Jumat, 23 Maret 2018

Ketidakberuntungan Cak Percil dan Cak Yudho

Masih ingat dengan Profesor Beng Beng Ong? Ia adalah ahli patologi forensik dari Universitas Queensland, Brisbane, Australia yang didatangkan oleh Tim Penasihat Hukum Jessica Kumala Wongso, terdakwa dalam persidangan perkara kematian Wayan Mirna Salihin pada 2016 yang lalu.

Di dalam persidangan pada Senin (5/9/2016), Jaksa Penuntut Umum (JPU) keberatan terhadap administrasi izin tinggal keimigrasian Profesor Beng Beng Ong. Ia datang ke Indonesia menggunakan visa kunjungan, tetapi yang bersangkutan menjadi ahli di sidang perkara tersebut. Ia seharusnya menggunakan visa izin tinggal terbatas.

Akhirnya, Profesor Beng Beng Ong dideportasi pada Rabu (7/9/2016) dan dilarang masuk ke Indonesia selama enam bulan. Pihak imigrasi menilai, yang bersangkutan hanya melakukan pelanggaran administratif, bukan tindak pidana. Perbuatannya memenuhi unsur Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Di sisi yang lain, dua pelawak asal Jawa Timur bernama asli Deni Afriandi (Cak Percil) dan Yudo Prasetyo (Cak Yudho) ditahan pihak imigrasi Hong Kong sejak 4 Februari 2018 lantaran penyalahgunaan visa. Mereka diduga manggung dengan menerima honorarium, tapi menggunakan visa turis.

Keduanya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama enam Minggu dengan masa percobaan 18 bulan, sehingga mereka bisa langsung bebas pada Rabu, 7 Maret 2018. Merujuk dari berbagai sumber, dalam pengadilan yang dilaksanakan di Shatin, Hong Kong, hakim berpendapat bahwa ada keadaan khusus dalam kasus ini yang berbeda dengan pelanggaran keimigrasian lainnya. Keduanya telah mengaku bersalah di hadapan hakim atas kesalahan mereka.

Ketidakberuntungan dan Penegakan Hukum

Dalam perkara Profesor Beng Beng Ong, Otto Hasibuan (salah satu Tim Penasihat Hukum Jessica) di dalam persidangan menuturkan, mana ada experts yang tidak dibayar? Artinya, Profesor Beng Beng Ong menerima pembayaran atas jasanya memberikan keterangan sebagai ahli. Hal yang sama juga dilakukan oleh dua pelawak yang mempunyai fans berjuluk “Peye Mania” itu, yakni menerima pembayaran atas jasanya memberikan hiburan.

Meskipun ketiganya terlilit perkara yang sama, tetapi lain soal mengenai keberuntungan. Profesor Beng Beng Ong hanya perlu diperiksa beberapa jam dan kemudian bisa kembali ke negaranya, sedangkan Cak Percil dan Cak Yudho harus merasakan dinginnya penjara Lai Chi Kok dan menjalani persidangan di Shatin, Hong Kong.

Perbedaan soal keberuntungan itu, salah satunya, ditentukan oleh kebijakan hukum negara yang bersangkutan. Perbuatan yang dilakukan Profesor Beng Beng Ong cukup disebut sebagai pelanggaran administratif, sehingga ia tak perlu susah-susah meratapi nasib di balik jeruji. Ia hanya cukup segera kembali ke negaranya dan jangan kembali ke Indonesia dalam kurun waktu enam bulan ke depan. Sangat kontras jika dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Cak Percil dan Cak Yudho di Hong Kong.

Undang-Undang Imigrasi Hong Kong, pada Bab 115A, menetapkan, izin yang diberikan kepada seseorang untuk berada di Hong Kong sebagai pengunjung tunduk pada tiga ketentuan, yakni: (1) ia tidak akan menerima pekerjaan, baik dibayar atau tidak dibayar; (2) ia tidak boleh mendirikan atau bergabung dalam bisnis apapun; dan (3) ia tidak akan menjadi mahasiswa di sekolah, universitas, atau institusi pendidikan lainnya. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut akan dikenakan denda HKD 50.000 dan penjara selama dua tahun.

Oleh karenanya, pemerintah perlu menggeliatkan kembali sosialisasi tentang keimigrasian kepada warga negara Indonesia (WNI) yang hendak bepergian ke luar negeri. Sementara itu, untuk WNI yang sudah berada di luar negeri, pemerintah perlu menggandeng organisasi buruh migran yang tersebar di beberapa negara. Jangan biarkan ada yang bernasib sama seperti Cak Percil dan Cak Yudho.

Sebenarnya, di Indonesia, perbuatan menyalahgunakan izin tinggal dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pasal 122 huruf a UU No. 6 Tahun 2011 menentukan, setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian izin tinggal yang diberikan kepadanya dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500 juta.

Data Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menyebutkan, selama 2016 per 16 Desember tercatat 8.116 pelanggaran keimigrasian. Dalam konteks ini, yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat memberikan efek jera bagi pelanggar.

Apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Profesor Beng Beng Ong adalah cerminan konkrit penegakan hukum keimigrasian di negeri ini. Kesannya sangat “lunak” jika dibandingkan dengan apa yang dialami oleh Cak Percil dan Cak Yudho di Hong Kong. Tak berlebihan kiranya menyebut pelanggar tidak akan jera dan membuka kesempatan bagi calon pelanggar lainnya untuk mencatatkan perbuatannya sebagai pelanggaran keimigrasian di negeri ini.

Hong Kong, melalui penegakan hukum keimigrasian yang begitu “ketat dan berat” terhadap Cak Percil dan Cak Yudho, hendak memberi pesan kepada kita semua bahwa kedaulatan negara adalah harga mati. Di sisi yang lain, penegakan hukum keimigrasian yang sangat “lunak” membuat penulis khawatir sekaligus berharap semoga kedaulatan negara tercinta ini senantiasa dijaga marwah dan martabatnya.

Tidak ada komentar

Posting Komentar