Pemerintahan yang demokratis adalah apabila dalam mekanisme penyelenggaraannya melaksanakan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Manifestasi dari prinsip-prinsip dasar tersebut dapat dilihat pada penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) sebagai proses pergantian dan pembentukan pemerintah.
Pada umumnya, pemilu diartikan sebagai suatu mekanisme demokrasi untuk memutuskan pergantian kekuasaan, baik eksekutif maupun legislatif, di mana rakyat dapat berpartisipasi secara aktif dengan menyalurkan hak politiknya secara bebas dan aman. Dengan demikian, rakyat memiliki andil besar dalam memilih wakilnya untuk duduk dalam parlemen dan dalam struktur pemerintahan.
Lebih lanjut, pelaksanaan dan hasil pemilu merupakan refleksi dari suasana keterbukaan dan aplikasi dari nilai dasar demokrasi, di samping perlu adanya kebebasan berpendapat dan berserikat. Alasannya, pemilu memang dianggap akan melahirkan suatu representatif aspirasi rakyat yang tentu saja berhubungan erat dengan legitimasi bagi pemerintah. Melalui pemilu, demokrasi sebagai sistem yang menjamin kebebasan warga negara terwujud melalui penyerapan suara sebagai bentuk partisipasi publik secara luas (Titik T.T., 2010:329-330).
Arbi Sanit menyimpulkan bahwa pemilu pada dasarnya memiliki empat fungsi utama yakni: (1) pembentukan legitimasi penguasa dan pemerintah; (2) pembentukan perwakilan politik rakyat; (3) sirkulasi elit penguasa; dan (4) pendidikan politik (Arbi Sanit: 333). Dari empat fungsi itulah sehingga pemilu sangat diperlukan bagi suatu pemerintahan yang mengatakan dirinya demokratis.
Sistem Pemilu dan Koruptor
Dalam mewujudkan pemilu yang demokratis di mana penguasa dan rakyat dapat berpartisipasi secara wajar dan sehat, maka diperlukan suatu sistem, yakni sistem pemilu. Pada hakikatnya, sistem pemilu diartikan sebagai seperangkat metode untuk mengatur subjek dan objek yang terlibat dalam sistem pemilu.
Berbagai model dalam sistem pemilu memiliki variasi yang berbeda pada tiap-tiap negara, namun tetap mengandung konsekuensi yang menunjuk pada keunggulan, bahkan kelemahan. Dari kelemahan itulah kemudian timbul percikan korupsi.
Sebagaimana yang dirumuskan dalam berbagai pengertian dan batasan bahwa korupsi sesungguhnya merupakan turunan atau hasil mutant dari berbagai kejahatan seperti pencurian, perampokan, dan penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan masyarakat (abuse of power). Dari prespektif ini sesungguhnya usia korupsi telah sangat tua (Eggi Sudjana, 2008:1). Dalam lintasan sejarah, praktik suap-menyuap (dalam hal ini merupakan bentuk dari tindak pidana korupsi) atau pemberian uang sogokan telah dikenal pada zaman Romawi kuno ketika dalam suatu penyelesaian perkara hukum dimuka pengadilan.
Sistem pemilu di Indonesia tidak pernah lepas dengan aroma busuk korupsi. Pada Pemilu 2004, misalnya, tender pengadaan logistik pemilu penuh dengan lubang yang memunculkan potensi korupsi. Pemilu 2009, diguncang masalah amburadulnya persiapan sola DPT (Daftar Pemilih Tetap) yang nyaris mengakibatkan pesta demokrasi itu kehilangan legitimasi (Jawa Pos, 9 September 2011). Semua berlangsung karena memang terdapat berbagai celah berbentuk sebuah atau bahkan beberapa buah kelemahan yang tedapat pada payung hukum yang menyertainya.
Yang patut disayangkan, citra baik pemilu sebagai gerbang terpilihnya sosok pemegang kekuasaan yang dipercaya oleh rakyat menjadi sirna. Tidak menutup kemungkinan para pemegang amanah rakyat itu akan menjadi koruptor, dikarenakan sistem pemilu yang sangat korup. Alih-alih membersihkan korupsi pada rezim sebelumnya, malah menjadi pemain utama dalam kepemimpinan selanjutnya.
