Selasa, 27 Februari 2024

Insan Lembaga Antikorupsi Melakukan Korupsi?

Miris. Sebagian insan yang bekerja di lembaga antikorupsi justru melakukan korupsi. Ya, 90 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbukti bersalah melakukan praktik pengutan liar (pungli) di Rumah Tahanan (Rutan) KPK.

Para pegawai tersebut melanggar Pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku KPK. Sebanyak 78 orang pegawai mendapatkan sanksi etik berat berupa sanksi moral, yaitu permintaan maaf secara terbuka dan langsung. Sisanya, diserahkan ke Sekretariat Jenderal (Sekjend) KPK untuk pemeriksaan dan penyelesaian lebih lanjut.

Sebagaimana rilis beberapa media, nilai total pungli mencapai Rp 6 miliar. Terjadi di tiga Rutan KPK: C1, Gedung Merah Putih, dan Guntur. Dalam praktik culas itu, ada istilah dan peran “lurah” untuk menyebut orang yang paling senior di Rutan KPK. Memalukan!

Pungli itu Korupsi?

Beberapa pihak menyayangkan ringannya hukuman yang diterima oleh para pegawai culas tersebut. Mereka hanya dihukum meminta maaf secara terbuka dan langsung. Itupun dilakukan melalui kanal internal KPK. Meskipun, masih ada sanksi disiplin yang disiapkan oleh Sekjend KPK.

Publik perlu memahami, hukuman tersebut masih dalam ranah pelanggaran etik. Pada ranah yang demikian, jelas tidak ada pemidanaan. Saat ini, kita masih perlu membedakan antara penegakan etika dengan penegakan hukum. Keduanya mempunyai prosedur dan jenis sanksi yang berbeda.

Untuk dapat memidana para pegawai itu, maka mekanisme hukum acara pidana harus ditempuh. Mulai penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, hingga kemudian putusannya berkekuatan hukum tetap. Prosesnya relatif panjang.

Apabila proses penegakan hukum pidana ditempuh, maka perlu juga untuk memastikan tindak pidana apa yang mereka lakukan. Dengan kata lain, perbuatan pungli yang terbukti di sidang pelanggaran etik harus memenuhi unsur-unsur pasal tindak pidana menurut undang-undang yang berlaku.

Penulis pernah menulis di koran ini tentang pemerasan yang kemudian diformulasikan sebagai tindak pidana korupsi. Tindak pidana tersebut dirumuskan di dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pertanyaannya, apakah pungli termasuk sebagai pemerasan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pungutan berarti “barang apa yang dipungut” atau “pendapatan dari memungut”. Sementara itu, liar diartikan, salah satunya, “tidak teratur; tidak menurut aturan (hukum)”; atau “tidak resmi ditunjuk atau diakui oleh yang berwenang”. Di laman KPK menyebutkan, pungli adalah pendapatan dari memungut yang tidak sesuai dengan aturan hukum alias tidak resmi.

Dengan begitu, pungli termasuk sebagai pemerasan. Apabila subjeknya adalah para pegawai KPK yang terbukti melakukan pungli, maka Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001, misalnya, dapat diterapkan. Pidananya cukup berat: seumur hidup atau pidana penjara antara 4 (empat) tahun hingga 20 (dua puluh tahun). Belum lagi pidana dendanya yang bersifat kumulatif dengan pidana penjara: minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Ke Depan

KPK berjanji berbenah. Inspeksi mendadak dan memperbanyak CCTV sudah direncanakan. Di samping itu, lembaga antirasuah tersebut juga akan melakukan rotasi pegawai. Di sisi yang lain, ada pula tawaran untuk memperbaiki proses rekrutmen.

Bersih-bersih di KPK akan menuai hasil, apabila, pertama, keteladanan dari pimpinan kembali dihadirkan. Mengutip tulisan Franz H. Winarta (2009: 231-232), seharusnya pemimpin memberikan teladan kepada bawahannya untuk hidup sederhana, berwibawa, berwawasan, punya leadership, dan tentunya antikorupsi.

Sayangnya, wajah kepemimpinan di KPK akhir-akhir menjadi suram. Pasalnya, dua mantan komisioner KPK justru terjerat pelanggaran etik: Lili Pintauli Siregar dan Firli Bahuri. Bahkan, Firli Bahuri, kini ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian.

Keteladanan menjadi suluh di jalan penegakan hukum yang kadang gelap gulita. Pimpinan yang berintegritas dan profesional akan memandu dan memancarkan cahaya kepada bawahannya untuk memastikan: yang benar adalah benar; yang salah adalah salah.

Kedua, penegakan hukum. Artinya, para pegawai yang melakukan pungli tidak cukup hanya mendapatkan sanksi etik dan disiplin, tetapi juga pidana. Instrumen hukumnya telah tersedia. Dengan begitu, tinggal menunggu gerak langkah aparat penegak hukumnya. Dalam hal ini, integritas dan profesionalitas aparat penegak hukum pidana dipertaruhkan.

