Di Indonesia, tindak pidana pembunuhan berencana diatur di dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mulai berlaku sejak tahun 1946. Sementara itu, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023), kebijakan kriminalisasinya dapat dilihat pada Pasal 459. Keduanya masih mempertahankan pidana mati sebagai alternatif dari pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara 20 tahun.
Padahal, dalam sejarahnya, ketika Wetboek van Strafrecht terbentuk pada tahun 1881 (yang kemudian menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandse Indie yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1918 di Hindia Belanda) pidana mati telah dihapuskan sejak tanggal 17 September 1870. Alasannya, para terpidana mati hampir selalu mendapatkan pengampunan dari Raja. Hal ini menyimpang dari asas konkordansi (P.A.F. Lamintang, 1984: 49) ketika KUHP diterapkan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda ketika itu.
Menurut Wirjono Prodjojodikoro (2009: 176), pidana mati, yang termasuk sebagai pidana pokok, masih berlaku dalam KUHP 1946 dengan merujuk pada pendapat Menteri Kehakiman Belanda Modderman saat membahas RKUHP Belanda. Pada pokoknya, pendapat tersebut meneguhkan status quo negara yang mempunyai segala hak, termasuk mempertahankan tertib hukum, melalui penjatuhan pidana mati.
Pada perkembangannya kemudian, menurut KUHP 2023, pidana mati tidak lagi termasuk sebagai pidana pokok. Pidana mati termasuk sebagai pidana yang bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif sebagai upaya mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat (lihat, Pasal 64 huruf c KUHP 2023 jo Pasal 67 KUHP 2023 jo Pasal 98 KUHP 2023).
Dalam praktik penjatuhan pidana mati ke depan, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan: (a) rasa penyesalan terdakwa dan ada harapan untuk memperbaiki diri; atau (b) peran terdakwa dalam tindak pidana yang harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. Apabila terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup (lihat, Pasal 100 ayat (1) dan ayat (4) KUHP 2023). Apabila yang terjadi sebaliknya, pidana mati dapat dilaksanakan.
Yang menarik, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup. Selain karena terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, juga apabila permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama sepuluh tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri (lihat, Pasal 101 KUHP 2023).
Sementara itu, menurut International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, khususnya pada Pasal 6 ayat (1) ditegaskan, hak untuk hidup melekat pada diri manusia dan tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang. Hanya saja, pada Pasal 6 ayat (2) ICCPR, pidana mati masih dapat dijatuhkan terhadap kejahatan yang paling serius dengan memperhatikan asas legalitas dan oleh pengadilan yang berwenang.
Menurut Komite HAM PBB dalam Komentar Umum Nomor 36 Tahun 2018 tentang Artikel 6 ICCPR, “kejahatan paling serius” harus dibaca secara terbatas dan hanya berlaku untuk kejahatan yang sangat berat yang mengakibatkan kematian secara langsung dan sengaja. Dengan demikian, dapat dimaknai, pelaku pembunuhan berencana dapat dijatuhi pidana mati, asalkan peradilannya dilakukan tidak sewenang-wenang oleh pengadilan yang berwenang dengan memperhatikan asas legalitas.
Beberapa Perdebatan
Bagi yang menolak, pidana mati dalam semua kasus, tanpa kecuali, sebagai pelanggaran hak untuk hidup dan hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan (Amnesty International Indonesia, 2021: 4). Dalam beberapa kasus, pidana mati dijatuhkan meskipun prosesnya tidak memenuhi standar internasional persidangan yang adil, misalnya, pengakuan yang mungkin diperoleh melalui penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya (Amnesty International Indonesia, 2020: 10 dan ICJR, 2022: 6).
Argumentasi yang lain, akses advokat (pembela) yang terbatas ke para terdakwa menimbulkan kekhawatiran tentang perlindungan hak atas persidangan yang adil, khususnya dalam sidang tuntutan pidana mati (Amnesty International Indonesia, 2021: 20 dan ICJR, 2021: 20). Pasalnya, setiap perampasan nyawa berdasarkan diskriminasi dalam hukum atau fakta secara nyata merupakan tindakan yang sewenang-wenang (Amnesty International Indonesia, 2021: 4). Di Indonesia, ditemukannya fenomena deret tunggu terhadap terpidana mati, yang termasuk ke dalam definisi penyiksaan, sehingga perlu ada komutasi terhadap pidana mati (ICJR, 2020: 30-31).
