Kamis, 19 Mei 2016

Selamat Bertugas, Pak Kapolres!

Sebanyak 22 Kepolisian Resor (Polres) di Jawa Timur mendapatkan pimpinan yang baru. Hal ini menyusul adanya Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/1056/IV/2016 hingga ST/1063/IV/2016 tertanggal 28 April 2016 yang lalu.

Di antara 22 pimpinan baru tersebut, ada beberapa perwira polisi yang pernah bertugas di daerah yang kini dipimpinnya, walaupun dengan jabatan yang berbeda dari sebelumnya. Di sisi yang lain, ada juga perwira polisi yang benar-benar baru, sehingga diharuskan untuk “turun gunung” dalam memahami daerah yang dipimpinnya.

Pergantian pimpinan di tingkat resor ini layak diapresiasi. Harapannya, ada ide-ide segar dari pimpinan yang baru ini agar Polres-Polres yang ada di Jawa Timur dapat optimal melaksanakan tugas pokoknya.

Menurut Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), ada tiga tugas pokok Polri. Pertama, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua, menegakkan hukum. Ketiga, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Tiga tugas pokok yang harus diemban oleh Polri terbilang sangat berat. Dalam menjalankannya, dibutuhkan aparat pelaksana yang berintegritas, berkualitas, dan mempunyai jiwa yang tulus mengabdi untuk republik ini.

Menjunjung Tinggi HAM

Khusus terkait aspek penegakan hukum pidana, Soerjono Soekanto (1982: 20-25) menegaskan, para penegak hukum harus mempunyai kepribadian yang baik dan dapat memberikan teladan dalam kepatuhan hukum. Jika hal itu dipenuhi, maka penegakan hukum itu dapat berlaku efektif dalam arti mempunyai dampak positif.

Selain itu, di era demokratis seperti saat ini, Polri juga dituntut untuk selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dalam setiap melaksanakan tugasnya menegakan hukum pidana. Kiranya hal ini telah diwujudkan dalam sebuah Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.

Jauh sebelum adanya aturan internal tersebut, republik ini juga sudah mewajibkan aparat penegak hukum untuk menjunjung tinggi HAM. Misalnya, Pasal 33 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

Tentu kita masih ingat dengan kasus yang menimpa Kemat, Devid, dan Sugik beberapa tahun silam. Tiga warga di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, itu terpaksa mengakui melakukan pembunuhan yang sesungguhnya tidak pernah mereka lakukan. Pengakuan itu terjadi lantaran mereka mendapatkan siksaan demi siksaan dari oknum kepolisian.

E.A. Pamungkas (2010: 175) menuliskan, sejak awal polisi memang sudah membuat skenario untuk menjebloskan ketiganya ke dalam penjara. Selama proses penyelidikan, polisi menyiksa mereka bertiga agar mengikuti skenario yang dibuat polisi.

Potret buram penegakan hukum pidana di masa lalu tidak boleh terjadi kembali di republik ini. Melalui pimpinan yang baru, institusi kepolisian harus berbenah dan selalu menjunjung tinggi HAM dalam setiap upaya penegakan hukum pidana.

Barda Nawawi Arief (2005: 5-6) mengingatkan, ketidakpercayaan masyarakat akan timbul dan kewibawaan hukum akan menurun apabila masyarakat melihat kenyataan bahwa penegak hukum justru melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai hukum yang seharusnya ditegakkan. Antara lain, nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, kepercayaan, dan cinta kasih antarsesama.

Polisi yang Demokratis

Pergantian jabatan orang nomor satu di jajaran Polres-Polres di Jawa Timur beriringan juga dengan datangnya momen ramadan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, di saat inilah jumlah kejahatan cenderung meningkat. Oleh karena itu, melalui ide-ide segar pimpinan yang baru, korps “baju coklat” diharapkan dapat meredam aksi kejahatan.

Adanya tindakan yang tegas dari kepolisian terhadap pelaku kejahatan dapat menjadi salah upaya untuk meredam aksi kejahatan di momen ramadan. Tentu, tindakan yang tegas itu tidak menyalahi ketentuan mengenai HAM.

Ketegasan itu dimaksudkan agar main hakim sendiri atau “peradilan jalanan” terhadap pelaku kejahatan tidak menjadi kebiasaan di masyarakat. Kalau dibiarkan, maka tindakan seperti itu akan membuat marwah dan martabat hukum tidak ada harganya lagi.

Sementara itu, Barda Nawawi Arief (2005: 4) menyatakan, tugas penegakan hukum sebenarnya hanya merupakan salah satu atau bagian kecil saja dari tugas Polri. Sebagian besar tugas Polri justru terletak di luar bidang penegakan hukum pidana. Misalnya, tugas memelihara ketertiban dan keamanan umum, mencegah penyakit masyarakat, perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat, dan lain sebagainya.

Sudah saatnya kepolisian bersinergi dengan masyarakat dalam mewujudkan ketertiban dan keamanan umum. Pelibatan masyarakat secara aktiv merupakan upaya menekankan bahwa ketertiban dan keamanan umum itu harus dijaga bersama.

Kedekatan yang dibangun dengan melibatkan masyarakat juga dapat dimaknai sebagai perwujudkan dari nilai-nilai demokrasi. Kini, republik ini, membutuhkan polisi yang demokratis. Selamat bertugas, Pak Kapolres!

Tidak ada komentar

Posting Komentar