-kerja pengungkapan praktik rasuah seperti itu tidak dapat dilakukan sendiri oleh Kemenag. Jalinan kerjasama dengan aparat penegak hukum yang lainnya sangat perlu untuk dieratkan. Selain itu, pelibatan dan partisipasi masyarakat tak kalah juga pentingnya. Bahkan, melibatkan masyarakat dalam kerja-kerja pengungkapan praktik rasuah adalah suatu keniscayaan dalam era demokrasi seperti saat ini.
Eggi Sudjana mengingatkan, political will pemerintah dan kesungguhan aparat penegak hukum tidaklah cukup untuk memberantas tindak pidana korupsi. Di dalam hal ini, dukungan masyarakat sangat menentukan keberhasilannya. Upaya-upaya penegakan hukum yang bersifat represif hanya berhasil optimal jika diikuti dengan pemberdayaan dan peningkatan partisipasi aktiv masyarakat (Eggi Sudjana, 2008: 71).
Konkritnya, masyarakat diminta untuk melaporkan bila ada praktik korupsi atas biaya nikah. Permasalahannya, masih ada sebagian masyarakat yang belum memahami aturan baru tersebut, sehingga mereka menganggap pungutan liar semacam itu adalah hal biasa. Lalu, nyali sebagian masyarakat untuk melaporkan adanya praktik-praktik rasuah semacam itu juga menjadi permasalahan tersendiri.
Untuk permasalahan yang pertama, tawarannya adalah Kemenag harus lebih giat dan gencar untuk mensosialisasikan aturan baru tersebut kepada semua lapisan masyarakat, baik yang ditinggal di desa maupun di kota. Upaya sosialisasi dengan memanfaatkan media massa atau media sosial juga dapat dilakukan. Oleh karena tidak semua masyarakat dapat dan mampu mengakses media sosial, sosialisasi dapat juga dilakukan bersama stakeholders setempat dengan mengadakan acara penyuluhan hukum dan semacamnya.
Mengenai persoalan nyali masyarakat untuk berani melaporkan praktik rasuah itu merupakan permasalahan yang serius dan harus ditemukan solusinya. Pasalnya, republik ini tengah sensitif dengan dugaan terjadinya tindak pidana pencemaran nama baik, fitnah, maupun penghinaan. Dikhawatirkan, masyarakat yang tahu dan melapor soal praktik rasuah itu akan dilaporkan balik dengan pasal-pasal yang berkaitan dengan pencemaran nama baik atau fitnah.
Integritas, profesionalitas, dan proporsionalitas aparat penegak hukum adalah kunci sekaligus solusinya. Tiga hal itu mengamanahkan aparat penegak hukum untuk membuka diri, wawasan, dan hati dalam menangani dugaan-dugaan tindak pidana pencemaran nama baik atau fitnah yang ditujukan kepada masyarakat yang melapor adanya dugaan praktik-praktik rasuah di KUA.
Dalam kasus seperti itu, misalnya, aparat penegak hukum harus memeriksa terlebih dahulu adanya dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di KUA. Baru kemudian memproses dugaan tindak pidana pencemaran nama baik apabila memang dugaan tindak pidana korupsi itu tidak terbukti.
Upaya-upaya penegakan hukum oleh negara dengan
partisipasi masyarakat dalam era demokrasi seperti saat ini adalah suatu
keniscayaan. Jika sudah demikian, maka negara harus memberikan jaminan
perlindungan terhadap setiap warga negara yang tahu adanya dugaan rasuah di KUA
dan melapor kepada aparat penegak hukum. Semoga!
Praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum KUA haruslah dihilangkan, karena tidak sesuai dengan pasal 6 ayat 1 PP, dimana apabila para aparat oknum KUA melakukan hal tersebut maka Irjen Kemenag mengancam aparat KUA akan dipecat, karena tindakan yang dilakukan bisa merugikan orang lain serta termasuk dalam ranah tindak pidana korupsi. Akan tetapi untuk apabila ada warga negara yang menginginkan pelaksanaan pencatatan pernikahan diluar KUA dan diluar jam kerja dikenakan tarif biyaya.
