Paradigma hukum dapat diartikan sebagai kecenderungan juris (pengemban hukum) dalam memaknai hukum, memahami penalaran hukum, dan menetapkan nilai hukum yang ingin dituju.[1] Mengingat paradigma hukum sangat beragam, juris dapat memilih paradigma hukum yang mana yang paling tepat “baginya” untuk mewujudkan keadilan melalui “jalan hukum”. Namun demikian, juris tidak dapat mendaku konsepsinya adalah yang paling benar.
Beberapa Paradigma Hukum[2]
Terdapat 6 (enam) paradigma yang dapat ditawarkan di dalam disiplin hukum, yaitu hukum kodrat, positivisme hukum, utilitarianisme, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, dan realisme. Menurut Shidarta, paradigma yang dimaksud dimaknai sebagai model berpikir yang berangkat dari kelompok-kelompok teori hukum yang lazim disebut aliran-aliran pemikiran hukum.[3]
Pertama, aliran hukum kodrat, yang dapat disebut juga aliran hukum alam. Mulai tumbuh pada zaman klasik (Yunani dan Romawi)[4] yang mulanya diajarkan oleh Aristoteles[5]. Kriteria kebenarannya dipandang berasal dari kaidah-kaidah petunjuk Illahi, seperti yang dinaskahkan dalam kitab suci.[6] Thomas Aquinas (1225-1274), pemikir pada abad pertengahan yang dikenal sebagai tokoh aliran hukum alam, menegaskan, hukum positif hanya sah sejauh sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan firman Tuhan[7], sehingga hukum itu berlaku universal dan abadi[8].
Sudut pandang hukum kodrat “bergeser” ketika masa Renaissance (mulai abad ke-14 hingga abad ke-17). Hugo Grotius (1583-1645), sebagai salah satu tokohnya, menyebutkan, ajaran hukum kodrat adalah produk dari rasio manusia dan bukan berasal dari Tuhan.[9] Pemikiran yang demikian dapat dipahami karena individualisme sedang memperoleh momentumnya ketika “masa terlahir kembali” tersebut. Meskipun begitu adanya, mengutip tulisan Satjipto Rahardjo, sejarah perkembangan aliran hukum alam merupakan perjuangan manusia untuk menemukan keadilan dari suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum positif.[10]
Kedua, positivisme hukum atau legisme. Muncul pada abad ke-19 dan tidak jauh setelah adanya peristiwa Revolusi Industri.[11] Aliran ini mengkritik aliran hukum alam yang bersifat abstrak, ambigu, metafisik, idealistis, dan gagal memberikan kepastian hukum yang objektif.[12] Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang yang diciptakan oleh penguasa, sehingga tidak ada hukum yang lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lawgivers).[13] Dengan begitu, aliran ini memisahkan secara tajam antara hukum dengan moral untuk mencapai kepastian hukum.[14]
Positivisme hukum terbelah menjadi 2 (dua): positivisme hukum yang analistis (analytical jurisprudence) dari John Austin dan aliran hukum murni (reine rechtslehre) dari Hans Kelsen. Menurut John Austin (1790-1850), hukum itu meliputi adanya penguasa (sovereignty), suatu perintah (command), kewajiban untuk menaati (duty), dan sanksi bagi mereka yang tidak taat (sanction).[15] Apabila tidak begitu, maka bukanlah hukum, melainkan moral positif. Hukum yang laik adalah suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup.[16]
Lalu, aliran hukum murni (reine rechtslehre). Menurut Hans Kelsen (1881-1971), hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang nonyuridis. Hukum tidak mempersoalkan “bagaimana hukum itu seharusnya”, melainkan “apa hukumnya”. Oleh karena itu, yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum), bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).[17] Selain itu, hukum adalah suatu sistem hierarkis (stufenbau des recht), yaitu hukum tertentu bersumber dari hukum lainnya yang lebih tinggi.[18]
Ketiga, utilitarianisme, yang dipelopori Jeremy Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolph von Jhering (1818-1889).[19] Menurut Jeremy Bentham, tujuan hukum adalah untuk kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang.[20] Pendapat yang demikian disetujui John Stuart Mill dan disebut sebagai utilitarianisme yang bersifat individual. Berbeda dengan keduanya, menurut Rudolph von Jhering, tujuan hukum adalah melayani motif yang praktis.[21] Pendapat yang demikian disebut sebagai utilitarianisme yang bersifat sosial.[22]