Bagi yang mendukung, misalnya Jimly Asshiddiqie (1995: 228-229), bagaimana mungkin alasan tidak berperikemanusiaan dapat diberikan bagi kepentingan pembunuh, sementara kejahatan pembunuhannya itu sendiri yang telah menelan korban secara tidak berperikemanusiaan tidak dipertimbangkan sama sekali? Barda Nawawi Arief (2011: 289) berpendapat, dipertahankannya pidana mati didasarkan pada ide “menghindari reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam” atau bersifat “extralegal execution”. Oleh karena itu, penerapan oleh hakim berdasarkan undang-undang akan lebih selektif dan rasional.
Dalam sudut pandang KUHP 2023, pidana mati tidak terdapat dalam urutan jenis pidana pokok, tetapi bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan adanya masa percobaan yang memberikan kesempatan terpidana memperbaiki diri, sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti (komutasi) dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
Beberapa Diskusi
Pertama, pidana mati terhadap terpidana tindak pidana pembunuhan berencana hanya dapat dijatuhkan setelah melalui proses peradilan yang adil sesuai standar hukum dan HAM. Jangan sampai peradilan sesat yang menimpa Kemat, Devid, dan Sugik beberapa tahun lalu, di Jombang, terjadi kembali. Tak kuat menahan penyiksaan yang diterima, ketiganya harus pasrah mengakui telah melakukan pembunuhan berencana. Derita berlanjut ketika beragam tekanan lain dialami selama proses di pengadilan, walaupun tidak sampai divonis pidana mati.
Kedua, pidana mati tidak dapat dituntutkan, bahkan dijatuhkan, terhadap terdakwa tindak pidana pembunuhan berencana sebagai reaksinya atas perlakuan tertentu yang diskriminatif yang tidak direspon oleh aparatur negara yang berwenang sesuai standar hukum dan HAM. Menurut Amnesty International Indonesia (2021: 4), setiap perampasan nyawa berdasarkan diskriminasi dalam hukum atau fakta secara nyata merupakan tindakan yang sewenang-wenang.
Ketiga, merujuk pada Pasal 102 KUHP 2023, ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dengan undang-undang. Menurut Pasal 621 KUHP 2023, peraturan pelaksanaan tersebut harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak KUHP 2023 diundangkan. Berarti, undang-undang yang dimaksud harus sudah ditetapkan paling lambat tanggal 2 Januari 2025.
Pembentukan undang-undang tersebut wajib menjamin partisipasi yang bermakna. Pertama, terjaminnya hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya. Kedua, terjaminnya hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya. Ketiga, terjaminnya hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.
-
Terbit di Harian Bhirawa, 13 Maret 2023, halaman 4. Klik di sini.
Artikel ini menyajikan pandangan yang mendalam mengenai penerapan pidana mati terhadap pelaku pembunuhan berencana di Indonesia. Menyajikan perspektif hukum dari KUHP 2023, artikel ini menyoroti perubahan status pidana mati yang kini lebih bersifat alternatif dan dapat dikurangi jika terdakwa menunjukkan sikap perbaikan. Selain itu, perdebatan mengenai pidana mati juga dibahas, dengan argumen yang mendukung dan menentang berdasarkan prinsip hak asasi manusia dan perlakuan adil dalam peradilan. Diskusi tentang perlunya pembentukan undang-undang pelaksanaan pidana mati yang lebih transparan juga sangat relevan dalam konteks ini.
BalasHapusSebagai mahasiswa, saya mengapresiasi jurnal "Pidana Mati terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana" yang menyajikan analisis mendalam tentang penerapan hukuman mati di Indonesia. Jurnal ini berhasil menjelaskan kompleksitas hukum dan pertimbangan yang dihadapi hakim. Namun, saya merasa perlu ada penekanan lebih pada isu hak asasi manusia dan hukuman alternatif lainnya. Pembahasan kasus-kasus nyata dan implementasi hukum di lapangan juga akan sangat berguna untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif. Secara keseluruhan, jurnal ini memberikan kontribusi penting dalam perdebatan hukum pidana di Indonesia.