Dulu, pernah terbentuk, misalnya, Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Satgas itu bermaksud untuk memberantas pungli mulai dari tingkat pusat hingga ke daerah. Tapi, keberadaannya relatif tidak berkelanjutan. Itu apabila tidak mau disebut musiman.

Oleh karenanya, ketiga, penguatan partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam kerja-kerja antikorupsi menjadi suatu keniscayaan. Menurut Eggy Sudjana (2008: 71), dukungan masyarakat melalui partisipasi yang aktif menjadi sangat menentukan keberhasilan bersih-bersih pungli di KPK.

Untuk itu, negara perlu memberikan jaminan pelindungan bagi masyarakat. Aparat penegak hukum harus mampu membuka wawasan dan lebih jeli terhadap pelaporan terkait pencemaran nama baik, fitnah, maupun penghinaan apabila berhubungan dengan kerja-kerja antikorupsi. Begitu yang biasanya kita suarakan: hentikan kriminalisasi!

-

Terbit di Harian Bhirawa, Senin, 26 Februari 2024, halaman 4. Klik di sini.

19 komentar

  1. Nama: Moch. Khoirul Anam.
    NIM: 23301020.
    Kelas: Hukum Pidana (HKI A).


    Praktik pungutan liar (Pungli) ternyata masih saja dilakukan, seperti halnya praktik pungli yang terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dan ironisnya, pelakunya sendiri adalah mereka pegawai yang semestinya menjaga Rutan secara bermartabat, tapi malah menarik atau menerima fulus dari para tahanan KPK. Setidaknya puluhan pegawai dinyatakan bersalah dan dikenakan sanksi etik.

    Sanksi yang diberikan kepada pegawai KPK yang terlibat pungli di rutan KPK, yaitu permintaan maaf secara terbuka dan langsung. Sisanya, diserahkan ke Sekretariat Jenderal (Sekjend) KPK untuk pemeriksaan dan penyelesaian lebih lanjut. Dan itu muncul beberapa kritikan dari berbagai pihak, seperti:

    1). MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) menyayangkan sanksi yang diberikan Dewas KPK kepada 78 pegawai KPK yang terbukti terlibat pungli.
    2). Beberapa sumber media juga mengkritik sanksi yang diberikan kepada pegawai KPK yang terlibat pungli.

    Para pegawai KPK yang terbukti bersalah dijerat dengan Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan Dewan Pengawas KPK No.3 Tahun 2021. Sanksi yang diberikan kepada para pegawai tersebut adalah meminta maaf secara terbuka dan akan ditayangkan di stasiun televisi KPK.
    Para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Saya juga menemukan beberapa point atau catatan terhadap peristiwa pungli tersebut,

    1). Beberapa media berita informasi itu menyebutkan bahwa pengusutan praktik pungli yang terjadi di rutan KPK terbilang sangat lambat. Sebab Dewas KPK diketahui sudah melaporkan kepada Pimpinan KPK. Namun, hingga saat ini, prosesnya mandek pada tingkat penyelidikan. Sedangkan dugaan pelanggaran kode etik lebih dari enam bulan, disini timbul pertanyaan, mengapa Dewas KPK baru menggelar proses persidangan?.

    2). Lunturnya nilai atau marwah KPK yang dinilai gagal dalam mengawasi sektor-sektor kerja yang terbilang rawan terjadi tindak pidana korupsi. Sebagai penegak hukum, mestinya KPK memahami bahwa Rutan merupakan salah satu tempat yang rawan terjadi korupsi. Sebab di Rutan para tahanan dapat berinteraksi secara langsung dengan pegawai KPK. Selain itu, tindakan jual-beli fasilitas yang disinyalir terjadi di rutan KPK saat ini juga bukan modus baru. Bahkan kerap terjadi pada Rutan maupun lembaga pemasyarakatan (Lapas) lain. Bukannya di sana mestinya sistem pengawasan sudah dibangun ketat untuk memitigasi praktik-praktik korup?.

    3). Peristiwa pungli yang dilakukan oleh puluhan pegawai juga salah satunya disebabkan karena kurangnya menjaga integritas serta faktor ketiadaan keteladanan di KPK (hilangnya marwah posisi KPK itu sendiri). Dari lima orang Pimpinan KPK periode 2019-2024 saja, dua di antaranya sudah terbukti melanggar kode etik berat.

    4). Selain melakukan reformasi total pengawasan di internal lembaga, KPK juga harus memastikan rekrutmen pegawai mengedepankan nilai integritas, agar tidak sampai orang-orang yang masuk dan bekerja justru memanfaatkan kewenangan untuk meraup keuntungan secara melawan hukum.

    Terimakasih...