Keempat, mazhab sejarah, yang timbul sebagai reaksi terhadap para pemuja hukum alam.[23] Berkembang di negara-negara penganut common law system.[24] Jantung aliran ini adalah hukum itu tidak dibuat, melainkan tumbuh bersama dengan masyarakat secara organis.[25] Menurut Friederich Karl von Savigny (1779-1861), setiap bangsa memiliki kesadaran hukum, kebiasaan, dan budaya yang berbeda dengan bangsa yang lain yang dapat ditemukan dalam jiwa bangsa (volksgeist) yang bersifat unik, tertinggi, dan realitas mistis.[26] Oleh karena itu, hukum berlainan dan berubah sesuai dengan tempat dan zaman.[27]
Aliran yang tidak percaya terhadap pembuatan undang-undang dan kodifikasi tersebut di atas sesungguhnya “menyerang” aliran positivisme hukum dengan menyatakan bahwa hukum bukan hanya yang dikeluarkan oleh penguasa yang sah dalam bentuk undang-undang. Hukum juga sesungguhnya merupakan volksgeist dan substansinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat.[28]
Kelima, sociological jurisprudence, yang menganggap perintah penguasa serta hukum yang timbul dan berkembang bersama dengan masyarakat (living law) adalah sama pentingnya. Anggapan tersebut menyiratkan adanya proses dialektika antara (tesis) positivisme hukum dengan (antitesis) mazhab sejarah hukum.[29] Pasalnya, hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam kehidupan di masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum sesuai dengan perkembangan masyarakat, baik timbul, berubah, maupun lenyapnya.[30]
Menurut Eugen Ehrlich (1862-1922), hukum positif baru akan memiliki daya berlaku efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sementara itu, menurut Roscoe Pound (1870-1964), hukum berfungsi sebagai alat untuk memperbarui masyarakat dalam rangka menata perubahan (law is a tool of social engineering). Untuk itu, hukum harus melindungi kepentingan umum, sosial, dan pribadi.[31]
Keenam, realisme. Di antara tahun 1895 hingga 1937, hakim di Amerika Serikat mengasumsikan hukum adalah objektif dan kedap dari persoalan sosial. Paradigma formalistik demikian mendapat kritik dari Karl Llewellyn dalam esainya “A Realistic Jurisprudence – The Next Step” yang terbit pada tahun 1930. Pun, Jerome Frank yang menulis “Law and The Modern Mind” yang terbit pada tahun 1930, yang mengkritik cara pandang formalistik sebagai khayalan tentang hukum dan pengadilan. Keduanya termasuk sebagai kaum realis.[32]
Kaum realis mendasarkan pemikirannya pada konsepsi radikal tentang proses peradilan. Dalam hal ini, hakim lebih pantas disebut “membuat” dari pada sekedar “menemukan” hukum.[33] Oleh karena itu, aliran realisme hukum berpendapat, hakim selayaknya menjadikan fakta-fakta sebagai patokan, bukan undang-undang. Dengan demikian, hakim membuat suatu kekeliruan ketika menerapkan hukum yang sama pada situasi fakta yang berbeda.[34]
Beragam paradigma hukum di atas memberikan suatu gambaran: tidak ada paradigma hukum yang dapat mengklaim yang paling benar. Justru, lahirnya paradigma yang satu merupakan kritik terhadap paradigma yang lain. Diskursus untuk menemukan cara pandang yang paling tepat dalam berhukum tidak akan pernah ada usainya. Proses penemuan tersebut akan selalu bersinggungan dengan realitas berdasarkan tempat dan waktu.
Fungsinya dan Momentum Menumbuhkan Sensitivitas terkait Keadilan
Pada hakikatnya, paradigma hukum memiliki fungsi yang sama dengan teori hukum. Shidarta menyebutkan, fungsi yang dimaksud adalah deskriptif dan preskriptif.[35] Mengikuti hakikat tersebut, Peter Mahmud Marzuki mengemukan 4 (empat) tugas teori hukum[36]. Realisasi tugas-tugas yang dimaksud, tentu, menggunakan metode berpikir yang melibatkan rasa keadilan, bukan hanya mengandalkan logika[37] semata-mata. Cita keadilan merupakan gagasan dasar hukum, karena keadilan merupakan perwujudan dari moral.[38]
Pertama, menjabarkan arti penting asas-asas hukum dalam pembuatan aturan hukum dan pengambilan keputusan agar dapat diterapkan ke dalam kehidupan nyata. Aturan-aturan hukum tersebut dapat berbentuk tertulis maupun tidak tertulis. Perlu diingat, di dalam hukum, praksis dari moral adalah asas hukum.[39] Dengan demikian, setiap aturan hukum yang dibentuk harus mengacu pada asas-asas hukum dan mengkonkritkannya agar dapat diterapkan hingga kemudian diharapkan memancarkan keadilan.
