Jumat, 13 Januari 2017

Kriminalisasi Kejahatan Berbasis Kebencian

Di Temanggung, Jawa Tengah, sebuah gereja dibakar dan dirusak. Peristiwanya terjadi pada 8 Februari 2012. Insiden tersebut dipicu ketidakpuasan kelompok Islam atas dakwaan jaksa terhadap Antonius Richmond Bawengan, terdakwa penodaan agama di Pengadilan Negeri Temanggung. Massa mengamuk di dalam ruangan sidang hingga keluar gedung. Tiga gereja tidak jauh dari gedung pengadilan dirusak.

Peristiwa di atas merupakan satu di antara enam kasus kekerasan kolektif berdimensi agama dan keyakinan di Indonesia pada rentang waktu 2009 hingga 2012. Rangkaian peristiwa tersebut menggambarkan perasaan kebencian terhadap kelompok tertentu yang masih menjadi momok di sekitar kita. Jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda, dan dampak psikologis bagi korban merupakan akibat-akibat yang ditimbulkan dalam peristiwa yang dikategorikan sebagai kejahatan kebencian.

Enam kasus kekerasan kolektif berdimensi agama dan keyakinan di Indonesia telah diangkat oleh Maruli CC Simanjuntak dalam bukunya, “Atas Nama Kebencian: Kajian Kasus-Kasus Kejahatan Berbasis Kebencian di Indonesia”. Buku yang terbit pada 2015 ini didasarkan pada disertasi almarhum saat promosi gelar doktor di Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, 25 Juli 2013 yang lalu.

Uraian dari keseluruhan buku yang diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini sesungguhnya ingin menjawab dua pertanyaan pokok. Pertama, terkait urgensi kriminalisasi terhadap kejahatan kebencian di Indonesia. Kedua, terkait faktor pendukung dan penghambat dari kriminalisasi kejahatan kebencian di Indonesia.

Metode Penelitian

Penelitian yang termaktub dalam buku ini menggunakan metode kualitatif. Metode tersebut dilakukan melalui tiga pola. Pertama, studi dokumen yang hasilnya akan menjadi bahan untuk melakukan pendalaman data melalui wawancara. Kedua, melakukan wawancara kepada pelaku, korban, tokoh masyarakat, dan pejabat lokal yang menangani kejahatan tersebut. Hasilnya akan menjadi dasar dalam melakukan delphi.

Ketiga, merealisasikan metode delphi kepada narasumber terpilih yang dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok pertama terdiri dari pejabat pemerintah dan kelompok kedua terdiri dari kalangan akademisi serta praktisi atau pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM). Berdasarkan metode yang digunakan tersebut, penelitian ini mampu meramalkan bagaimana peluang dan hambatan kriminalisasi kejahatan berbasis kebencian di Indonesia.

Dari berbagai literatur yang dikutip, pada akhirnya penulis dapat memberikan pengertian dari kejahatan berbasis kejahatan, yakni tindakan kriminal yang dilakukan pelaku terhadap seseorang, sesuatu, atau benda yang dimotivasi, secara keseluruhan atau sebagian, karena bias terhadap ras, etnis, warna kulit, agama, dan orientasi seksual. Dapat dipahami juga bahwa kejahatan ini biasanya melibatkan target lemah yang tidak dapat melakukan perlawanan.

Kriminalisasi Kejahatan Berbasis Kebencian

Dalam berspektif konsensus liberal, kejahatan berbasis kebencian jelas mengancam ketidakadilan. Ia mengancam korban, korban-korban potensial, dan kita semua. Kejahatan itu dipandang pelaku sebagai solusi merespon perbedaan.

Lalu, dalam perspektif konflik, kejahatan berbasis kebencian harus dilihat sebagai bentuk reaksi frustasi masyarakat lantaran tekanan ekonomi, perasaan pribadi yang tidak aman, atau respon terhadap keadaan-keadaan tadi yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Lebih parah lagi, kejahatan berbasis kebencian adalah alat menutupi praktik cacat muka dalam soal politik dan ekonomi.

Sementara itu, dari sudut perspektif labeling, kejahatan berbasis kebencian dilihat sebagai reaksi berlebihan terhadap perilaku-perilaku yang dianggap menyimpang. Ia tergolong “kejahatan sebagai wujud penindasan kelompok dominan atas kelompok minoritas”.

Berdasarkan tiga pendekatan tersebut di atas, kriminalisasi terhadap pelaku kejahatan berbasis kebencian sangat dimungkinkan. Catatannya: harus tetap waspada agar proses itu tidak justru menciptakan diskriminasi atau semata-mata menjadi pembenar aksi balas dendam kepada kelompok tertentu. Kriminalisasi harus tetap dalam konteks pencegahan dalam rangka memberikan pendidikan kepada bangsa Indonesia.

Lebih lanjut, kriminalisasi kejahatan berbasis kebencian juga harus mempertimbangkan faktor pendukung dan penghambat dari kriminalisasi kejahatan kebencian. Pertama, dari sisi tuntutan sosial, kriminalisasi terhadap kejahatan berbasis kebencian masih membutuhkan legalitas sosial yang lebih besar. Masalah yang harus dipahami kemudian adalah bagaimana aparat penegak hukum mampu bersikap profesional dan tegas mewujudkan supremasi hukum.

Kedua, dari aspek peraturan-peraturan yang lebih rinci, kriminalisasi kejahatan berbasis kebencian tidak selalu berwujud undang-undang baru. Ini bisa dalam bentuk pemberdayaan undang-undang yang sudah ada. Tentu, pemberdayaan itu harus tetap memerlukan pendekatan integratif dan dilaksanakan multilembaga dengan payung hukum yang memadai.

Ketiga, dari aspek kesediaan warga negara memenuhi peraturan-peraturan, harus ada tuntutan warga terkait upaya penegakan supremasi hukum. Pembangunan kepercayaan dan kapasitas yang dibangun oleh aparat penegak hukum, secara umum sistem peradilan pidana, tentunya sangat signifikan menciptakan dukungan masyarakat terhadap penanganan kasus-kasus kejahatan berbasis kebencian di Indonesia.

Tak berlebihan kiranya menyebut bahwa hasil penelitian ini mampu menjadi pemantik bagi penyusun kebijakan hukum di negeri ini untuk (sangat) peduli perihal kejahatan berbasis kebencian yang kian hari kian marak terjadi. Tak terlalu berlebihan juga mengingatkan, tentunya berkaca pada hasil penelitian tersebut, bahwa kejahatan berbasis kebencian adalah bom waktu bagi persatuan dan kesatuan bangsa ini. Mari peduli!(*)

-

Ikhtisar dari buku karangan Maruli CC Simanjuntak, Atas Nama Kebencian: Kajian Kasus-Kasus Kejahatan Berbasis Kebencian di Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 2015).

Tidak ada komentar

Posting Komentar