BalasHapusHal ini tentang pidana mati bagi pelaku pembunuhan berencana di Indonesia, dengan mengkaji perubahan kebijakan hukum dari KUHP 1946 ke KUHP 2023. Pidana mati tetap dipertahankan, namun dengan prosedur yang lebih selektif, termasuk masa percobaan dan kemungkinan komutasi. Hal ini menunjukkan upaya hukum untuk menyeimbangkan perlindungan hak asasi manusia dan rasa keadilan masyarakat. Namun, perdebatan tentang keadilan dan hak hidup tetap bergulir, mengingat potensi penyalahgunaan proses peradilan dan masalah diskriminasi. Tentu, pembentukan undang-undang yang lebih rinci terkait pelaksanaan pidana mati harus mengutamakan transparansi dan partisipasi publik. Artikel ini memicu refleksi penting tentang penerapan hukum pidana yang manusiawi, adil, dan sesuai dengan standar HAM internasional.
BalasHapusFazira Mairanda (23403046_HTN-B-)
BalasHapusMenurut saya hukuman mati untuk kasus pembunuhan di Indonesia, sebuah topik yang masih menjadi perdebatan. Meskipun telah ada moratorium eksekusi secara de facto sejak 2016, Indonesia masih terus menjatuhkan hukuman mati, dengan 114 hukuman mati dijatuhkan pada tahun 2023 saja. Negara ini mempertahankan hukuman mati terutama untuk kejahatan serius seperti pembunuhan dan pelanggaran narkoba, yang mencerminkan sentimen publik yang kompleks.
Kasus-kasus besar yang terjadi baru-baru ini, seperti kasus Ferdy Sambo(2023) dikarenakan Berjasa Kepada Negara sehingga mengubah vonis mati menjadi pidana seumur hidup, telah kembali memunculkan diskusi tentang konsistensi sistem peradilan. Meskipun Indonesia mengikuti tren internasional dengan memperkenalkan reformasi seperti masa percobaan sepuluh tahun untuk beberapa narapidana hukuman mati, penghapusan hukuman mati secara menyeluruh masih jauh dari kenyataan. Perdebatan ini mencakup dimensi hukum, sosial, dan politik, dengan mempertimbangkan opini publik, standar hak asasi manusia internasional, dan sikap pemerintah terhadap kejahatan serius, dan menurut saya lebih baik ada hukuman mati daripada kejahatan merajalela di mana-mana termasuk orang-orang petinggi yang melakukan kejahatan besar tapi hanya ditahan dan bahkan hanya dikenai pidana yang kecil bahkan ada yang sampai tidak pernah menunjukkan batang hidungnya untuk dihukum mati maupun dipenjara seumur hidup.
Vina Himmatul 'Ulya (23303004)
BalasHapusArtikel ini menjelaskan evolusi hukum pidana di Indonesia, khususnya mengenai pembunuhan berencana dan penerapan pidana mati. Dengan diundangkannya KUHP 2023, terdapat harapan bahwa sistem hukum Indonesia akan lebih menghormati hak asasi manusia sambil tetap menjaga ketertiban sosial.
Perubahan signifikan dalam KUHP 2023 adalah penempatan pidana mati sebagai hukuman alternatif, bukan lagi sebagai hukuman pokok. Ini mencerminkan pergeseran dari pendekatan yang represif menuju pendekatan yang lebih rehabilitatif, di mana terpidana memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri selama masa percobaan sepuluh tahun. Namun, tantangan dalam praktik peradilan tetap ada, termasuk kasus-kasus di mana proses hukum tidak memenuhi standar internasional untuk peradilan yang adil.
Ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) oleh Indonesia juga menjadi sorotan, karena menekankan hak untuk hidup dan menyatakan bahwa pidana mati hanya dapat diterapkan dalam kasus kejahatan paling serius. Hal ini menuntut sistem peradilan untuk beroperasi dengan transparansi dan akuntabilitas.