    BalasHapus
  2. Nama : Cynthia Khanitah
    Nim : 22301103
    Kelas : Hukum Pidana Kelas A

    Mengenai artikel tersebut, sangat disayangkan bahwa ada oknum di lembaga antikorupsi yang justru terlibat dalam praktik korupsi itu sendiri. Ini menggambarkan tantangan besar dalam upaya menjaga integritas dan kredibilitas lembaga penegak hukum.
    Adanya 90 pegawai KPK yang terbukti melakukan praktik pungutan liar merupakan penghinaan terhadap perjuangan anti-korupsi di Indonesia. Sanksi moral berupa permintaan maaf yang diberikan dirasa terlalu ringan, mengingat pelanggaran yang dilakukan begitu berat. Penting untuk memisahkan antara pelanggaran etik dan pelanggaran pidana, dan kedua jenis pelanggaran tersebut harus ditangani dengan tegas. Ke depannya, KPK harus melakukan reformasi internal yang serius, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam kerja-kerja anti-korupsi. Keteladanan dari pimpinan juga sangat diperlukan untuk membangun kembali integritas lembaga ini.Diperlukan reformasi besar-besaran di tubuh KPK, termasuk perbaikan sistem rekrutmen, penguatan pengawasan internal, dan penegakan hukum yang tegas. Selain itu, peran masyarakat sebagai pengawas juga harus diperkuat dengan jaminan perlindungan hukum yang memadai. Jika KPK tidak segera berbenah, kepercayaan publik terhadap lembaga ini akan terus merosot, yang pada akhirnya menghambat upaya pemberantasan korupsi secara keseluruhan.

    Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya integritas di semua level lembaga antikorupsi dan penegakan hukum yang tegas untuk mengembalikan kepercayaan publik. Penguatan pengawasan internal dan partisipasi masyarakat menjadi kunci dalam mencegah dan menindak korupsi di masa depan.

    BalasHapus
  3. Nama : Muh. Latifatul Hidayat
    Nim :23301019
    Kls : Hukum Pidana A

    Ya, kasus-kasus di mana pegawai atau pejabat lembaga antikorupsi terlibat dalam korupsi memang sudah biasa di kalangan pemerintahan, meskipun mereka diharapkan menjadi simbol integritas dan pelopor pemberantasan korupsi. Hal ini sudah umum terjadi di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana kadang-kadang individu dalam lembaga antikorupsi ditemukan melakukan penyimpangan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.

    Fenomena ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
    1. Kelemahan sistem pengawasan internal: Meski bekerja di lembaga antikorupsi, para pejabat masih memerlukan pengawasan ketat, karena jabatan yang mereka emban juga memberi mereka akses dan kuasa yang besar.
    2. Godaan finansial dan politik: Korupsi sering kali melibatkan godaan uang atau kekuasaan yang sangat besar, sehingga meski mereka bertugas untuk menegakkan integritas, sebagian mungkin tergoda.
    3. Kepentingan politik dan konflik kepentingan: Dalam beberapa kasus, individu di lembaga antikorupsi terjebak dalam konflik kepentingan, misalnya dengan jaringan politik atau bisnis yang dapat memberikan pengaruh besar pada keputusan mereka.

    Kasus semacam ini menunjukkan pentingnya pengawasan independen dan mekanisme akuntabilitas bagi lembaga antikorupsi, agar mereka tetap dapat menjalankan fungsinya dengan efektif dan dapat dipercaya oleh masyarakat.

    BalasHapus
  4. Nama : M Fiqri Ulfiyandi Rizki
    Nim : 23301100
    Kelas : Hukum Pidana (HKI A)


    Artikel tersebut menjelaskan bahwa untuk menghilangkan praktik pungutan liar (pungli) di instansi seperti KPK, partisipasi atau dukungan masyarakat sangat penting. Meski pemerintah dari pusat hingga daerah sudah punya aturan untuk memberantas pungli, hasilnya sering tidak berlangsung lama dan terkesan musiman.

    Salah satu faktor penting dalam kesuksesan memberantas pungli adalah peran aktif masyarakat. Menurut Eggy Sudjana, masyarakat perlu ikut berperan aktif dengan berani melaporkan praktik pungli yang terjadi. Namun, masyarakat baru bisa berani melapor jika ada jaminan perlindungan dari negara agar mereka tidak takut akan ancaman atau risiko lain.

    Selain itu, aparat penegak hukum juga perlu lebih bijaksana dan hati-hati dalam menyikapi laporan terkait fitnah atau penghinaan, terutama jika menyangkut isu antikorupsi. Intinya, jangan sampai masyarakat yang berusaha mengungkap kebenaran justru dikriminalisasi atau disalahkan.

    Secara keseluruhan, artikel ini menunjukkan bahwa tanpa dukungan masyarakat dan perlindungan yang jelas, usaha untuk memberantas pungli akan sulit dilakukan dengan baik.

    BalasHapus
  5. Nama : Muhammad Rizky Yudo Prakoso
    NIM : 23301079
    Kelas : HKI (A)



    Artikel ini menyatakan bahwa partisipasi atau dukungan masyarakat sangat penting dalam mengeliminasi praktik pemerasan di tempat-tempat seperti lembaga anti-korupsi seperti KPK. Meskipun Pemerintah dari pusat hingga daerah memiliki pengaturan untuk penghapusan pemerasan, keberlanjutan sering kali bersifat sementara dan hanya musiman.

