Minggu, 07 Juli 2024

Inisiatif untuk Meneguhkan Keyakinan Merebut Keadilan

Mahkamah Rakyat Luar Biasa membuka persepsi, salah satunya, bahwa inisiatif untuk meneguhkan keyakinan merebut keadilan senantiasa perlu dilakukan. Ketika ikhtiar secara positivistik relatif dibuat tak berdaya, sepertinya, mekanisme alternatif patut untuk dicoba.

Berangkat dari persidangan rakyat itu, pertama, barangkali, prosedur formal tak lagi dapat diandalkan untuk merebut keadilan. Rupanya, ruangnya relatif kian menyempit dan, tentunya, melanggengkan paradigma positivisme. Pun, mengabaikan sesuatu yang substansial.

Kedua, inisiatif melalui mekanisme alternatif yang partisipatif dan kolaboratif seperti itu, nyatanya, terus disemai nan masif melalui solidaritas gerakan oleh masyarakat sipil. Meyakini bahwa ikhtiar meneguhkan keyakinan merebut keadilan seyogianya dilakukan secara kreatif, terbuka, bersama-sama, dan konsisten.

Ketiga, berhasil menjadi diskursus di publik. Menjadi hal yang biasa: ada yang pro dan kontra. Sungguh bukan hanya dari situ mengukurnya. Tapi, inisiatif yang berujung pada putusan “presiden dinyatakan terbukti bersalah” itu berhasil mengartikulasikan kritik terhadap kekuasaan. Pula, sebagai ajang memberikan penyadaran dan pendidikan kepada publik.

Keempat, kita dapat belajar bahwa meskipun jalan “yang umum” macet, keteguhan untuk meyakini “apa yang seharusnya” membuka jalan yang lain yang sarat dengan nilai. Jalan yang konstitusional. Paling tidak, konstitusi kita menjamin soal kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berpendapat. Bukan kemudian putus asa dan memilih jalan inkonstitusional, seperti main pukul, main usir, main tangkap (dengan dalih mengamankan), dan main-main yang lain yang merendahkan martabat kemanusiaan.

Beberapa Inisiatif

Ada tiga cerita tentang inisiatif yang dilakukan melalui gerakan masyarakat sipil. Meskipun “desainnya” tidak seperti Mahkamah Rakyat Luar Biasa, penulis meyakini bahwa cerita di bawah sarat dengan nilai-nilai untuk meneguhkan keyakinan dalam merebut keadilan.

Pertama, pada awal 2016 silam, melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, penulis tergabung dalam Tim Advokasi Waduk Sepat[1]. Tim Advokasi Waduk Sepat diminta untuk membayar biaya pendaftaran surat kuasa yang awalnya tidak ditentukan besarannya, tetapi kemudian disampaikan oleh staf pada Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri (PN) Surabaya bahwa biayanya sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).[2]

Tim Advokasi Waduk Sepat bersedia membayar dan meminta tanda bukti pembayaran. Namun, staf tersebut tidak bersedia membuatkannya, karena sudah menjadi kebiasaan seperti itu. Atas pelayanan tersebut, Tim Advokasi Waduk Sepat mengirimkan surat protes keras kepada Ketua PN Surabaya. Lalu, pihak PN Surabaya membalas surat tersebut dengan menyampaikan, “...pendaftaran surat kuasa dikenakan biaya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008”.[3] Artinya, biaya pendaftaran surat kuasa, sesungguhnya, bukan sepuluh kali lipat dari yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Adalah fakta bahwa praktik judicial corruption semacam pungutan liar tersebut terjadi. Barangkali hingga hari ini. Oleh karena itu, inisiatif Tim Advokasi Waduk Sepat merupakan ikhtiar untuk tetap meneguhkan keyakinan bahwa praktik peradilan itu seharusnya bebas dari praktik koruptif yang mengancam keadilan.

Kedua, pada 2016 silam, penulis melakukan penelitian bersama pengabdi bantuan hukum pada LBH Surabaya dan akademisi pada Universitas Muhammadiyah Surabaya tentang mekanisme pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya pekerja di Kota Surabaya. Beberapa temuan dalam penelitian itu, misalnya, untuk memperjuangkan upah minimum dan tunjangan hari raya (THR), pekerja melakukan “grebek pabrik” dan “grebek rumah pengusaha”.[4]

Kedua inisiatif itu pastinya tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan. Mekanisme nonformal itu merupakan aksi spontanitas para pekerja untuk menuntut hak. Keberhasilannya memang signifikan apabila dibandingkan dengan upaya melalui jalur hukum.[5] Pasalnya, untuk menuntut kepentingan hak, misalnya, para pekerja perlu melakukan bipartit, dapat lanjut ke tripartit, dan ujungnya di pengadilan. Mekanisme formal demikian sungguh sangat tidak efektif, lebih-lebih yang dituntut, misalnya, pembayaran THR.

Ketiga, insiatif melalui praktik litigasi strategis oleh, misalnya, LBH Jakarta. Praktik demikian tidak hanya menjadikan ruang persidangan sebagai medan pertempuran memenangkan gugatan atau pembelaan, melainkan juga sebagai ajang peningkatan dan pendidikan kesadaran hukum masyarakat. Ia mengundang solidaritas bukan hanya dari “orang-orang hukum”, sehingga sangat dimungkinkan terbangunnya koalisi. Pada akhirnya, mendorong tekanan kepada pembuat kebijakan, di sisi yang lain memperkuat masyarakat yang termarginalkan.[6]

Bagaimana Selanjutnya?