Meskipun ada kemajuan dalam pengaturan hukum pidana melalui KUHP 2023, tantangan dalam implementasi dan perlindungan hak asasi manusia tetap memerlukan perhatian serius. Dialog terbuka antara pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi sangat penting untuk menciptakan sistem hukum yang adil dan manusiawi.
DANUR RISKI P (23303058) HTN B
BalasHapusArtikel ini memberikan pandangan komprehensif tentang pidana mati dalam konteks KUHP 2023, menekankan pentingnya pelaksanaannya secara selektif dan rasional. Pendekatan baru dalam KUHP, yang menempatkan pidana mati sebagai hukuman khusus dengan masa percobaan, menunjukkan upaya untuk menyeimbangkan antara kebutuhan melindungi masyarakat dari kejahatan berat dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Namun, pelaksanaan pidana mati harus benar-benar mengikuti standar hukum dan HAM untuk mencegah peradilan sesat, seperti kasus Kemat, Devid, dan Sugik. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam penyusunan aturan pelaksanaannya menjadi sangat penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Diskusi ini menggarisbawahi perlunya pendekatan yang adil dan manusiawi dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Tulisan ini sudah baik dalam membahas isu hukum dan HAM, khususnya terkait pidana mati dalam KUHP 2023. Penyebutan Amnesty International Indonesia menegaskan pentingnya prinsip HAM dalam menilai penerapan pidana mati. Penjelasan Pasal 102 dan 621 KUHP relevan, namun akan lebih kuat jika dianalisis dampaknya terhadap kebijakan pidana mati, termasuk keterkaitannya dengan komitmen HAM internasional seperti ICCPR.
BalasHapusBagian partisipasi publik sangat penting, tetapi perlu diuraikan mekanisme konkret yang dapat memastikan partisipasi bermakna, seperti konsultasi publik. Untuk memperkaya tulisan, pro dan kontra pidana mati serta alternatif seperti keadilan restoratif dapat dipertimbangkan. Ini akan memperkuat analisis hukum sekaligus memberikan pandangan yang lebih komprehensif.
Raisa Saifun Nuha_23303047_HTN B
BalasHapusArtikel di atas membahas tentang bagaimana hukuman mati yang dilaksanakan di Indonesia. Sampai saat ini, masih ada pro dan kontra akan hukuman mati. Artikel di atas sudah banyak menjelaskan tentang bagaiman hukuman mati mendapat banyak pro dan kontra. Saya setuju dengan pendapat dari Jimly Asshiddiqie bahwa hukuman mati harus dilaksanakan karena kalau tidak dilaksanakan, hal itu akan terkesan tidak adil untuk korban. Memang benar bila Hak Asasi Manusia untuk hidup adalah hak yang didapat dari Tuhan (dari lahir), tapi apakah adil bila pelaku merebut hak hidup korban tersebut. Mungkin dari KUHP 2023 dapat menjadi jalan untuk pro dan kontra ini. Hukuman mati tetap ada namun harus melewati masa percobaan. Namun, diharapkan pemerintah dapat dengan semaksimal mungkin bisa menjalankan hal ini agar tidak ada pengulangan pelanggaran tindak pidana dan menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa undang-undang yang mengatur HAM perlu untuk dibuat agar tidak ada orang yang memanfaatkan hukuman mati ini untuk hal-hal yang tidak baik.
Nama: Agustina Robi'atul Izza
BalasHapusNIM: 23303064
Kelas: Hukum Pidana HTN B
Artikel di atas membahas mengenai pidana mati terhadap pelaku pembunuhan berencana yang mana diatur dalam KUHP. Menurut KUHP 2023 pidana mati termasuk pidana yang bersifat khusus yang selalu diancamkan secara alternatif sebagai upaya mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat, akan tetapi pidana mati bisa berubah menjadi pidana seumur hidup. Menurut saya di dalam masa percobaan, terpidana belum tentu menyadari dan menyesali apa yang telah diperbuatnya. Terpidana bisa saja melakukan kejahatan kembali apabila ia telah bebas dari penjara, tak jarang juga ditemui kasus-kasus yang serupa itu terjadi. Kembali lagi ke karakteristik dari si terpidana. Perlindungan HAM bagi pelaku pidana dapat menghambat proses hukuman, rasanya tidak tegas apabila terpidana tetap dilindungi meskipun ia telah merugikan korban dan lingkungannya. Keresahan masyarakat akan hal serupa yang bisa saja terulang kembali juga perlu diperhatikan, perlindungan HAM memang penting tetapi menegaskan hukuman kepada yang benar-benar bersalah juga tidak kalah penting.