    Salah satu kontributor keberhasilan pemberantasan praktik pemerasan adalah partisipasi aktif masyarakat. Eggy Sudjana berpendapat bahwa masyarakat harus aktif berpartisipasi dengan melaporkan kasus-kasus pemerasan yang terjadi di luar lingkungan mereka. Namun, harus ada jaminan bahwa ketika warga tersebut melaporkan keluhan mereka kepada pihak berwenang, mereka dapat melakukannya dengan bebas tanpa takut akan pembalasan.

    Selain itu, pihak berwenang penegakan hukum juga disarankan untuk lebih menahan diri dan berhati-hati dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan pencemaran nama baik dan kasus penghinaan dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi. Intinya adalah, kita tidak boleh terlalu mengkriminalisasi atau menyalahkan orang-orang yang sedang mencari kebenaran.

    Secara keseluruhan, temuan yang diuraikan dalam artikel ini menunjukkan bahwa tanpa dukungan masyarakat dan perlindungan yang jelas, upaya yang diarahkan untuk memberantas praktik pemerasan akan sulit untuk dicapai secara efektif.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nama: Meta Ramelan Wicaksono
      NIM: 23301060
      Kelas: HKI (A)

      Kasus di mana insan lembaga antikorupsi terlibat korupsi adalah ironi besar yang mencederai kepercayaan publik. Lembaga antikorupsi, sebagai simbol integritas dan penjaga moral bangsa, seharusnya menjadi garda terdepan dalam melawan praktik korupsi. Ketika salah satu individunya terjerat kasus seperti ini, dampaknya sangat merusak, baik terhadap kredibilitas institusi maupun terhadap semangat masyarakat dalam mendukung pemberantasan korupsi. Peristiwa ini menunjukkan bahwa korupsi tidak hanya masalah struktural, tetapi juga persoalan moral individu, bahkan dalam institusi yang memiliki standar etika tinggi sekalipun. Kelemahan dalam pengawasan internal menjadi salah satu faktor yang harus segera diatasi melalui reformasi sistem dan penerapan mekanisme kontrol yang lebih ketat. Selain itu, langkah tegas harus diambil terhadap pelaku dengan memberikan sanksi yang adil dan transparan, untuk menunjukkan bahwa tidak ada toleransi terhadap pelanggaran, bahkan di dalam lembaga itu sendiri. Meskipun mencoreng citra lembaga, kasus ini juga bisa menjadi momentum introspeksi untuk memperkuat tata kelola dan memastikan kejadian serupa tidak terulang. Pada akhirnya, keberhasilan pemberantasan korupsi tidak hanya bergantung pada lembaga antikorupsi, tetapi juga pada dukungan masyarakat yang terus mendorong integritas dan akuntabilitas di setiap sektor kehidupan.

      Hapus
  6. Nama : Urmila Rahma Alma'ani
    NIM : 23301015
    Kelas : HKI (A)

    Poin-poin utama yang bisa kita lihat dari artikel diatas adalah:
    1. Kegagalan Keteladanan Para pemimpin KPK seharusnya menjadi contoh dalam melawan korupsi, namun justru terlibat dalam tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai lembaga itu sendiri. Ini adalah pukulan besar bagi kredibilitas KPK.

    2. Kelemahan Penegakan Hukum, Meskipun ada aturan yang jelas, penegakan hukum terhadap tindakan korupsi, terutama di kalangan pejabat tinggi, masih lemah. Ini menunjukkan adanya masalah dalam sistem penegakan hukum kita.

    3. Pentingnya Peran Masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi. Namun, mereka perlu perlindungan hukum yang lebih kuat agar berani melaporkan tindakan korupsi.

    Kesimpulannya, masalah korupsi di Indonesia adalah masalah sistemik yang kompleks. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya yang komprehensif, mulai dari reformasi sistem hukum, peningkatan pengawasan, hingga peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya pemberantasan korupsi.

    BalasHapus
  7. Nama : Mohamad Arafiq
    Kelas : Hukum Pidana (A)
    Nim : 23301080

    Dari artikel Bapak tersebut bisa kita tahu bahwa, pemerintahan di Indonesia masih sangat amat tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya. Dan bahkan dari pihak penegak hukum pun, sangat tidak kompeten. Coba bayangkan saja, seseorang melakukan pungutan liar (pungli) sebesar 6 milyar dan Terjadi di tiga Rutan KPK: C1, Gedung Merah Putih, dan Guntur. cuma dihukum dengan meminta maaf secara terbuka dan langsung.
    Menurut saya ini sangat tidak mencerminkan bahwa negara ini adalah negara hukum. Meskipun dari sekjend KPK telah disiapkan sanksi disiplin, tetap tidak etik. dan menurut saya sebuah kedisiplinan ini adalah perilaku yang harus ada di pemerintahan bahkan diwarga sekalipun yang harus di lakukan setiap hari bukan sebagai sanksi.

