Rabu, 10 April 2019

Belajar Hukum dari Karya Sastra

Suasana persidangan yang tidak biasa diceritakan esais dan cerpenis, Edi. A.H. Iyubenu (Jawa Pos, 11/11). Cerita pendek berjudul “Makplaaas, Tiba-Tiba Lupa” itu sedang menggambarkan lelucon dalam proses penegakan hukum di negeri ini.

Ya, walaupun fiksi, tapi rasanya nonfiksi. Nyatanya memang ada yang begitu. Anda pasti sudah tahu.

Cerpenis yang saya kenal dengan nama Pak Edi Mulyono itu juga sedang melukiskan suasana kekinian orang-orang yang menyepelekan hukum di negeri ini. Sejurus kemudian memuat pelajaran yang menarik untuk dipetik. Itu dilakukan dengan cara bercerita.

Mengutip A.S. Laksana (Jawa Pos, 10/12/2017), petuah atau nasihat atau perintah terasa menyiksa pikiran dan membuat orang cenderung menolak. Namun, melalui cerita, bisa menyusupkan secara licin apa saja yang dikehendaki si pencerita ke benak penikmatnya.

Mungkin, karena profesi saya dekat dengan dunia hukum, menjadi alasan mengapa cerita Pak Edi tidak menyiksa pikiran dan cenderung saya terima. Bahkan, pikiran saya juga sedikit terbuka tentang adanya alternatif cara untuk mempelajari ilmu hukum. Dan, membagikannya.

“Baiklah, baiklah...” Hakim melirik kawan-kawannya yang saling melempar senyum kecil. “Saudara Koruptor...”

“Pak Hakim!” Kali ini suaranya agak tinggi. “Saya ini belum divonis, belum inkracht, jadi jangan pakai sebutan itu. Ini sidang pengadilan atau Srimulat, ya?”

Begitu dialog tentang pentingnya asas praduga tidak bersalah dalam proses penegakan hukum pidana. Jadi, seseorang belum dapat disebut sebagai koruptor, misalnya, jika belum ada putusan pengadilan tindak pidana korupsi yang berkekuatan hukum tetap.

Di dalam hukum acara pidana, asas itu biasa disebut persumption of innocence. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur, “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Mungkin orang awam belum paham betul maksud asas itu. Apa juga fungsinya? Padahal, jika ia sendiri sedang terbelit perkara pidana, misalnya, maka tak lantas ia disebut sebagai penjahat dan kemudian dipidana. Hak asasinya sebagai manusia harus dilindungi. Ia harus diputuskan bersalah terlebih dahulu. Dan, putusan itu juga harus berkekuatan hukum tetap. 

Pelajaran lainnya: kita punya kewajiban menjaga kehormatan pengadilan. Berikut diceritakan:

“Hadirin terbahak. Sangat keras. Termasuk jaksa penuntut umum dan kawanan pengacara yang minggu-minggu lalu saling beradu otot leher.

“Hakim mengetukkan palu keras-keras. “Tenang, tenang, ini sidang pengadilan, bukan Srimulat, harap hormati sidang ini!”

Suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan pengadilan dikenal dengan istilah contempt of court. Mahkamah Agung Republik Indonesia membagi lima kategori atas perbuatan tersebut. Rumit juga bagi orang awam untuk memahaminya. Untuk itu, melalui karya sastra, penyederhanaan tanpa merubah substansi dilakukan. Tujuannya: memudahkan orang awam memahami.

Ada dua sisi menarik yang dapat dipetik dari sebuah karya sastra bertema hukum. Pertama, ada alternatif cara bagi mereka yang awam untuk belajar ilmu hukum. Yakni, bisa melalui cerita-cerita menarik.

Membaca literatur hukum, bagi orang awam, menurut saya, tidak dilarang. Itu bagi mereka yang punya waktu atau tidak menyiksa pikirannya. Ingat, ada istilah-istilah, konsep-konsep, dan lain sebagainya dalam ilmu hukum yang rumit dan harus dipelajari secara formal. Nah, ini ada alternatif cara yang menyenangkan: membaca cerita-cerita menarik.

Sisi yang kedua, bagi yang sudah tidak awam, ada lho alternatif cara membagikan ilmu hukum yang dikuasai. Yakni, menulis cerita-cerita menarik.

Saya kira, bagi yang sudah tidak awam, dapat dipastikan punya pengalaman menulis. Minimal: skripsi, tesis, atau berkas-berkas perkara. Produk-produk itu, sesungguhnya, juga mengandung aspek bercerita. Tapi, dengan kemasan yang formal.