Nama: M Azka Abdillah
BalasHapusNim: 23303045
Kelas: Htn-B
Artikel ini membahas tentang Polemik pidana mati dalam KUHP 2023 mencerminkan upaya penyeimbangan antara penegakan hukum dan penghormatan HAM. Meskipun tetap diatur, perubahan menjadi pidana bersifat khusus dengan masa percobaan 10 tahun memberikan harapan rehabilitasi bagi terpidana. Namun, pelaksanaan hukuman ini harus memenuhi standar peradilan adil, bebas diskriminasi, dan menjamin hak asasi. Kasus salah peradilan seperti di Jombang menegaskan pentingnya pengawasan ketat. Partisipasi publik dalam pembentukan peraturan pelaksana sangat krusial untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Reformasi ini harus memastikan bahwa pidana mati tidak disalahgunakan dan benar-benar menjadi upaya terakhir dalam penegakan keadilan.
Nama: Diah Dwi Anggraeni
BalasHapusNim: 23303049
Hukum pidana:b
di Indonesia hukum pidana mati sebagai alternatif dari pada penjara seumur hidup dan di pidana 20 tahun sedangkan dalam kuhp 2023 pidana tidak lagi menjadi pidana pokok dan pada kuhp 2023 hakim akan menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun dengan memperhatikan rasa penyesalan terdakwa dan harapan untuk memperbaiki diri. pidana mati menimbulkan beberapa perdebatan bagi yg menolak menganggap pidana mati sebagai pelanggar hak untuk hidup yg dimiliki manusia. bagi yg mendukung memiliki alasan pidana mati dapat menghindari reaksi masyarakat yg bersifat balas dendam artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang pidana mati yg berlaku di Indonesia dari sebelum dan sesudahnya kuhp 2023, dalam hal ini juga penting menekankan pentingnya pelaksanaan pidana mati supaya masyarakat merasa tidak ada yg dirugikan (selektif). akan tetapi pelaksanaan hukum pidana mati harus mengikuti sesuai prosedur yg sudah ada dalam kuhp 2023 dan tidak boleh dilakukan dengan semena" karena akan menimbulkan sesuatu hal yang tidak diinginkan dalam hukum pidana mati.
Alfan Jamil Zam Zami (23303036) HTN B
Hapusdalam artikel ini kita bisa lihat dimana dalam hukuman mati dalam kasus tindak pidana pembunuhan berencana sangat asyik dibicarakan karena dari dulu masalah ini banyak sekali perdebatan sampai sekarang. Dimana hukuman mati suatu hal yang mernggut hak hidup seseorang. Dimana kita bisa ketahui hak hidup dimiliki oleh setiap individu dan tidak boleh didiganggu gugat oleh siapapun, walaupun itu negara yang berusaha merenggut.dan hak hidup suatu hal yang ashik (melkat) pada setiap individi. karena hak hidup tidak bisa di beri oleh siapapun bisa dikatakan bahwa hak hidup itu hanya Tuhan yangemberikan maka itu harus dijaga secara mutlak, Selain itu juga dengan dasar moralitas. Adapun perbuatan pembunuhan berencana itu juga mencerminkan suatu ketidak kemanusiaa, tak memcerminkan norma kesusilaan. Dimana itu perbuatan yang sangat keji. Maka dari itu menurut pribadi saya dalam artikel ini memberikan banyak pencerahan dalam kasus hukuman mati dalam tindak pidana pembunuhan berencana. Kita dapat mengetahui lebih dalam tentang kasus tersebut. Dengan demikian saya mengucapkan Terima kasih kepada bapak sebanyak banyaknya.