    BalasHapus
  8. Nama : Asfiatul Mardiatillah
    NIM : 23301016
    Kelas : HKI A

    Menurut artikel diatas Kasus pungutan liar yang dilakukan oleh 90 pegawai KPK menunjukkan ironi menyakitkan bagi lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketika pegawai di lembaga antirasuah terlibat dalam praktik tersebut, jelas ada krisis integritas yang harus segera ditangani secara menyeluruh dan serius.

    Sanksi etik berupa permintaan maaf secara terbuka bagi 78 pegawai, sementara sisanya masih dalam proses penindakan, bisa dibilang terlalu ringan di mata publik. Pungli adalah bentuk korupsi yang merugikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Dalam konteks hukum, pungli yang memenuhi unsur pemerasan seharusnya dikenai sanksi pidana, sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Proses penegakan hukum ini tidak hanya menjadi soal legalitas, tetapi juga soal keadilan dan komitmen KPK terhadap integritas.

    Pembersihan di tubuh KPK akan efektif jika dimulai dari pemimpin yang menjadi teladan integritas, bersikap tegas terhadap pelanggaran, dan membawa transparansi. Keterlibatan masyarakat dalam mengawasi dan memberikan masukan pun perlu ditingkatkan. Mengatasi korupsi harus dilakukan dengan langkah terintegrasi dan berkelanjutan. Jika KPK ingin memulihkan kredibilitasnya, lembaga ini perlu bergerak lebih keras, bukan hanya dalam penegakan etik, tetapi juga dalam ranah hukum pidana terhadap pelanggar internal. Hanya dengan langkah ini, KPK bisa kembali meraih kepercayaan publik dan menjalankan mandat pemberantasan korupsi yang sesungguhnya.

    BalasHapus
  9. setelah saya membaca artikel ini ,saya berpikir bahwa artikel tersebut mencerminkan ketidakpercayaan rakyat atau publik kepada suatu lembaga yang harusnya memberantas korupsi mlah mereka sendiri korupsi. Kasus pungutan liar (pungli) yang melibatkan pegawai KPK di rumah tahanan KPK (Rutan) merupakan sebuah ironi yang memalukan dan menyentuh perasaan banyak pihak, karena lembaga ini didirikan untuk memberantas praktik-praktik semacam itu.



    2. Penerapan Hukum yang Terabaikan
    Penulis menyarankan bahwa praktik pungli oleh pegawai KPK seharusnya dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan penulis benar dalam hal ini. Meskipun benar bahwa pelanggaran etik memiliki mekanisme tersendiri, namun pungli yang dilakukan oleh pejabat KPK—sebagai lembaga yang ditugaskan untuk memberantas korupsi—sangat wajar jika dianggap sebagai bentuk pemerasan, yang oleh undang-undang dapat dikenakan hukuman penjara hingga 20 tahun. Jika KPK gagal mengaplikasikan hukum ini kepada bawahannya, maka hal tersebut menambah ketidakpercayaan publik terhadap lembaga ini.

    3. Keteladanan Pimpinan KPK yang Terus Dipertanyakan
    Artikel ini juga menyoroti soal keteladanan pimpinan KPK, yang belakangan ini tercoreng oleh kasus-kasus etik yang melibatkan komisionernya sendiri, seperti Lili Pintauli Siregar dan Firli Bahuri. Keteladanan pimpinan sangat penting dalam organisasi, apalagi di lembaga antikorupsi seperti KPK. Ketika para pemimpin justru terlibat dalam masalah hukum, maka itu merusak kredibilitas lembaga secara keseluruhan. Integritas pimpinan adalah fondasi yang harus diperkuat untuk memastikan para pegawai di bawahnya tidak tergoda untuk melakukan tindakan yang serupa. Tanpa keteladanan yang kuat, proses pemberantasan korupsi di KPK hanya akan menjadi lip service belaka.

    4. Sanksi yang Tidak Tegas: KPK Cenderung Terlalu Lunak
    Salah satu hal yang sangat disayangkan dari artikel ini adalah ringan dan kurangnya tegasnya hukuman terhadap pegawai KPK yang terlibat dalam pungli. Meskipun sanksi etik sudah diberikan, hukuman tersebut tidak cukup untuk memberikan efek jera atau memperbaiki perilaku yang sudah terlanjur tercemar. Pegawai yang melakukan pungli harus dihadapkan pada sanksi pidana yang serius, bukan hanya permintaan maaf. Hal ini penting agar pesan yang disampaikan jelas: korupsi dan pungli tidak akan dibiarkan, bahkan di dalam lembaga yang diharapkan memberantasnya.