Saya ingin mengatakan begini: mereka yang sudah tidak awam hukum dimungkinkan punya banyak pengalaman dan referensi untuk dapat menyusun cerita-cerita menarik. Tinggal kemudian cerita-cerita yang disusun itu dibumbui dengan konsep-konsep dalam ilmu hukum.

Saya pernah punya pengalaman asistensi dalam penyuluhan hukum untuk masyarakat. Saat itu, saya baru sebulan menyandang gelar sarjana. Ya, karena masih asisten, saya hanya melihat senior menyampaikan materi.

Ia menyampaikan konsep-konsep hukum yang rumit menjadi sesuatu hal yang mudah dipahami masyarakat. Bahkan, ia sengaja menyusupkan cerita-cerita. Ia sampaikan juga cerita sukses (success story) tentang masyarakat yang memperjuangkan keadilan.

Ada antusiasme yang lebih dari masyarakat ketika senior saya itu memberikan materi, dibandingkan narasumber yang lainnya. Mungkin, karena punya kesamaan nasib untuk memperjuangkan keadilan, cerita sukses (success story) menginspirasi mereka.

Akhirnya, saya tidak tahu, apa mungkin Pak Edi, secara licin, hendak menyusupkan pesan itu. Tapi, yang saya rasakan begitu. Saya menikmati susupan-susupan pesan itu, khususnya untuk cara mempelajari hukum dan membagikannya kepada orang awam. Tentu, melalui cerita-cerita yang menarik.

A.S. Laksana (Jawa Pos, 29/07/2018) pernah menulis, cerita-cerita yang menarik dapat digunakan sebagai media mengajarkan tentang politik, demokrasi, serta hak dan kewajiban warga negara. Itu, sekali lagi, yang saya rasakan saat membaca karya Pak Edi.

Ya, karya sastra, menurut saya, bisa menjadi media alternatif untuk belajar ilmu hukum. Dan, setelah belajar, selebihnya adalah membagikannya.

4 komentar

  1. Assalamualaikum wr wb
    Yang terhormat bapak dosen rizal,
    Selamat malam.....


    Ada sedikit angin pertanyaan yang berhembus di logika saya pak,jadi gini pak, apakah sebuah sastra yang bergenre humoris ini kalau di implementasikan ke dalam sistem penyelesaian hukum tidak mengakibatkan adanya ke ambiguan didalamnya, bisa jadi menurut saya ini menjadi sebuah hal yang mengakibatkan barometer nilai hukum menjadi rendah, karena sepengetahuan saya hukum merupakan kedisiplinan dalam pelaksanaannya, mungkin bisa jadi ini sebagai kedok oknum2 yg ingin melemahkan sebuah koridor hukum.
    Pertanyaannya pak, bagaimana kah kita sebagai seorang cendikiawan hukum bisa mengimplementasikan sebuah pola genre humoris ini di dalam sistem penyelesaian hukum yang nantinya agar kita tidak salah dalam penerapannya.

    Sekian terimakasih...
    Wassalamu'alaikum wr wb.

    #Moch. Fahmi Fajrul Falakh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumsalam wa rahmatullahi wa barakatuh. Selamat malam juga, Saudara Moch. Fahmi Fajrul Falakh.

      Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih sudah memberikan respon atas artikel saya dalam blog ini. Terkait pertanyaan dari Saudara, dapat saya sampaikan hal-hal sebagai berikut:

      1. Implementasi sistem penyelesaian (kasus) hukum telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jadi, tidak mungkin sebuah karya sastra dijadikan pijakan dalam implementasi sistem yang dimaksud. Dalam hal ini, pengandaian yang Saudara tulis dengan kata "kalau" tak mungkin terjadi dalam sistem yang baku tersebut.

      2. Terlalu jauh kalau Saudara menyampaikan "...bisa jadi ini sebagai kedok oknum2 yg ingin melemahkan sebuah koridor hukum...". Sangat terlalu jauh. Baca kembali apa yang saya tulis dalam artikel tersebut, ya.

      3. Saya tegaskan dalam balasan komentar ini, artikel tersebut saya maksudkan untuk menemukan nilai penting menurut hukum dalam sebuah karya sastra. Dengan kata lain, bukan kemudian karya sastra yang saya ulas tersebut tiba-tiba diimplementasikan dalam sistem penyelesaian (kasus) hukum.

      Demikian yang dapat saya sampaikan. Terima kasih.

      Salam.

      Hapus
  2. Siap pak.
    Terimakasih saya sangat puas dengan penjelasan bapak.

    BalasHapus
  3. Baik, Pak dosen. opini yang mudah saya terima, terima kasih.

    BalasHapus