Dalam Rencana Dasar Sains dan Teknologi ke-5 pada tahun 2016, Kabinet Jepang mengusulkan inisiatif yang disebut dengan “Society 5.0”. Visinya adalah menciptakan “Masyarakat Super Cerdas”. Society 5.0 adalah masyarakat yang dapat menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era revolusi industri 4.0, seperti internet on things, artificial intelligence, big data, dan robot untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.[1]
Society 5.0 merupakan penyempurnaan dari konsep-konsep sebelumnya. Society 1.0: pada saat manusia masih berada di era berburu dan mengenal tulisan. Society 2.0: era pertanian dimana manusia sudah mengenal bercocok tanam. Society 3.0: ketika manusia sudah mulai menggunakan mesin untuk membantu aktivitas sehari-hari (industrial). Society 4.0: manusia sudah mengenal komputer hingga internet. Society 5.0: semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Internet bukan hanya digunakan untuk sekedar berbagi informasi, melainkan untuk menjalani kehidupan.[2]
Ada batasan untuk apa yang dapat dilakukan orang, tugas menemukan informasi yang diperlukan dari informasi yang melimpah dan menganalisisnya menjadi beban, serta tenaga kerja dan ruang lingkup tindakan dibatasi karena usia dan berbagai tingkat kemampuan. Juga, karena berbagai pembatasan pada isu-isu, seperti penurunan angka kelahiran dan populasi yang menua dan depopulasi lokal yang sulit untuk ditanggapi secara memadai. Reformasi sosial dalam Society 5.0 akan mewujudkan masyarakat berwawasan ke depan yang memecah rasa stagnasi yang ada, masyarakat yang anggotanya saling menghormati satu sama lain, melampaui generasi, dan masyarakat yang dapat dipimpin oleh setiap orang untuk hidup yang aktif dan menyenangkan.
Society 5.0 mencapai tingkat konvergensi yang tinggi antara ruang maya (ruang virtual) dan ruang fisik (ruang nyata). Dalam masyarakat informasi masa lalu (Society 4.0), orang akan mengakses layanan cloud (database) di dunia maya melalui internet dan mencari, mengambil, dan menganalisis informasi atau data. Pada Society 5.0, sejumlah besar informasi dari sensor di ruang fisik terakumulasi di dunia maya. Di dunia maya, data besar ini dianalisis dengan kecerdasan buatan (AI), dan hasil analisis diumpankan kembali ke manusia dalam ruang fisik dalam berbagai bentuk.[3]
Dalam masyarakat informasi masa lalu, praktik umum adalah mengumpulkan informasi melalui jaringan dan dianalisis oleh manusia. Namun, di Society 5.0, orang, benda, dan sistem semuanya terhubung di dunia maya dan hasil optimal yang diperoleh AI melebihi kemampuan manusia diumpankan kembali ke ruang fisik. Proses ini membawa nilai baru bagi industri dan masyarakat dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin.[4]
Penegakan Hukum[5]
Menurut Jimly Asshiddiqie, penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Secara institusional, aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 (tiga) elemen penting yang mempengaruhi. Pertama, institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya. Kedua, budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya. Ketiga, perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materielnya maupun hukum acaranya.
Problematika Penegakan Hukum
Beberapa problematika penegakan hukum, pertama, masifnya judicial corruption. Istilah lainnya adalah mafia peradilan. Kedua, menggunakan logika transaksional yang berorientasi pada keuntungan. Ketiga, merusak sistem sosial. Keempat, menampilkan peradilan yang koruptif dan tidak adil. Dalam hal ini, peradilan untuk kemenangan, bukan keadilan. Berbagai upaya dilakukan agar dapat terhindar dari kekalahan. Acapkali upaya-upaya tersebut melawan hukum. Kelima, peradilannya sangat prosedural. Tentu, mengabaikan keadilan substansial.
Juga, maraknya “kriminalisasi”. Pembungkaman partisipasi publik melalui pelaporan dan/atau pengaduan kepada aparat penegak hukum pidana. Kriminalisasi menjadi biang keresahan kebebasan berpendapat. Tak luput juga intervensi politik terhadap hukum. Lembaga politis, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, mempunyai peran sangat strategis dalam menentukan hakim agung pada Mahkamah Agung dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan yang besar ini relatif membuka praktik transaksional.
Kemudian, lemahnya sumber daya manusia. Banyaknya rentetan proses hukum yang tidak seharusnya dibawa ke ranah peradilan menunjukkan lemahnya sumber daya manusia (SDM) di institusi penegak hukum. Masalah tersebut kemudian berdampak pada masih ditemukannya penegakan hukum yang diskriminatif. Penegakan hukum masih memandang status sosial seseorang di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat miskin, misalnya, mendapat nomor kesekian untuk dapat menikmati penegakan hukum yang berkeadilan.
Peran Penegak Hukum
Peran dapat diartikan sebagai perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Peran dipengaruhi oleh lingkungan organisasi. Ada koridor keteraturan yang berbeda yang menyebabkan hasil peran dari setiap orang (atau institusi) menjadi berbeda.
Keengganan untuk melakukan reformasi penegakan hukum akan jelas menampilkan peranan yang pasif dari hukum dan aparaturnya untuk merespon perkembangan Society 5.0. Hukum dan aparaturnya hanya akan tampil sebagai simbol saja tanpa memberikan kontribusi yang positif bagi masyarakat secara luas.
Hukum dan aparaturnya dapat memilih peran secara aktif atau partisipatif dalam menghadapi perkembangan Society 5.0. Pemilihan peran tersebut mengingat dalam penegakan hukum pidana, misalnya, masih dibutuhkan kedalaman nurani manusia (hakim) hingga ia mendapatkan keyakinan untuk memutus orang bersalah atau tidak, yang tentunya hal ini sangat riskan digantikan oleh artificial intelligence.
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
-
Disampaikan dalam “Webinar Peran Penegak Hukum: Peran Penegakan Hukum dalam Perkembangan Era Society 5.0” yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Ekonomi Syariah IAIN Kediri pada Minggu, 3 April 2022.
Tidak ada komentar
Posting Komentar