Hakim di pengadilan yang mengadili perkara hukum ditunggu putusannya untuk, misalnya, menyatakan terdakwa terbukti bersalah atau tidak. Juga, dosen hukum perlu menjawab isu hukum hingga kemudian memberikan preskripsi dalam aktivitas penelitian hukumnya. Pun, acapkali, mahasiswa yang melakukan studi pada pendidikan tinggi hukum diminta untuk “menyelesaikan” suatu contoh perkara hukum melalui penyusunan legal opinion.
Kesemua aktivitas di atas membutuhkan sarana untuk berpikir sistematis, valid, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sarana yang dimaksud, menurut Amsal Bakhtiar[1], disebut dengan logika. Sebagai salah satu sarana ilmiah, logika melengkapi dan mengantar kita untuk menjadi cakap dan sanggup berpikir kritis, yaitu berpikir secara menentukan, karena menguasai ketentuan-ketentuan berpikir yang baik.[2] Dengan begitu, logika merupakan instrumen berpikir dalam rangka penarikan suatu konklusi yang dapat diterima kebenarannya dalam konteks yang ilmiah.[3]
Pada studi hukum, logika memastikan alur premis sampai kepada konklusi dari suatu argumentasi itu logis.[4] Menurut Edwin W. Patterson, sebagaimana dikutip Urbanus Ura Weruin[5], logika berperan sebagai alat untuk mengontrol emosi, perasaan, prasangka, bahkan juga passion manusia yang berkecamuk dalam perumusan, pelaksanaan, dan penerapan hukum. Objektivitas dan imparsialitas hukum dapat terjamin melalui pertimbangan dan penalaran yang logis. Pasalnya, dengan begitu, hukum tidak lagi mendasarkan diri kepada kepentingan dan pertimbangan lain di luar nalar (hukum) dan akal sehat.
Antara Deduktif dengan Induktif: Sudut Pandang Penalaran Hukum
Penalaran adalah kegiatan akal budi dalam memahami makna setiap terma dalam suatu proposisi, menghubungkan suatu proposisi dengan proposisi lain, dan menarik kesimpulan atas dasar proposisi-proposisi tersebut.[6] Apabila ditambahkan kata “hukum”, maka penalaran yang dimaksud tidak menunjukkan bentuk penalaran lain di luar logika, melainkan penarapan logika dalam bidang hukum[7] dan termasuk sebagai penelitian hukum (legal research)[8]. Dengan demikian, penalaran hukum sesungguhnya merupakan penerapan logika dalam memahami asas-asas hukum, norma-norma terkait hukum, aturan-aturan hukum, berikut pula praktik-praktik hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Pada praktik hukum, penalaran hukum merupakan proses penggunaan alasan-alasan hukum (legal reasons) dalam menetapkan pendirian hukum yang dirumuskan dalam, misalnya, putusan hukum.[9] Dengan begitu, aktivitas penalaran hukum memperlihatkan bagaimana eratnya hubungan antara logika dengan hukum[10]. Artinya, logika sebagai sarana ilmiah untuk melakukan penalaran hukum akan dapat menentukan pendirian hukum yang dirumuskan oleh para juris melalui dokumen-dokumen hukumnya.
Secara umum, penalaran dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kategori utama. Pertama, penalaran deduksi, yaitu proses penarikan kesimpulan yang bertolak dari proposisi universal sebagai premis.[11] Dalam penalaran ini, silogisme disebut sebagai bentuk dasarnya.[12] Dengan rumusan yang sederhana, penalaran deduksi merupakan proses berpikir untuk mendapatkan suatu kebenaran yang dimulai dari hal-hal yang bersifat umum hingga berujung pada kesimpulan yang bersifat khusus.
Studi hukum memerlukan metode penalaran deduktif untuk menelaah dasar ontologis adanya suatu, misalnya, undang-undang. Penalaran yang demikian akan dapat mengungkap ada tidaknya koherensi antara undang-undang dengan kepentingan masyarakat tempat berlakunya undang-undang tersebut. Pula, menemukan ratio legis pada pasal tertentu di dalam suatu peraturan perundang-undangan atau ratio decidendi di dalam suatu putusan pengadilan. Dalam hal ini, logika berperan.[13]
Kedua, penalaran induksi, yaitu proses penarikan kesimpulan universal berdasarkan pengalaman, data, fakta, atau pengetahuan terbatas sebagai premis yang kita miliki.[14] Dengan rumusan yang sederhana, penalaran induksi merupakan proses berpikir untuk mendapatkan suatu kebenaran yang dimulai dari hal-hal yang bersifat khusus hingga berujung pada kesimpulan yang bersifat umum.
Ternyata, studi hukum juga memerlukan metode penalaran secara induktif. Melalui metode demikian, menurut Peter Mahmud Marzuki, praktik-praktik yang berkembang di dalam masyarakat diidentifikasi dan diuji perihal penerimaannya dalam hidup bermasyarakat yang kemudian dituangkan ke dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, metode induktif mengungkapkan suatu pemikiran filosofis yang bersifat umum, yang kemudian menjadi dasar ontologis bagi lahirnya suatu peraturan perundang-undangan.[15]
Menyadari Ilmu Hukum sebagai Sui Generis[16]
Kata “ilmu” sering dipadankan dengan istilah dalam bahasa Inggris “science” yang mempunyai arti “ilmu pengetahuan”. Konsekuensinya, suatu pengetahuan yang tidak diperoleh tanpa melalui prinsip dan prosedur formulasi masalah dan hipotesis serta tidak diverifikasi oleh data hasil observasi dan eksperimen, bukanlah ilmu pengetahuan.[17] Artinya, ilmu pengetahuan itu harus bersifat empiris.