BalasHapusNama : Iva Nikmatul Khusna
Kelas : C
Nim : 931108518
Seharusnya setiap KUA diwajibkan memamasang papan yang berisi penjelasan tentang biaya nika di kantor yang dapat dilihat oleh umum, sehingga masyarakat akan mengetahui tentang biaya pernikahan yang dibutuhkan atau bahkan gratis jika dilakukan di KUA. Hal tersebut kemungkinan sangat efektif untuk membangun zona integritas bebas pungli dengan memanfaatkan masyarkat sebagai kontrol sosialnya
BalasHapusNama diah palupi
Nim 931102118
Kelas C
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPenyebar luasan informasi baru kepada masyarakat awan memang sedikit perlu diperhatikan. Sangat disayangnya bahwa di KUA bisa dijadikan ladang pungli bagi oknum tak bertanggung jawab. Tidak mengherankan kalau sekarang banyak masyarakat yg meragukan kerja para pejabat.(Dewinta Sukma W, 931104818, D)
BalasHapusBisa dibilang dari Penjelasan diatas bahwa kurang pedulinya mereka bahkan bisa dikatakan buta hukum sehingga menghalalkan berbagai cara,seakan akan pungli itu suatu perbuatan yang sudah lazim,yang sudah menjadi adat istiadat untuk mencari keuntungan pribadi tanpa memandang efek negatif kepada orang lain. (Arubawan Dwi Urfany, 931107918,B).
BalasHapusMenurut saya, kita evaluasi dulu,kenapa praktik rasuah di KUA itu sudah menjadi adat. Bahkan, kedua mempelai pun tak pikir panjang apakah uang tsb di setor ke negara atau hanya untuk kepentingan pribadi.
BalasHapusIya,memang poin disini yang harus dipegang adalah nilai kejujuran oknum aparat KUA. Maka,selain memberdayakan masyarakat. Juga perlu diadakannya pemberdayaan untuk aparat KUA. Mengapa aparat KUA sampai melakukan rasuah? Apakah upah gajinya kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari hari? Lalu, jika disetor ke negara,selanjutnya ditujukan kemana dana tsb? Apakah utk pembangunan KUA?
Dan kenapa selama ini sosialisasi ke masyarakat kurang.Bukan hanya terkait rasuah yg warga berhak melapor jika ada tindakan spt itu. Tapi, juga terkait fungsi KUA sendiri. Bahwa KUA itu bkn sekedar untuk pencatatan dan pelaporan nikah ataupun rujuk.
Tetapi, KUA juga berfungsi sbg BP4 (Badan Penasehat, Pembinaan Dan Pelestarian Perkawinan). Hal inilah yg penting diketahui masyarakat, shg permasalahan mengenai pernikahan tidak langsung dibawa ke pengadilan. Adakalanya harus memanfaatkan fungsi KUA ini. Mungkin perlu di evaluasi lagi. Agar KUA ini berfungsi secara maksimal.
(Vivin Nurviana, 931109518,B)
Sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 diatas seharusnya nikah di KUA maupun di luar KUA tidak dikenakan biaya, namun pada praktiknya nikah di luar KUA dikenakan biaya 600rb bahkan lebih dari itu ada. Sedangkan para mempelaipun tidak mengetahui hal tersebut sehingga dikenakan biaya sebesar itu tidak masalah tetap memenuhi tanpa tau apakah biaya tersebut digunakan untuk apa. Hal dimikian perlu ditindak lanjuti agar aparat KUA tidak memberikan biaya nikah begitu mahal dan dapat bekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BalasHapusNama : Jamiatun Nofiah
NIM :931106218
Kelas : B
kebanyakan orang mau nikah itu mempersiapkan untuk biaya ke KUA, tetapi banyak orang awam tidak mengetahui bahwasaanya nikah/rujuk di KUA itu gratis/tidak dipungut biaya, perbuatan seperti itu termasuk perbuatan melawan hukum, pungli ataupun korupsi, karena di pasal 6 ayat 1 sudah jelas bahwasannya nikah atau rujuk itu tidak dikenakan biaya sepeserpun, tetapi anehnya perbuatan seperti itu di pandangan masyarakat awam sudah biasa/mengADAT, oleh karena itu bagaimana kita sebagai mahasiswa hukum khususnya dan juga sebagai penegak hukum bisa menindaklanjuti perbuatan itu, agar aparat KUA tidak memungut biaya nikah ataupun rujuk.
