Kamis, 21 Januari 2016

Cara Lain Memberantas Korupsi

Korupsi sesungguhnya merupakan turunan atau hasil mutant dari berbagai kejahatan seperti pencurian, perampokan, dan penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan masyarakat (Eggi Sudjana, 2008:1). Dalam lintasan sejarah, praktik suap-menyuap (dalam hal ini merupakan bentuk dari tindak pidana korupsi) atau pemberian uang sogokan telah dikenal pada zaman Romawi kuno ketika dalam suatu penyelesaian perkara hukum dimuka pengadilan.

Korupsi telah membuat sebagian rakyat menderita. Diantaranya ialah defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melangitnya harga bahan-bahan pokok, tidak mampunya pemerintah dalam menanggulangi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dilevel internasional dan lain sebagainya. Intinya, korupsi telah membuat harkat dan martabat bangsa ini telah hilang dan meningkatkan angka kemiskinan.

Dalam upaya memberantas korupsi, pemerintah dalam setiap rezimnya memiliki cara-cara tersendiri. Setiap ada pergantian rezim, maka strategi pun turut diganti. Walaupun demikian, dari tiap-tiap rezim itu belum berhasil secara tuntas untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang ada.

Tepat ditahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir dari rahim pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) melalui disahkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Lembaga ini dicita-citakan sebagai lembaga super body yang akan memutus rantai korupsi yang sistematis. Atau dapat dikatakan bahwa KPK merupakan lembaga negara yang dimaksudkan untuk menutupi dan memperkuat kelemahan lembaga negara lainnya dalam hal penyelesaian kasus korupsi.

Hukuman Mati Tak Relevan

Republik Rakyat Cina (RRC), melalui pemimpinnya saat itu, Zu Rongji, telah berhasil menjalankan program antikorupsi. Program antikorupsi itu diwujudkan dalam hal hukuman mati bagi pelaku korupsi (koruptor). Alhasil, dua tahun ia menjabat Perdana Menteri, ada 500 orang yang telah dihukum mati. Sejak saat itulah RRC terkenal sebagai negara yang tidak main-main dalam hal pemberantasan tindakan korupsi.

Dalam ilmu hukum pidana, hukuman dimaksudkan untuk beberapa hal. Diantaranya adalah: (1) menakut-nakuti yang ditujukan terhadap umum; (2) memperbaiki pribadi si pelaku atau penjahat agar menginsafi atau tidak mengulangi perbuatannya; dan (3) melenyapkan orang yang melakukan kejahatan dari pergaulan hidup (Leden Marpaung, 2008:106). Maksud yang ketiga itulah yang disebut dengan memberikan hukuman mati pada pelaku kejahatan atau pidana.

Koruptor dapat dijatuhi hukuman mati jika perbuatan itu dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku atau pada waktu terjadi bencana alam nasional (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Artinya, jika tidak dalam keadaan yang telah tersebut diatas, para penegak hukum dapat memberikan hukuman semaksimal mungkin, bukannya hukuman mati.

Menurut penulis, hukuman mati bukan merupakan jalan satu-satunya untuk memberikan efek jera kepada koruptor. Apalagi, melihat kondisi badan peradilan di Indonesia yang masih belum berkualitas dan independen. Dikhawatirkan, bisa saja terjadi kesalahan menghukum mati koruptor.

Di Indonesia, para hakim bekerja dalam situasi yang tidak kondusif untuk mengembangkan sikap judicial discretion, yakni sikap imparsial dan independen dalam memutus perkara. Lebih jelasnya, judicial discretion adalah intelejensi dan kemauan belajar, dikontrol oleh prinsip-prinsip hukum, didukung keberanian dan pikiran yang dingin, bebas dari pengaruh luar dan tidak goyah karena simpati atau prasangka, pengaruh, atau campur tangan dari luar, kecuali oleh keinginan besar untuk menegakkan keadilan (Franz H. Winarta, 2009: 340).

Sehingga ada kemungkinan, putusan hukuman mati yang diterima oleh koruptor merupakan hasil intervensi suatu pihak tertentu yang menginginkan agar kasus itu tidak meluber ke mana-mana. Selain itu, jika koruptor dijatuhi hukuman maksimal (bukan hukuman mati), maka ada peluang untuk menjadikan si koruptor itu sebagai lumbung informasi dari berbagai praktik-praktik korupsi yang kian masif.

Sulit dibayangkan kesalahan menghukum untuk diperbaiki karena terhukum sudah dihukum mati, akibat dari peradilan yang masih belum berkualitas dan independen. Penulis berkeyakinan bahwa nyawa itu itu adalah urusan Tuhan, bukannya badan peradilan.

Mengembalikan Uang Hasil Korupsi

Masih banyak cara untuk membuat koruptor dan korupsi itu hilang dari Indonesia, selain dengan hukuman mati. Cara-cara itu dapat dilakukan dengan memberikan sanksi sosial ataupun juga membuat miskin si koruptor. Konsep demikian yang ditawarkan oleh hakim yang kemudian disetujui oleh Presiden SBY dengan cara memiskinkan para koruptor dengan menyita semua harta benda mereka (JPNN, 3 Maret 2012).

Menurut M. Hadi Subhan, Dosen Fakultas Hukum Bidang Hukum Kepailitan Universitas Airlangga Surabaya, sebagaimana tulisannya yang berjudul “Pintu bagi Tekad Presiden SBY Memiskinkan Koruptor” dalam Harian Jawa Pos, 6 Maret 2012, pemiskinan koruptor dapat dilakukan dengan memailitkan pelaku pidana korupsi.

Pengajuan kepailitan terhadap koruptor dilakukan kejaksaan, yang bertindak untuk dan atas nama negara, dengan landasan demi kepentingan umum. Kewenangan institusi kejaksaan secara expresis verbis (secara tegas) disebutkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam Pasal 2 ayat (2) UU tersebut ditegaskan, permohonan kepailitan bisa diajukan kejaksaan untuk kepentingan umum.

UU Kepailitan tersebut menjelaskan cakupan kepentingan umum yang seluas-luasnya. Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan luas. Misalnya, debitor melarikan diri, debitor menggelapkan bagian dari kekayaannya, debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat, debitor tidak beriktikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang-piutang yang telah jatuh tempo, atau hal lain yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Akibat hukum kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit. Pengurusan dan pemberesannya dilakukan kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Kepailitan tersebut tidak masuk dalam acara pidana, melainkan acara bidang keperdataan. Karena keperdataan, tujuan akhir proses itu berkaitan dengan nilai finansial atau uang dan tidak berkaitan dengan kepidanaan seperti kurungan atau penjara.

Apapun cara untuk memberantas korupsi di Indonesia, sah-sah saja dilakukan, selagi tidak melanggar peraturan perundang-undangan dan ketertiban umum. Hakikatnya, korupsi memang harus dimusnahkan dari dunia yang hanya sementara ini. Semoga.

Tidak ada komentar

Posting Komentar