Ikhtiar konstitusional perlu untuk terus disemai melalui gerakan-gerakan inisiatif yang, paling tidak, kolaboratif, partisipatif, terukur, dan konsisten. Penulis meyakini, sepertinya, inisiatif semacam itu bukan untuk tujuan “besok pagi semuanya pasti berubah”. Justru, menyadarkan bahwa perubahan itu tidak seperti “membalikkan telapak tangan”.

Mengapa kolaboratif? Karena kita tidak dapat bekerja sendiri, sehingga perlu bekerja bersama. Pribadi manusia mempunyai keterbatasan. Juga demikian dengan kompetensinya. Pemahaman, misalnya, terhadap ilmu hukum, ilmu politik, ilmu sosial, ilmu budaya, ilmu ekonomi, dan seterusnya, kiranya tidak dapat didaku oleh seorang diri. Kita bukan super hero! Tetapi, bagaimana kemudian kita dapat saling mengisi sesuai dengan kompetensi.

Gerakan inisiatif untuk meneguhkan keyakinan merebut keadilan juga perlu dilakukan secara partisipatif. Gerakan semacam itu harus terbuka, sehingga siapa saja dapat terlibat, bahkan berkontribusi secara positif. Namun, perlu memperhatikan “siapa kawan; siapa lawan”. Dengan model begini pula, paling tidak, dapat menggugah sensitivitas dan merajut kesadaran melalui ikhtiar-ikhtiar pencerdasan publik[7]. Untuk itu, perlu menegaskan tentang: “siapa melakukan apa”. Sekiranya “teori segitiga advokasi” dapat diterapkan: siapa yang ada di garis depan, basis, dan pendukung.

Gerakan inisiatif perlu untuk menentukan tujuan. Penentuannya dilakukan secara bersama-sama. Sebagai wujud gerakan yang kolaboratif dan partisipatif. Tentu, tujuan yang dimaksud harus terukur. Pula, proporsional: tetap membumi; bukan melangit. Dapat dimulai dari yang paling dekat, menengah, hingga akhir.

Terakhir, gerakan inisiatif tidak dapat dilakukan sehari-dua hari, lalu semuanya akan berubah sesuai impian. Ia membutuhkan konsistensi. Kata Tan Malaka, “terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk”. Boleh sedikit atau kecil, tapi konsisten. Nantinya, seperti kata peribahasa, “sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit”. Pastikan sang “bukit” tidak dibabat hanya untuk kepentingan segelintir orang, sehingga lingkungan yang baik dan sehat terabaikan.


[1] Tim Advokasi Waduk Sepat terdiri dari Laskar Pembela Bumi Pertiwi (LPBP), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Center for Marginalized Communities Studies (Cmars Surabaya), Surabaya Children Crisis Center (SCCC), dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Surabaya. Gugatan oleh Hermanto (salah satu warga Dukuh Sepat) yang dikuasakan kepada Tim Advokasi Waduk Sepat telah terdaftar di Pengadilan Negeri Surabaya dengan nomor register perkara 389/Pdt.G/2016/ PN.Sby. Gugatan yang menggunakan mekanisme citizen law suit (CLS) itu menjadikan Walikota Surabaya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya I, masing masing sebagai Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III. Para Tergugat, sebagai penyelenggara negara, telah lalai dalam melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fullfil) hak asasi manusia penggugat selaku warga negara dan warga negara lainnya, yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas pekerjaan, serta hak atas hidup aman, damai, dan sejahtera.
[2] Moch Choirul Rizal, “Kebijakan Hukum Pidana Untuk Penguatan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemberantasan Judicial Corruption Di Indonesia,” in Kumpulan Tulisan Pilihan Pembaruan Peradilan (Jakarta: Indonesian Judicial Reform Forum, 2018), 103, http://ijrf.leip.or.id/po-content/uploads/ijrf_-_kumpulan_tulisan_pilihan_pembaruan_peradilan.pdf.
[3] Ibid., 104.
[4] Abdul Fatah, Moch Choirul Rizal, and Muhammad Busyrol Fuad, Mekanime Pemenuhan Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya Pekerja Di Kota Surabaya (Surabaya: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, 2016), 38–39.
[5] Ibid., 45.
[6] Nurkholis Hidayat, “Setelah BHS: Bantuan Hukum (Post)-Struktural,” in Verboden Voor Honden En Inlanders Dan Lahirlah LBH (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 2012), 314–315.
[7] Istilah “pencerdasan publik” diambil dan terinspirasi dari pemikiran serta gerakan yang dilakukan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A. Untuk membaca beberapa tulisannya, sila kunjungi https://scholar.google.co.jp/citations?user=Fx0TsWMAAAAJ&hl=en.

-

Disampaikan sebagai salah satu bahan diskusi “Menegakan Putusan Mahkamah Rakyat: Runtuhnya Martabat Pengadilan Negara” yang digelar oleh Komite Politik Kediri di Kediri, 6 Juli 2024.

Tidak ada komentar

Posting Komentar