BalasHapusNama : Noer Romi Amin Setiawan
NIM : 931110918
Kelas: Advokasi B
Jika sudah terjadi seperti ini seharusnya pengungkapan praktik rasuah seperti itu tidak dapat dilakukan sendiri oleh Kemenag harus menjalinan kerjasama dengan aparat penegak hukum yang lainnya untuk mengungkap masalah ini. Aparat penegak hukum harus memeriksa terlebih dahulu adanya dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di KUA. Baru kemudian memproses dugaan tindak pidana pencemaran nama baik apabila memang dugaan tindak pidana korupsi itu tidak terbukti.Juga hal seperti ini adalah dampak dari kurangnya pengetahuan dari masyarat bahwa sesuai pasal 6 ayat 1 , jika menikah atau rujuk tidak dikenakan biaya , harusnya hal seperti ini lebih diperhatikan lagi oleh kemenag karena tidak semua orang yang melakukan pernikahan atau rujuk adalah orang yang mampu dalam segi finansial juga kemenag bisa melakukan peluasan informasi agar mesyarakat tahu tentang adanya undang-undang ini agar praktik ini tidak terjadi terus menerus atau terulang kembali.
BalasHapusNama : Naurotul 'Abiidah
Nim : 931114018
Kelas : Advokasi
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusFenomena penilapan uang negara bukanlah sesuatu yang baru di negeri ini, seperti halnya praktik penilapan uang negara yang dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)yang tidak sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) PP mengenai tarif biaya pelaksanaan nikah dan rujuk di KUA. Dalam mengatasi hal ini, kemenag memberikan ancaman pemecatan pegawai KUA dari posisi PNS,selain itu sebagai upaya meningkatkan keberanian masyarakat dalam melaporkan praktik rasuah, seharusnya pemerintah menginformasikan lebih jelas kepada masyarakat luas baik desa maupun kota mengenai kebijakan PP pasal 6 ayat(1) dan juga meyakinkan masyarakat jika pengaduan yang mereka laporkan akan di tindak lanjuti.
BalasHapusNama :Umi Ma'rifatu Khirzah
NIM :931105318
Kelas:advokasi (D)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKasus korupsi di KUA harus dibasmi, Pasalnya ini merugikan keuangan negara dan melanggar hak asasi manusia. Dalam pengungkapan kasus korupsi di KUA perlu adanya pastisipasi dari Kemenag, Aparat penegak hukum dan masyarakat. Di Pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di KUA tidak dikenakan biaya (gratis).Agar masyarakat terhindar dari adanya pungli tarif biaya perkawinan atau rujuk maka perlu adanya sosialisasi yang dilakukan oleh pegawai KUA/Kemenag mengenai tarif biaya apa saja yang perlu dan tidak perlu dikeluarkan oleh masyarakat.
BalasHapus(Justika Dwi Rahmawati _931114518 _Advokasi B)
Menurut saya praktik penilapan dana KUA harus ditindak lanjuti agar dengan tegas tidak semakin meresahkan masyarakat karna sangat merugikan.
