Saya tetap setuju agar ujian akhir nasional (UAN) dihapus. Tidak perlu diselenggarakan lagi untuk saat ini. Pasalnya, penyelenggaraan UAN oleh pemerintah merupakan perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum perdata telah diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam Buku III, pada bagian “Tentang Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Demi Undang-Undang”. Menurut Munir Fuadi dalam bukunya yang berjudul “Perbuatan Melawan Hukum” (2002: 3), terdapat 5 (lima) unsur pembentuk rumusan perbuatan melawan hukum.
Pertama, adanya perbuatan. Dalam konteks ini, perbuatan yang dimaksud adalah pemerintah dengan sengaja, dan tentunya sadar, telah menyelenggaraan UAN. Dengan demikian, unsur pertama ini terpenuhi.
Kedua, perbuatan tersebut telah melawan hukum. Dalam konteks ini, pada 21 Mei 2007, Pengadilan Negeri Jakata Pusat telah menjatuhkan putusan sebagaimana teregister pada Nomor: 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, yang pada pokoknya menyatakan bahwa para tergugat saat itu (Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas, dan BSNP) diperintahkan untuk meninjau kembali pelaksanaan UAN.
Putusan a quo (sebagaimana tersebut) telah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusan Nomor: 377/PDT/2007/PT.DKI pada tanggal 6 Desember 2007 dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan putusan Nomor 2596 K/PDT/2008 pada tanggal 14 Desember 2009. Dengan demikian, perbuatan pemerintah merupakan perbuatan melawan hukum, khususnya terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Artinya, unsur kedua ini telah terpenuhi.
Ketiga, adanya kesalahan si pelaku. Dalam konteks ini, telah nampak nyata bahwa pemerintah dengan sadar dan sengaja tetap menyelenggarakan UAN. Padahal, pemerintah diperintahkan untuk meninjau kembali penyelenggaraan UAN.
Peninjauan kembali pelaksanaan UAN sebagaimana dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah dengan meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia. Pertanyaannya, “Apakah negara telah melakukan peninjauan kembali atas penyelenggaraan UN setelah adanya putusan a quo?” Jawabannya, “Belum”.
Salah satu bukti konkrit dan terverifikasi adalah yang terjadi pada siswa-siswi SMAN 1 Pinogu, Gorontalo, Indonesia. Sang jurnalis menuliskan, “Bagi 17 siswa SMA Pinogu, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, ikut ujian nasional berbasis komputer ibarat perjuangan hidup dan mati. Betapa tidak, mereka harus berjalan kaki hampir seharian penuh sepanjang 40 kilometer menuju sekolah yang dinunuti”(Jawa Pos, 12 April 2017).
Fakta memilukan sebagaimana tersebut di atas adalah deskripsi yang sangat jelas bahwa kelengkapan sarana dan prasarana sekolah di Indonesia belum merata. Artinya, perintah badan peradilan kepada pemerintah untuk melakukan “peninjauan kembali” penyelenggaraan UAN tidak dilakukan. Ya, tidak dilakukan!
Tidak melaksanakan perintah badan peradilan merupakan salah satu bentuk kesalahan, termasuk pula ada penghinaan terhadap pengadilan (contempt of court). Dengan demikian, unsur ketiga ini telah terpenuhi.
Keempat, adanya kerugian yang ditimbulkan. Dalam konteks ini, ada kerugian materiil dan immateriil yang harus ditanggung oleh negara, orang tua, dan siswa-siswi peserta UAN. Mengenai soal ini, putusan a quo sudah mempertimbangkannya dan menyatakannya dalam amar putusan, yakni “Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik akibat penyelenggaraan Ujian Nasional.” Dengan demikian, unsur keempat ini telah terpenuhi.
Kelima, terdapat hubungan sebab-akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang ditimbulkan. Dalam konteks ini, jelas telah terang nyata terdapat kausalitas. Andaikan saja, jika tidak ada segala bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah melalui penyelenggaraan UAN, maka peserta didik tidak akan terganggu psikologis dan mentalnya untuk mendapatkan pendidikan yang manusiawi yang dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian, unsur kelima ini telah terpenuhi.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, unsur pertama hingga kelima telah terpenuhi. Artinya, penyelenggaraan UAN oleh pemerintah merupakan perbuatan melawan hukum. Dengan kata lain, kengototan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan UAN, selain sebagai bentuk dari contempt of court, juga merupakan perbuatan yang mengabaikan hukum dan keadilan.
Ingat, negara kita ini adalah negara hukum. Buka lagi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945! Artinya, yang memerintah dan yang diperintah harus tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku.
Pada akhirnya, penyelenggaraan UAN oleh pemerintah adalah perbuatan melawan hukum. Idealnya, semua pihak harus taat hukum, agar keadilan tidak terabaikan. Demikian.
Tidak ada komentar
Posting Komentar