Nama : surya ninda seta
BalasHapusNim : 23303033
Kelas : Hukum Pidana HTN-B
argumentasi saya terkait artikel diatas adalah pelaku tindak pidana pembunuhan berencana harus dihukum seberat beratnya, namun tidak boleh mengesampingkan UUD 1945 pada pasal 28 a yang berbunyi “ setiap orang berhak hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” yang mana pasal tersebut menjelaskan bahwa bagaimanapun seseorang telah melakukan pembunuhan berencana, pelaku tidak dapat diadili dengan cara dijatuhi hukuman mati karena jika pelaku tindak pidana tersebut dijatuhi hukuman mati, maka negara yang di cap sebagai negara hukum dinilai telah melakukan pelanggaran konstitusi, meski demikian pembunuhan berencana tetap dianggap kejahatan paling berat dalam sistem hukum Indonesia, baik dalam KUHP maupun RKUHP. RKUHP membawa langkah reformasi dengan bahasa yang lebih sistematis dan tambahan unsur HAM, tetapi tantangan dalam pembuktian dan kontroversi pidana mati masih menjadi persoalan utama. Dengan pendekatan komprehensif, RKUHP dapat diimplementasikan untuk memperkuat keadilan dan kepastian hukum di masa mendatang.
Rahma Octarica_23303057_HTN
BalasHapusArtikel di atas membahas mengenai pidana mati terhadap pelaku pembunuhan berencana yang mana diatur dalam KUHP.ketika Wetboek van Strafrecht terbentuk pada tahun 1881 (yang kemudian menjadi Wetboek van Strafrecht voor Nederlandse Indie yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1918 di Hindia Belanda) pidana mati telah dihapuskan sejak tanggal 17 September 1870. Alasannya, para terpidana mati hampir selalu mendapatkan pengampunan dari Raja. Hal ini menyimpang dari asas konkordansi (P.A.F. Lamintang, 1984: 49) ketika KUHP diterapkan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda ketika itu. Pidana mati menurut saya pelanggaran hak untuk hidup dan hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan. tapi jika hukuman mati masih dipergunakan juga harus sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku. tapi kalau menurut International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, khususnya pada Pasal 6 ayat (1) ditegaskan, hak untuk hidup melekat pada diri manusia dan tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang. Hanya saja, pada Pasal 6 ayat (2) ICCPR, pidana mati masih dapat dijatuhkan terhadap kejahatan yang paling serius dengan memperhatikan asas legalitas oleh pengadilan yang berwenang.pelaku pembunuhan berencana dapat dijatuhi pidana mati, asalkan peradilannya dilakukan tidak sewenang-wenang oleh pengadilan yang berwenang dengan memperhatikan asas legalitas.
Nama : Ahmad Syaikhul Alim
BalasHapusNim : 23303024
Kls : HTN B
komentar terhadap artikel:
Menurut pandangan saya, artikel tentang pidana mati terhadap pelaku pembunuhan berencana ini sangat penting dalam pembahasan yang sangat mencuat pada publik akhir" ini, yang dimana dalam artikel tersebut sudah dijelaskan bahwa dalam sejarahnya tindak pidana ini ingin dihapuskan dikarenakan menyimpang dari asas konkordansi pada saat itu, kemudian tindak pidana tersebut dalam sejarahnya juga tidak disetujui oleh para raja dikarenakan pelaku tindak pidana terhadap pembunuhan berencana mendapatkan ampunan dari raja itu sendiri yang mana tindak pidana mati tersebut juga diterapkan dalam negara Indonesia ini. Kemudian pidana mati tersebut mengalami perkembangannya, yang dimana menurut KUHP pidana mati itu sendiri bukan lagi merupakan sebagai tindak pidana pokok, dikarenakan pidana mati tersebut dalam KUHP termasuk sebagai tindak pidana yang bersifat khusus dan selalu diancam kepada masyarakat sebagai upaya untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan untuk mengayomi masyarakat itu sendiri. Kemudian yang menarik dalam tindak pidana mati tersebut