BalasHapusKarna sesuai pada pasal 6 ayat 1 diatas seharusnya nikah di KUA tidak dikeai biaya
Nama : Regina Etikawati
Nim : 931116018
Kls : Advokasi B
Praktik tersebut seharusnya segera di basmi atau ditindak lanjuti karena perbuatan tersebut dapat merugikan dan meresahkan masyarakat. Padahal dalam pasal 6 ayat 1 PP menyatakan bahwa Setiap warga negara yang melaksanakan nikah atau rujuk di Kantor Urusan Agama Kecamatan atau di luar Kantor Urusan Agama Kecamatan tidak dikenakan biaya pencatatan nikah atau rujuk. Untuk menghentikan perbuatan korupsi tersebut kemenag harus gencar melakukan sosialisasi terhadap masyarakat dan bekerja sama dengan penegak hukum untuk memberantas perbuatan korupsi tersebut dan bekerja sama dengan masyarakat jika masyarakat mengetahui perbuatan korupsi tersebut harus segera lapor ke penegak hukum.
BalasHapusNama:Auzan Hilfi Nurhaikal
NIM:931100218
Kelas:Advokasi A
Praktik pungutan liar tersebut memang sangat meresahkan dan merugikan oleh karena itu harus segera ditindak lanjuti. Yang perlu diketahui adalah alasan-alasan dibalik terjadinya perbuatan itu. Mengapa praktik rasuah seperti ini sudah dijadikan kebiasaan/adat? Mengapa masyarakat tidak mengetahui kebijakan pemerintah bahwa nikah dan rujuk di KUA itu tidak dipungut biaya atau gratis? dan masih banyak alasan-alasan yang mendukung seseorang melakukan praktik rasuah ini.
BalasHapusSehingga dapat ditentukan mengenai solusi-solusi apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah secara efektif kembali terjadinya rasuah tersebut.
Namun, perlu diketahui bahwa pentingnya peran masyarakat, penegak hukum, dan aparat KUA yang saling berpartisipasi dalam mencegah terjadinya rasuah di KUA. (Sinta Hubbatul Khoiriyah, 931101918, D)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMenurut saya, fenomena pungli ini memang sudah sangat masif dan bahkan mengakar di dalam birokrasi Indonesia. Perlu adanya kesadaran penuh dari seluruh elemen masyarakat mengenai pungli ini. Perlu adanya sosialisai kepada masyarakat, masyarakat harus paham mengenai alur pencatatan nikah, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, pengumuman sampai acara akad nikah, dan peraturan baru mengenai biaya. Mengenai oknum pungli tersebut selain menghukum juga alangkah baiknya jika mengevaluasi dan mengusut bagaimana hal tersebut bisa terjadi. (Muhammad Hafidz Amrulloh, 931100118, D)
BalasHapusPraktik adanya pungli disekitar lingkungan masalah 'keagamaan' memanglah bukan rahasia umum lagi. Nampaknya ini merupakan suatu praktik yang tidak timbul pada satu daerah saja, tetapi sudah hampir menyeluruh. Alasan dari pegawai KUA yang mengenakan tarif jika terdapat undangan menikahkan seseorang diluar KUA, adalah karena keluar dari jam kerja. Mungkin yang dimaksud jam kerja disini adalah jam kerja duduk manis di kantor KUA. Namun bukankah ini hal aneh mengingat para pejabat yang kompeten dibidangnya itu adalah seorang yang pada dasarnya sudah rela dirinya menjadi abdi negara.
BalasHapusPendidikan keberanian harus terus dipupuk dikalangan masyarakat agar mampu membasmi praktik ini. Ketidaktahuan dan ketakutan masyarakat umum adalah masalah terbesar dalam sistem hukum yang ada di Indonesia.
Mereka yang kurang paham tentang regulasi-regulasi yang seharusnya dan tidak seharusnya, menjadi celah yang dimanfaatkan oleh mereka yang ingin membangun gunungan uang tanpa peduli nasib mereka yang tak paham apa-apa. (Nurhana, 931102218,D