    5. Rotasi Pegawai dan Inspeksi Mendalam: Solusi yang Terlalu Permukaan?
    Penulis juga menyebutkan bahwa KPK berencana melakukan rotasi pegawai dan meningkatkan pengawasan dengan CCTV. Sementara itu adalah langkah yang baik untuk meningkatkan transparansi dan mencegah adanya penyalahgunaan wewenang, namun solusi ini terasa tidak cukup untuk menanggulangi masalah yang lebih mendalam. Masalah sesungguhnya adalah budaya internal di KPK yang mungkin sudah terkontaminasi oleh sikap permisif terhadap perilaku koruptif. Rotasi pegawai dan pemeriksaan mendalam hanya akan efektif jika KPK benar-benar memprioritaskan perbaikan dalam sistem seleksi dan pelatihan pegawai yang lebih ketat, serta menegakkan hukum secara tegas tanpa pandang bulu.

    6. Pentingnya Partisipasi Masyarakat
    Salah satu poin penting yang diangkat adalah perlunya penguatan partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Artikel ini dengan tepat menggarisbawahi bahwa masyarakat harus dilibatkan dalam proses pengawasan. Partisipasi publik adalah elemen penting dalam menjaga akuntabilitas lembaga-lembaga negara, termasuk KPK. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, baik dalam melaporkan pelanggaran atau mengawasi jalannya lembaga antikorupsi, pemberantasan korupsi akan sulit mencapai tujuannya.

    BalasHapus
  10. nama: nelya setyasih
    nim: 23301065
    kelas: Hukum Pidana (HKI A)

    dari artikel di atas saya menjadi tahu bahwasanya Kasus pungli yang melibatkan pegawai KPK ini mencerminkan adanya krisis integritas di tubuh lembaga antikorupsi tersebut. Dengan keterlibatan 90 pegawai, sanksi yang dijatuhkan tampak terlalu ringan dan tidak mampu mengembalikan kepercayaan publik. Untuk memulihkan reputasi KPK, diperlukan penegakan hukum yang tegas dan langkah reformasi internal yang serius. Selain itu, pimpinan KPK harus mampu menjadi teladan dalam hal integritas dan profesionalisme. Tanpa tindakan nyata, KPK berpotensi kehilangan legitimasi sebagai institusi yang dipercaya untuk memerangi korupsi di Indonesia.

    BalasHapus
  11. Nama : Salsabila Zahin Nuryz
    Nim : 23301059
    Kelas : Hukum Pidana HKI (A)

    Artikel ini bisa memberikan pandangan mengenai tantangan dan langkah langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja KPK, khususnya dalam anggota pungutan pembohong atau pungli. disini juga mengangkat isu serius terkait pelanggaran yang terjadi di tubuh komisi pemberantasan korupsi (kpk), khususnya kasus pungutan pembohong atau pungli oleh 90 pegawai di rutan kpk. artikel ini memaparkan permasalahan dengan cukup rinci, dan ada beberapa poin yang dapat diperhatikan seperti (krisis integritas diinternal kpk, bahwa pegawai dilembaga anti korupsi justru terlibat dalam tindakan korupsi menunjukkan kegagalan internal yang sangat mendalam.)
    artikel ini juga menyoroti pentingnya keteladanan pemimpin dan memiliki landasan yang kuat dalam menyoroti permasalahan dikpk.

    BalasHapus
  12. Nama: Elisa Nikmatul Adkha
    Nim:23301096
    Kelas: Hukum Pidana HKI A

    Praktek pungutan liar (pungli) yang melibatkan beberapa pegawai KPK di rutan C1, Gedung Merah Putih, dan Guntur itu merupakan hal yang sangat memprihatinkan. Dimana lembaga yang seharusnya bertugas memberantas korupsi malah justru terlibat dalam praktek pungli. Kejadian seperti ini tentunya dapat merusak kepercayaan masyarakat, mengingat KPK dikenal sebagai institusi yang bersih dan berintegritas tinggi. Dan mengenai hukuman yang diberikan kepada pegawai yang melakukan pungli tersebut yaitu dengan melakukan permintaan maaf secara terbuka dan langsung, menurut saya terlalu ringan meskipun sisanya diserahkan ke Sekretariat Jendral KPK, karena tampaknya tidaklah sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Permintaan maaf kepada publik meski penting sebagai pengakuan kesalahan, tetapi tidaklah cukup memberikan efek jera atau memperbaiki kerusakan reputasi institusi. Oleh karena itu, dengan kasus ini maka menjadi hal yang penting bagi KPK agar melakukan pembenahan secara menyeluruh. Dan dari kasus ini pula, dapat diambil kesimpulan bahwasanya tidak ada institusi yang kebal dari praktik-praktik korupsi. Pengawasan yang ketat dan partisipasi aktif dari masyarakat sangatlah diperlukan untuk memastikan setiap lembaga termasuk KPK tetap berada di jalur yang benar dalam menjalankan tugas dan wewenang.

