Jumat, 08 April 2016

Siasat Pemasaran Pertalite dan Perlindungan Konsumen

Pagi, Kamis, 7 April 2016, ketika berangkat ke kantor, karena bahan bakar minyak (BBM) di motor saya sudah hampir habis, saya ikhlaskan diri mengantre di salah satu SPBU di Surabaya untuk beli premium. Saat itu, antreannya lumayan panjang. 

Begitu sampai giliran mengisi premium, saya disapa orang yang menjaga pompa, "Pagi, Mas." Alhamdulillah, ternyata saya masih keliatan muda. Hehe

"Premium Rp 10 ewu, Mas," kata saya dalam bahasa Jawa sambil saya membuka jok motor. 

"Kalau premium, di pompa nomor dua, Mas. Pertalite saja, Mas?" 

"Gak sido wis, Mas," sambut saya dalam bahasa Jawa sambil saya menutup jok motor dan akhirnya meninggalkan SPBU itu untuk mencari SPBU yang lainnya. Dunia ini tidak selebar daun kelor! 

Saya sengaja untuk langsung meninggalkan SPBU dan tidak ke pompa yang disarankan. Pasalnya, secara kasat mata saja, kalau saya menuruti sarannya, saya harus kembali masuk ke barisan motor yang pada antre. Bukan saya tidak mau antre, terlalu membuang banyak waktu kalau harus begitu. Bisa jadi, saya terlambat masuk ke kantor. 

Lalu, kenapa saya tidak mau mengisi pertalite saja? Saya maunya premium, karena motor saya terbiasa “minum” BBM jenis itu. Takutnya, kalau beda yang “diminum”, akan berakibat buruk bagi motor saya. Selain itu, premium di pompa itu jelas-jelas masih tersedia. Ingat, sebagai konsumen, saya dilindungi oleh hukum yang berlaku! 

Sebelum mengantre, saya tahu betul kalau pompa di SPBU itu menyediakan premium dan pertalite. Tidak ada info soal ketiadaan stok dari keduanya. Dan, saya kebiasaan mengisi premium di pompa itu. 

Mungkin itu siasat baru bagi SPBU untuk melariskan dagangannya: pertalite. Secara, premium menjadi yang paling murah di antara kolega yang lainnya buat roda dua. Mereka memanfaatkan konsumen yang sudah capek-capek antre begitu panjang, tiba di pompa pengisian, mereka “ditodong” untuk membeli apa yang sebenarnya tidak ia kehendaki. Biar tidak kembali masuk ke antrean atau biar tidak kehabisan bahan bakar, akhirnya mereka membelinya. 

Perlindungan Konsumen 

Secara otomatis, setelah mengalami kejadian buruk itu, saya langsung teringat dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen). Undang-undang itulah yang hadir untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, agar tidak dipermainkan secara “nakal” oleh pelaku usaha. 

Merujuk pada Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen, ada enam tujuan dalam perlindungan konsumen. Dua di antaranya yang sangat berhubungan dengan peristiwa yang saya hadapi adalah, pertama, perlindungan konsumen itu bertujuan meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen. Kedua, perlindungan konsumen itu juga bertujuan untuk menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. 

Sebagai konsumen, secara otomatis, saya juga dilindungi oleh UU Konsumen dengan memiliki beberapa hak-hak yang telah dijamin di dalamnya. Hak-hak yang dimaksud ditentukan dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, di antaranya, yaitu “Hak konsumen adalah hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.” 

Di sisi yang lain, pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga tidak merugikan konsumen. Dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen disebutkan, “Kewajiban pelaku usaha adalah memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.” 

Penegakan Hukum Pidana 

Kembali merujuk pada UU Perlindungan Konsumen, yakni Pasal 15 menyebutkan, “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.” Dengan kata lain, ada hak dari konsumen yang harus dikedepankan, yakni untuk memilih barang dan/atau jasa yang dijual oleh pelaku usaha. 

Rumusan sebagaimana dalam Pasal 15 UU Perlindungan Konsumen itu, apabila dilanggar, maka pelaku usaha dapat dikenakan pidana. Pasal 62 ayat (1) menyebutkan, “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).” 

Secara subtansial, aturan mengenai larangan dan pemidanaan itu sudah jelas dan terang-benderang. Namun, penegakannya yang benar-benar masih lemah. Hasil penelitian saya pada tahun 2013 menemukan bahwa rumusan pemidanaan pada UU Perlindungan Konsumen bak macan yang hanya buas di atas kertas. Untuk membaca hasil penelitian saya tersebut, silakan klik di sini

Ada banyak persoalan serius mengapa aparat penegak hukum tidak begitu responsif terkait kejahatan dalam bidang perlindungan konsumen. Salah satu di antaranya adalah lemahnya pemahaman dan kapasitas aparat penegak hukum dalam memahami hakikat dan subtansi UU Perlindungan Konsumen. 

Tawarannya, harus ada peningkatan pemahaman dan kapasitas aparat penegak hukum agar lebih responsif menindak tindak pidana dalam bidang perlindungan konsumen. Dengan begitu, konsumen akan benar-benar terjamin dan terlindungi. Semoga.

Tidak ada komentar

Posting Komentar