ialah pidana mati tersebut bisa diubah menjadi pidana seumur hidup, dikarenakan apabila seorang terdakwa melakukan perbuatan dan sikap yang terpuji dalam masa percobaan pembunuhan maka seorang terdakwa hukumannya bisa diubah menjadi pidana seumur hidup. Kemudian menurut ICCPR melalui UU NOMOR 12 TAHUN 2005 yang dimana dalam pasal 6 ayat 1 dijelaskan bahwa hak untuk hidup melekat dalam diri manusia dan tidak bisa dirampas secara sewenang-wenang, kemudian terjadi perbedaan bunyi pada pasal 6 ayat 2 yang dimana pidana mati masih bisa dilakukan terhadap kejahatan yang serius tetapi dengan memperhatikan asas legalitas dan oleh pengadilan yang berwenang. Kemudian dalam komentar umum menurut Komite HAM PBB nomer 36 tahun 2018 tentang artikel 6 ICCPR komite HAM PBB menyoroti kata kata tentang "kejahatan yang serius" yang dimana kata kata tersebut harus dibaca secara terbatas dan hanya berlaku untuk kejahatan yang sangat berat yang berujung pada kematian yang dilakukan secara langsung dan sengaja. Dengan begitu dapat dipahami bahwasanya pelaku pembunuhan berencana dapat dijatuhi pidana mati tersebut, asalkan peradilan nya dilakukan tidak sewenang-wenang sewenang-wenang oleh pengadilan yang berwenang dan dengan memperhatikan asas legalitas tersebut.
Nama : Khoirun Ni’ma S.A
BalasHapusNim : 23303043
Kelas : Hukum Pidana Htn B
Artikel ini membahas pidana mati di Indonesia, khususnya dalam kasus pembunuhan berencana, dengan menyoroti perubahan penting dalam KUHP 2023. Dalam aturan baru ini, pidana mati tidak lagi menjadi hukuman pokok, melainkan hukuman khusus yang disertai masa percobaan 10 tahun. Jika selama masa percobaan terpidana menunjukkan sikap baik, hukuman bisa diubah menjadi penjara seumur hidup. Pendekatan ini mencerminkan upaya untuk lebih manusiawi dan sejalan dengan standar internasional.
Namun, artikel juga mengkritik kelemahan sistem peradilan Indonesia, seperti risiko salah vonis dan proses hukum yang belum sepenuhnya adil. Penundaan eksekusi yang panjang juga dianggap sebagai bentuk penyiksaan. Meskipun pidana mati sering dipandang sebagai hukuman setimpal untuk kejahatan berat, banyak yang menilai bahwa hukuman ini melanggar hak untuk hidup dan tidak efektif sebagai pencegah kejahatan.
Reformasi dalam KUHP 2023 dianggap langkah maju karena memberi ruang untuk rehabilitasi. Namun, implementasi aturan ini membutuhkan perbaikan sistem peradilan agar transparan dan bebas dari kesalahan. Ada peluang untuk menggantikan pidana mati dengan penjara seumur hidup sebagai alternatif yang lebih manusiawi.
NAMA:DWI AJENG NABILAH SARASWATI
BalasHapusNIM:23303026
KELAS:HTN B
Tanggapan terhadap pembahasan mengenai pidana mati dalam kasus pembunuhan berencana di Indonesia bisa dilihat dari berbagai sudut pandang hukum, etika, dan hak asasi manusia.
Namun, meskipun undang-undang ini memberikan fleksibilitas, hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai implementasi prinsip keadilan. Bagaimana pengadilan memastikan bahwa proses hukum terhadap terdakwa benar-benar berjalan dengan adil dan tanpa adanya penyiksaan atau perlakuan buruk yang dapat mempengaruhi hasil persidangan? Hal ini penting untuk memastikan bahwa keputusan hukuman, termasuk pidana mati, tidak diambil secara sewenang-wenang atau berdasarkan kekeliruan dalam proses peradilan.
Selain itu, pembentukan undang-undang pelaksanaan pidana mati yang diatur dalam Pasal 621 KUHP 2023 harus menjamin adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum, serta memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengajukan pendapat dan mendapatkan penjelasan. Ini penting agar regulasi yang mengatur pelaksanaan pidana mati dapat diterima oleh masyarakat luas dan memastikan bahwa hukum berjalan dengan transparansi dan akuntabilitas.