Kedua, memberi pedoman pembuatan undang-undang. Teori hukum diperlukan untuk memastikan adanya koherensi antara asas hukum dengan aturan hukum. Dengan begitu, untuk aturan hukum tertulis, dapat terindentifikasi apa yang menjadi materi muatan aturan hukum, aturan-aturan prosedural, dan aturan-aturan yang bersifat pelaksanaan. Sementara itu, untuk aturan hukum tidak tertulis, dapat teridentifikasi perlu atau tidaknya hukum yang bertumbuh dan berkembang di masyarakat beralih bentuk menjadi aturan hukum tertulis.[40]
Mengenai tugas yang pertama dan kedua, kiranya perlu untuk mendiskusikan rumusan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023) yang isunya mengenai “hukum yang hidup dalam masyarakat” atau “living law”. KUHP 2023 menghendaki agar hukum adat yang tidak tertulis, masih berlaku, dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia diatur di dalam peraturan daerah dengan merujuk pada peraturan pemerintah sebagai pedoman.
Persoalannya, pengakomodasian melalui penulisan living law akan meneruskan tradisi kolonialisme[41] dan menegaskan kembali adanya dualisme yang terjadi pada masa itu sekaligus menuju pada situasi yang terjadi kini di negara-negara pascakolonial[42]. Kodifikasi semacam itu akan menghilangkan sifat dinamis dan adaptifnya living law, karena tercerabut dari asosiasi sosialnya.[43] Upaya yang demikian akan membelah living law dalam bentuknya yang dikonstruksikan oleh negara dengan yang benar-benar hidup di masyarakat.[44] Juga, batasan tempat berlakunya peraturan daerah apabila keberlakukan living law mencakup beberapa daerah administratif.[45]
Ketiga, membimbing pengambilan putusan oleh pengadilan. Teori hukum yang berfungsi untuk menilai bukti-bukti dari pihak mana yang menunjukkan adanya koherensi yang berpuncak pada moral yang merupakan dasar yang paling hakiki dari hukum. Dengan berpegang kepada rasa keadilan, hakim dapat melakukan konstruksi hukum, menginterpretasi undang-undang, dan penghalusan hukum.[46] Tentu, dengan merujuk pada konsepsi sebelumnya, dasar pengambilan putusan tidak hanya berasal dari aturan hukum tertulis (yang ditetapkan oleh penguasa), tetapi dapat dari hukum yang bertumbuh dan berkembang di masyarakat.
Ambil contoh, misalnya, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang dikriminalisasi[47], meskipun kemudian kedua pembela hak asasi manusia (HAM) itu diputus bebas. Andaikata keduanya diputus bersalah, maka kriminalisasi memungkinkan para pembela HAM untuk dipinggirkan oleh arus utama[48], sehingga ruang kebebasan sipil menjadi semakin menyempit dan terbatas. Padahal, pembela HAM dapat berperan penting dalam perkembangan proses dan institusi demokratik, mengakhiri kekebalan hukum, serta mempromosikan dan melindungi HAM,[49] juga memiliki signifikansi sosial yang mendalam[50]. Andaikata pula begitu, keadaan tersebut akan menampilkan sosok pengadil yang abai terhadap teori hukum, pun termasuk konsepsi HAM, sehingga mengesampingkan moral dan mengancam pemenuhan keadilan.
Contoh yang lain yang berkaitan dengan penggunaan konsepsi di luar aturan hukum tertulis dalam membuat putusan adalah Putusan Pengadilan Negeri Sanggau Nomor: 176/Pid.Sus/2019/PN.Sag, tanggal 19 September 2019. Terdakwa, Hari Subandono, didakwa, dituntut, dan dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 310 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menariknya, sanksi pidana adat yang telah dijatuhkan oleh Pemangku Adat Desa Baru Lombak menjadi alasan yang meringankan bagi Terdakwa. Majelis hakim mempertimbangkan dan mengakomodirnya dalam penerapan lamanya pidana yang laik dijatuhkan kepada Terdakwa.[51]
Keempat, memberi landasan bagi pelaksanaan tugas organ administrasi. Organ yang dimaksud lazim disebut sebagai kekuasaan eksekutif yang melaksanakan fungsi politik dan administratif. Dalam melaksanakan tugas tersebut, organ administrasi harus membuat keputusan berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Pada suatu keadaan tertentu, organ administrasi dimungkinkan melakukan diskresi apabila harus mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan aturan hukum, sepanjang tujuannya lebih bernilai daripada tidak melakukan.[52]
Dengan mengenal beberapa paradigma hukum hingga fungsinya di atas, juris akan mempunyai alternatif pandangan untuk dapat sampai kepada ikhtiar menentukan aturan hukum, putusan, dan/atau tindakan seperti apa yang lebih memancarkan nilai keadilan. Dengan kata lain, sensitivitas terkait keadilan yang akan dipenuhi melalui “jalan hukum”, baik oleh kekuasaan legislatif, yudisial, maupun eksekutif, dapat bertumbuh melalui pemahaman yang utuh terhadap konsep dan fungsi paradigma hukum.
-
Disampaikan dalam Pelatihan Nasional Government School yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kediri di Kediri, 29 Mei 2024.
Tidak ada komentar
Posting Komentar