Korupsi menyerang berbagai unsur yang ada dalam “lingkaran” sistem pemilu. Mulai dari penyelenggara, peserta, dan pemilih dalam pemilu tidak luput dari tindakan korupsi. Penyelenggara pemilu terjerembab dalam kubangan korupsi. Yang umum terjadi adalah pengadaan logistik pemilu yang tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan. Peserta dan pemilih dalam pemilu terlibat skenario praktik-praktik haram yang termasuk dalam tindakan pidana korupsi, antara lain money politic.
Korupsi pemilu merupakan cabang dari korupsi politik. Dikatakan sebagai korupsi politik dikarenakan korupsi yang dilakukan untuk tujuan politik tertentu dengan memanfaatkan kekuasaan secara tidak semestinya. Robin Hodess menyatakan lebih jelas mengenai penyebab terjadinya korupsi politik. Menurut Hodess, korupsi jenis ini terjadi disebabkan penyimpangan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. "Political corruption is the abuse of entrusted power by political leaders for private gain, with the objective of increasing power or wealth."
Korupsi yang menggurita pada sistem pemilu kita antara lain disebabkan oleh 3 (tiga) hal. Pertama, sistem pemilu itu sendiri yang memungkinkan dan memberikan peluang untuk korupsi.
Sistem pemilu yang diartikan sebagai seperangkat metode untuk mengatur jalannya pelaksanaan pemilu yang tertuang dalam bentuk undang-undang (UU) diduga keras sebagai salah satu jalan bagi koruptor untuk melaksanakan aksinya. Koruptor memanfaatkan berbagai kelemahan dan celah-celah lainnya, sehingga UU sistem pemilu kehilangan legitimasi. Identifikasi peluang korupsi dalam pemilu yang paling mencolok adalah: (1) korupsi oleh penyelenggara pemilu melalui pengadaan barang-barang proses pelaksanaan pemilu; dan (2) korupsi peserta, penyelenggara, dan pemilih dalam pemilu dalam hal jual beli suara.
Kedua, masyarakat sebagai kontrol terhadap sistem pemilu kurang aktif dan kritis. Hal ini merupakan hasil dari pola pemberdayaan masyarakat yang kurang maksimal. Masyarakat kini belum dibekali sepenuhnya mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para subjek pada saat pemilu akan, sedang, dan telah selesai dilaksanakan.
Ketiga, lemahnya moral para pelaku dalam lingkaran sistem pemilu yang korup. Indikasi dari lemahnya moral adalah sudah tidak berlakunya nilai-nilai positif yang sudah terbentuk pada kebiasaan masyarakat. Demi mencapai suatu tujuan, yakni memegang tampuk kekuasaan, para koruptor mengambil cara-cara kotor yang tentunya termasuk dalam tingkah laku yang tidak baik. Karena, dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut bermoral (tidak lemah moralnya), maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah lakunya baik.
Tiga Solusi
Sudah diuraikan di atas, bahwa ada tiga penyebab utama korupsi yang masih menggurita pada sistem pemilu kita. Dari tiga komponen tersebut, bila dibenahi dan dilakukan perbaikan, tentunya harapan untuk melihat pemilu yang bersih tanpa korupsi akan segera kita lihat bersama. Dengan begitu, kita akan bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Tentu, untuk meraih kebanggaan itu haruslah setiap insan Indonesia mempunyai niat yang satu: musnahkan korupsi pemilu.
Pertama, meninjau kembali payung hukum yang mengatur tentang sistem pemilu perlu untuk dilakukan. Alasannya, pelaksanaan penyelenggaraan pemilu telah diatur sedemikian rupa oleh UU tersebut. Kalaupun bisa, karena berbagai kelemahan yang ada pada UU tersebut, maka secara radikal memang wajar untuk diganti.
Salah satu kelemahan itu adalah tidak mampunya UU tersebut melibatkan berbagai institusi untuk berperan sebagai pengontrol jalannya pemilu secara efektif. Badan Pengawas Pemilu, Mahkamah Konstitusi, ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan aparatur penegak hukum lainnya dibuat tidak berdaya. Dengan lain kata, institusi yang lain tidak diberikan kesempatan untuk andil dalam mendeteksi berbagai permasalahan yang ada pada sistem pemilu. Alhasil, sistem pemilu yang berbau busuk korupsi tidak dapat terdeteksi sumber baunya.