Di sisi yang lain, kata “ilmu” harus dikembalikan kepada makna yang asli di dalam bahasa latin, yaitu “scientia” yang mempunyai arti “pengetahuan” atau yang dalam bahasa Inggris disebut dengan “knowledge”. Dengan menggunakan istilah demikian, pengetahuan yang didapatkan melalui studi-studi nonempiris akan mudah untuk dapat diterima sebagai ilmu, seperti ilmu bahasa, ilmu budaya, ilmu sejarah, begitu juga ilmu hukum.[18]
Objek ilmu hukum adalah hukum[19], yang merupakan salah satu norma sosial yang di dalamnya sarat akan nilai. Oleh karena itu, ilmu hukum tidak dapat dikelompokkan ke dalam bilangan ilmu alam maupun ilmu sosial yang hanya berkaitan dengan kebenaran empiris.[20] Ilmu hukum mempunyai sifat yang normatif.[21] Dengan demikian, ilmu hukum merupakan ilmu jenis tersendiri (sui generis).[22]
Sebagai ilmu sui generis, ilmu hukum tidak dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial yang bidang kajiannya kebenaran empiris. Pasalnya, ilmu sosial tidak memberi ruang untuk menciptakan konsep hukum. Studi tersebut hanya berkaitan dengan implementasi konsep hukum dan hanya sering memberi perhatian terhadap kepatuhan individu terhadap aturan hukum.[23]
Dengan sifatnya sebagai ilmu normatif, ilmu hukum bekerja untuk menemukan tolok pembanding yang akan dapat dipakai untuk menentukan apakah suatu perbuatan dapat dinilai sebagai suatu perbuatan yang dapat dibenarkan atau dipersalahkan. Ilmu ini berkenaan dengan kebenaran ipso jure, yaitu kebenaran menurut keharusan suatu aturan atau ajaran[24], sehingga ia memberitahukan kepada kita apa yang seharusnya dilakukan, bukan apa yang akan dilakukan[25]. Dalam epistimologi, kebenaran yang dimaksud masuk dalam perbincangan mengenai teori kebenaran koherensi, yaitu kebenaran yang berpangkal pada apa yang dipercaya dalam pikiran.[26]
Lebih lanjut, ilmu normatif termasuk dalam bilangan ilmu a priori. Hal tersebut disebabkan tolok ajaran yang mengharuskan (das sollen) hadir mendahului fakta (das sein) yang hendak ditolok benar atau salahnya. Penolokan tersebut dilakukan berdasarkan suatu prosedur penalaran yang disebut deduksi.[27] Dalam hal ini, kebenaran tidak ditentukan melalui kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah diterima sebagai kebenaran. Dengan demikian, hukum harus dapat diprediksikan, stabil, dan menjamin kepastian.[28]
Mengingat ilmu hukum bersifat preskriptif, bukan deskriptif, maka penelitian hukum (yang jelas bersifat normatif) tidak dimulai dengan hipotesis, sehingga tidak dikenal istilah data, analisis kualitatif, maupun analisis kuantitatif. Sebagai kegiatan know-how, penelitian hukum (normatif) dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Bukan sekadar menerapkan aturan yang ada, kerja-kerja dalam penelitian hukum (normatif) juga menciptakan hukum untuk mengatasi masalah yang dihadapi yang berdasar pada prinsip hukum (yang juga merupakan prinsip moral).[29]
Tujuan penelitian hukum (normatif) adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya dilakukan. Dengan kata lain, penelitian yang demikian tidak dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran hipotesis. Preskripsi yang dimaksud harus dapat diterapkan, mengingat ilmu hukum merupakan ilmu terapan. Terlebih kemudian, preskripsi yang dilahirkan dari kerja-kerja penelitian hukum (normatif) harus dibingkai oleh moral. Artinya, preskripsi yang diberikan harus koheren dengan gagasan dasar hukum yang berpangkal dari moral.[30]
Apabila dihubungkan antara konsepsi tentang logika yang menjadi alat untuk melakukan penalaran dengan ilmu hukum sebagai sui generis, maka bahan baku dalam penalaran hukum haruslah ilmu hukum. Terlebih kemudian, ternyata, penalaran hukum juga termasuk sebagai penelitian hukum, sehingga kegiatan menalar tersebut dimaksudkan dalam rangka menemukan kebenaran koherensi, yaitu apakah aturan hukum atau tindakan seseorang sesuai dengan asas-asas hukum, norma-norma terkait hukum, aturan-aturan hukum, berikut pula praktik-praktik hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
-
Disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) III yang diselenggarakan oleh Pengurus Rayon Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Asy-Syafi’i Komisariat Sunan Ampel Kediri di Kediri, 4 Mei 2024.
Tidak ada komentar
Posting Komentar