Kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan merupakan situasi darurat dalam penegakan hukum di Indonesia. Ditambah lagi, dalam situasi pandemi Covid-19, penyebaran virus Covid-19 di antara sesama penghuni lembaga pemasyarakatan bisa jadi tidak terelakkan. Dalam situasi seperti itu, perlu ada kebijakan agar tidak menambah beban lembaga pemasyarakatan.
Kini kepolisian, kejaksaan, maupun mahkamah agung memiliki kebijakan mengenai pedoman penerapan keadilan restoratif. Pertama, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Kedua, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Ketiga, Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakukan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).[1]
Kebijakan-kebijakan itu cenderung mengarah pada upaya depenalisasi. Tentu, dengan berbagai syarat yang ketat. Depenalisasi sendiri merupakan upaya yang dilakukan oleh negara untuk mengubah pidana (sebagai konsekuensi suatu perbuatan) menjadi hukuman dalam bentuk yang lain melalui mekanisme hukum perdata atau administrasi.[2]
Depenalisasi adalah solusi atas situasi darurat kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan. Depenalisasi juga dapat dimaknai sebagai upaya mengubah paradigma dalam hukum acara pidana: dari mengutamakan keadilan prosedural menjadi keadilan substansial.
Kebijakan penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana merupakan fenomena baru dalam upaya depenalisasi di Indonesia. Di samping itu, depenalisasi dipandang perlu untuk dilakukan sebagai upaya mengatasi situasi darurat kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan. Ke depan, sudah saatnya, untuk tindak pidana tertentu, sanksi perdata, misalnya ganti kerugian, dapat menjadi pengganti atas sanksi pidana penjara.
Tidak ada komentar
Posting Komentar