Urgensi adanya suatu UU adalah sebagai kelanjutan dari perkembangan setiap kebijakan yang ingin dilaksanakan di mana hal itu merupakan kesahan dari tindakan suatu pemerintah (Satjipto Rahardjo, 2000: 91). Jadi, bila perkembangan dari UU tersebut sudah banyak terdapat kelemahan, maka wajib untuk judicial review kepada MK. Di sinilah fungsi MK dipertaruhkan sebagai institusi pengontrol jalannya Pemilu melalui putusan terhadap judicial review UU sistem pemilu yang bermasalah. Bahkan, secara radikal bisa saja UU tersebut diganti dengan UU yang baru.
Kalaupun UU sistem pemilu direvisi ataupun diganti baru, nilai moralitas dari isi UU tersebut tidak dapat dikesampingkan. Sebagaimana ungkapan K. Bertens tentang “quid leges sine moribus”, yang bermakna UU tidak memiliki arti bila tidak disertai dengan moralitas. Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum. Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar untuk memberikan pemahaman dan kesadaran untuk mematuhinya.
Kedua, selain dengan memperkuat supremasi hukum, memberdayakan masyarakat merupakan salah satu strategi pemberantasan korupsi. Masyarakat sebagai kontrol terhadap sistem pemilu harus dilibatkan secara kurang aktif dan kritis. Hal ini akan berhasil bila pola pemberdayaan masyarakat berjalan maksimal. Masyarakat harus dibekali mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para subjek pada saat pemilu akan, sedang, dan telah selesai dilaksanakan, sebagaimana dijamin Pasal 28 f UUD NRI Tahun 1945.
Memang, problem penguatan partisipasi publik hingga kini masih terbentur oleh banyak hal. Masih eksisnya raja-raja kecil dan tokoh informal, adanya ghosop politik oleh elite-elit desa yang dekat dengan akses informasi dan kekuasaan, hingga tidak siapnya masyarakat untuk menjalankan program partisipasi (Jawa Pos, 4 April 2011). Namun, inilah perjuangan yang harus tetap dikobarkan. Masyarakat menjadi aktor yang sangat penting dalam memberantas korupsi, tentunya korupsi pada sistem Pemilu kita. Masyarakatlah yang nantinya akan menjadi pengontrol jalannya kekuasaan dan sebagai laskar penumpas kejahatan korupsi sistem Pemilu.
Ketiga, setiap insan Indonesia harus kembali kepada tatanan moral yang tidak merugikan sesama. Lewat pendidikan karakter yang bersinergi dengan keteladanan sebagai suatu upaya gerakan masal bersama yang diujungnya harus mencapai tahapan universalitas. Sebagaimana pendapat Saratri Wilonoyudho, gerakan itu tidak hanya berhenti pada tataran fisik (moral), melainkan juga mengantarkan kepada getaran-getaran spiritual (agama) (Jawa Pos, 21 Mei 2011).
Nilai-nilai agama dapat digunakan sebagai titik orientasi dan landasan berpijak, sehingga tumbuh semangat dan dukungan yang luas dan mendalam dari masyarakat. Misal, kuatnya semangat amar ma’ruf nahi munkar di kalangan umat Islam dapat dijadikan amunisi dan dasar berpijak dalam pemberantasan korupsi (sistem Pemilu) yang melibatkan masyarakat secara missal (Eggi Sudjana, 2008:48-49).
Dengan demikian, tiga langkah jitu di atas merupakan bagian-bagian terkecil untuk memerangi korupsi yang menggurita pada sistem pemilu di Indonesia. Namun, dari hal-hal kecil itulah kita dapat meraih sesuatu yang besar untuk dapat menghapus korupsi. Dan, diharapkan dengan melaksanakan tiga komponen tersebut, semoga sistem pemilu di Indonesia tidak akan kehilangan makna.
Indonesia akan mempunyai pemimpin yang benar-benar dipilih oleh rakyat dengan hati nurani, memiliki rakyat yang selalu “cerewet” kepada pemimpin demi perbaikan bangsa, dan moralitas semua komponen-komponen dalam sistem pemilu tetap terjaga dengan baik. Kemudian, integritas (kesamaan antara ucapan dan tindakan) setiap insan Indonesia harus menjadi pembakar semangat untuk melaksanakan kiat-kiat jitu memerangi korupsi pada sistem pemilu di Indonesia. Semoga.
Tidak ada komentar
Posting Komentar