    BalasHapus
  13. Nama : M. Fikri Ardiansyah
    Nim : 23301030
    Kelas : Hukum Pidana (A)
    Setelah saya baca artikel tadi, dapat saya simpulkan bahwa Sebanyak 90 pegawai KPK terbukti melakukan pungutan liar di tiga rumah tahanan KPK, dengan total nilai pungli mencapai Rp 6 miliar. Dari jumlah tersebut, 78 pegawai menerima sanksi etik berupa permintaan maaf, sementara sisanya diproses lebih lanjut. Hukuman etik ini menuai kritik karena dianggap ringan, sementara penerapan sanksi pidana memerlukan proses hukum yang panjang. Ke depan, KPK berkomitmen memperbaiki integritas melalui inspeksi, rotasi pegawai, dan penguatan partisipasi masyarakat.

    BalasHapus
  14. Nama : Intan Rona Nisrina
    Nim : 22301099
    Kelas : Hukum pidana A

    Setelah membaca artikel tersebut sangat disayangkan lembaga yang harusnya menjadi panutan/contoh dalam pemberantasan korupsi justru anggota nya melakukan pungli. Hal ini akan membuat masyarakat menjadi ragu terhadap kinerja KPK, bukan hanya mencoreng nama baik KPK namun juga menggoyahkan kepercayaan masyarakat. Saya memiliki harapan agar aparat penegak hukumnya dapat menindak dengan tegas pegawai yang melakukan pungli. " Kasus 90 pegawai KPK yang terbukti melakukan pungli di Rutan." Ini merupakan sebuah fakta dimana korupsi seperti virus yang menyebar dengan cepat tanpa pandang bulu.
    KPK membutuhkan reformasi total mulai dari sistem pengawasan dll. Dalam artikel ini peran masyarakat penting seperti melaporkan kasus korupsi, namun kenyataannya terkadang masyarakat takut untuk melaporkan tentang kasus korupsi dalam hal ini negara harus memberikan jaminan perlindungan pada masyarakat agar apa? Agar masyarakat menjadi tidak takut lagi untuk melaporkan korupsi.

    BalasHapus
  15. Nama : Nur Lutfiya Hidayana
    NIM : 22301102
    Kelas : Hukum Pidana (A)

    Kasus pungutan liar (pungli) adalah masalah serius yang mencerminkan penyalahgunaan kekuasaan dan budaya korupsi yang mengakar di banyak sektor pelayanan publik. Hal ini bukan hanya soal uang, tetapi juga keadilan, transparansi, dan integritas dalam menjalankan tugas publik.

    Pungli sering terjadi karena lemahnya pengawasan, kurangnya transparansi, dan rendahnya kesadaran hukum baik di kalangan aparat maupun masyarakat. Di sisi lain, masyarakat sering kali "terpaksa" memberikan pungli demi mendapatkan pelayanan yang seharusnya menjadi hak mereka, yang menunjukkan betapa buruknya sistem pelayanan yang ada.

    Pendapat saya, pungli harus dianggap sebagai pelanggaran serius karena:
    1. *Merusak kepercayaan publik**: Ketika pungli menjadi budaya, masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi pemerintah.
    2. *Meningkatkan ketidaksetaraan*: Orang yang memiliki uang lebih cenderung mendapatkan pelayanan lebih cepat, sementara yang kurang mampu terabaikan.
    3. *penghambat reformasi pelayanan publik*: Pungli memperkuat budaya ketidakjujuran dan menghambat reformasi untuk menciptakan sistem yang bersih dan efisien.

    Untuk mengatasi kasus pungli, perlu adanya langkah tegas seperti:
    - *Peningkatan pengawasan internal dan eksternal**.
    - Sanksi berat bagi pelaku untuk memberi efek jera.
    - Digitalisasi layanan publik guna meminimalkan interaksi langsung yang membuka celah pungli.
    - Pendidikan hukum dan pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tahu haknya dan berani melaporkan pungli.
    Kasus pungli bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal moral dan budaya. Butuh komitmen bersama, dari pemerintah hingga masyarakat, untuk memberantasnya.

    BalasHapus
  16. Nama: Mohammad Zaiddurosidin
    Nim : 23301046
    Kelas : Hukum pidana (A)

    Artikel ini menggambarkan sebuah ironi besar dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, di mana lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas praktik korupsi, justru terjerat dalam praktik yang sama. Fakta bahwa 90 pegawai KPK terbukti melakukan pungli di rumah tahanan menunjukkan adanya masalah serius dalam internal lembaga tersebut, yang seharusnya menjadi contoh teladan bagi institusi lainnya. Kasus ini mencerminkan adanya celah dalam sistem pengawasan dan penegakan kode etik di KPK, yang meskipun memiliki aturan yang jelas, namun tidak sepenuhnya mampu mencegah terjadinya pelanggaran. Praktik pungli yang melibatkan jumlah uang yang sangat besar, mencapai Rp 6 miliar, juga menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi masalah yang terstruktur dan sistemik, bukan sekadar kesalahan individu.