Nama:Wistyo Dwi Setiawan
BalasHapusNim:23303028
Kelas:HTN -B
Pidana mati dalam kasus pembunuhan berencana masih menjadi isu kontroversial di Indonesia. Meskipun KUHP 2023 memberikan ruang bagi perbaikan bagi terpidana, seperti kemungkinan komutasi pidana mati, namun masih banyak tantangan yang harus dihadapi, terutama terkait dengan perlindungan hak asasi manusia dan implementasi yang adil. Penting untuk terus memperbaiki sistem peradilan dan memastikan bahwa setiap keputusan hukum, khususnya yang melibatkan pidana mati, benar-benar berlandaskan pada keadilan yang objektif dan tanpa diskriminasi
Firly Andini - HTN B - 23303025
BalasHapusBagi yang menolak, pidana mati dalam semua kasus, tanpa kecuali, sebagai pelanggaran hak untuk hidup dan hukuman yang paling kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat kemanusiaan (Amnesty International Indonesia, 2021: 4). Dalam beberapa kasus, pidana mati dijatuhkan meskipun prosesnya tidak memenuhi standar internasional persidangan yang adil, misalnya, pengakuan yang mungkin diperoleh melalui penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya (Amnesty International Indonesia, 2020: 10 dan ICJR, 2022: 6).
Argumentasi yang lain, akses advokat (pembela) yang terbatas ke para terdakwa menimbulkan kekhawatiran tentang perlindungan hak atas persidangan yang adil, khususnya dalam sidang tuntutan pidana mati (Amnesty International Indonesia, 2021: 20 dan ICJR, 2021: 20). Pasalnya, setiap perampasan nyawa berdasarkan diskriminasi dalam hukum atau fakta secara nyata merupakan tindakan yang sewenang-wenang (Amnesty International Indonesia, 2021: 4). Di Indonesia, ditemukannya fenomena deret tunggu terhadap terpidana mati, yang termasuk ke dalam definisi penyiksaan, sehingga perlu ada komutasi terhadap pidana mati (ICJR, 2020: 30-31).
Bagi yang mendukung, misalnya Jimly Asshiddiqie (1995: 228-229), bagaimana mungkin alasan tidak berperikemanusiaan dapat diberikan bagi kepentingan pembunuh, sementara kejahatan pembunuhannya itu sendiri yang telah menelan korban secara tidak berperikemanusiaan tidak dipertimbangkan sama sekali? Barda Nawawi Arief (2011: 289) berpendapat, dipertahankannya pidana mati didasarkan pada ide “menghindari reaksi masyarakat yang bersifat balas dendam” atau bersifat “ extralegal execution ”. Oleh karena itu, penerapan oleh hakim berdasarkan undang-undang akan lebih selektif dan rasional.
Dalam sudut pandang KUHP 2023, pidana mati tidak terdapat dalam urutan jenis pidana pokok, tetapi bersifat khusus sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati harus selalu diancamkan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan adanya masa percobaan yang memberikan kesempatan terpidana memperbaiki diri, sehingga pidana mati tidak perlu dilaksanakan dan dapat diganti (komutasi) dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
DYAQSHA ELYA R S HTN B 23303067
BalasHapusArtikel ini telah menyajikan berbagai perspektif mengenai pidana mati di Indonesia. Isu ini sangat kompleks dan memerlukan perdebatan yang mendalam. Namun, yang pasti adalah bahwa setiap keputusan yang berkaitan dengan pidana mati harus diambil dengan sangat hati-hati dan mempertimbangkan segala aspek, termasuk aspek hukum, HAM, dan sosial.Hukuman mati adalah isu kompleks yang memerlukan pertimbangan matang dari berbagai aspek. Dengan memperhatikan argumen-argumen yang diajukan, diharapkan Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang lebih manusiawi dan efektif dalam menangani kejahatan.
M. 'Azmi Ali_HTN B_23303040
BalasHapusHukuman mati, meskipun merupakan hukuman terberat, bisa dianggap sebagai bentuk keadilan bagi keluarga korban, terutama dalam kasus pembunuhan berencana yang menunjukkan kekejaman dan perencanaan yang matang.