    Apa yang lebih memprihatinkan adalah cara penyelesaian kasus ini, di mana sebagian besar pegawai hanya diberikan sanksi moral seperti permintaan maaf terbuka, yang mungkin tidak cukup memberi efek jera. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan tentang komitmen lembaga dalam menjalankan reformasi internal dan apakah KPK benar-benar serius dalam memberantas budaya korupsi dari dalam.

    Kasus ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi KPK dan lembaga negara lainnya untuk lebih memperkuat pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas di semua level, serta memastikan bahwa mereka yang diberi tugas mulia dalam pemberantasan korupsi tidak menjadi bagian dari masalah itu sendiri.

    Tanpa adanya pengawasan independen, lembaga antikorupsi rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan potensi penyimpangan dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan independen memastikan bahwa lembaga antikorupsi tidak hanya efektif dalam memerangi korupsi, tetapi juga menjaga transparansi dalam setiap langkahnya. Dengan pengawasan yang tepat, lembaga antikorupsi dapat mempertanggungjawabkan tindakannya kepada publik, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga tersebut.

    Kedua, mekanisme akuntabilitas menjadi kunci untuk memastikan lembaga antikorupsi tetap bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Mekanisme ini mencakup sistem pelaporan yang jelas, evaluasi berkala, serta keterlibatan masyarakat dalam proses pemantauan. Tanpa mekanisme akuntabilitas yang kuat, lembaga ini bisa saja kehilangan arah atau terjebak dalam praktik korupsi yang lebih tersembunyi.

    Akhirnya, artikel ini juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi oleh lembaga antikorupsi dalam konteks politik dan sosial yang seringkali mempengaruhi kebijakan dan tindakan mereka. Oleh karena itu, pengawasan independen dan mekanisme akuntabilitas tidak hanya penting untuk menjaga keberlanjutan fungsi lembaga antikorupsi, tetapi juga untuk memperkuat institusi negara dalam menjalankan prinsip-prinsip tata kelola yang bersih, transparan, dan akuntabel.

    BalasHapus
  17. Nama : M Ardhi Maulana
    Nim : 22301069
    Kelas : Hukum Pidana (A)

    terkait artikel diatas kasus ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi KPK dan lembaga negara lainnya untuk lebih memperkuat pengawasan, transparansi, dan akuntabilitas di semua level, serta memastikan bahwa mereka yang diberi tugas mulia dalam pemberantasan korupsi tidak menjadi bagian dari masalah itu sendiri.

    Tanpa adanya pengawasan independen, lembaga antikorupsi rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dan potensi penyimpangan dalam menjalankan tugasnya. Pengawasan independen memastikan bahwa lembaga antikorupsi tidak hanya efektif dalam memerangi korupsi, tetapi juga menjaga transparansi dalam setiap langkahnya. Dengan pengawasan yang tepat, lembaga antikorupsi dapat mempertanggungjawabkan tindakannya kepada publik, meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga tersebut.

    BalasHapus
  18. Nama : Nurul Farida Aza
    NIM : 23301013
    Kelas : HKI A

    Artikel ini menyoroti masalah serius dalam tubuh lembaga antikorupsi Indonesia, yakni praktik pungli oleh pegawai KPK. Ironi ini mencerminkan betapa kompleksnya tantangan menjaga integritas lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi. Penanganan kasus pungli yang melibatkan 90 pegawai KPK dengan sanksi etik berupa permintaan maaf secara terbuka dinilai tidak memberikan efek jera yang memadai. Sementara penegakan hukum pidana memerlukan proses panjang, langkah tersebut tetap perlu ditempuh untuk menunjukkan keseriusan dalam menindak pelanggaran, apalagi nilai pungli mencapai Rp 6 miliar.

    Penulis juga menyoroti pentingnya keteladanan pimpinan, yang menjadi sorotan negatif akibat pelanggaran etik dua mantan komisioner KPK. Keteladanan bukan hanya soal moral, tetapi menjadi kunci membangun kepercayaan publik.

    Di sisi lain, partisipasi masyarakat menjadi kunci penting dalam mendukung upaya pemberantasan korupsi. Namun, keterlibatan masyarakat harus diimbangi dengan perlindungan yang memadai dari negara. Aparat penegak hukum harus mampu memberikan rasa aman kepada pelapor agar mereka tidak takut menghadapi risiko kriminalisasi, seperti tuduhan pencemaran nama baik atau penghinaan. Tanpa perlindungan ini, keberanian masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi akan melemah. Selain itu, aparat hukum juga perlu lebih jeli dan bijak dalam menangani laporan masyarakat, sehingga setiap upaya untuk memberantas korupsi tidak justru berbalik merugikan pelapor. Dengan pendekatan yang komprehensif dan perlindungan yang kuat, partisipasi masyarakat dapat menjadi kekuatan utama yang mendukung langkah KPK untuk kembali menjadi lembaga yang bersih, terpercaya, dan efektif dalam melaksanakan mandatnya.

    BalasHapus