Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepada daerah (pilkada) tahun 2018 tinggal menghitung hari. Ada 171 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak pada 27 Juni 2018 mendatang.
Dasar hukum pelaksanaan pilkada serentak tahun ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang. Sebuah kebijakan hukum yang lahir melalui pergulatan politis yang sangat sarat makna.
Kehadiran undang-undang sebagai dasar hukum pelaksanaan pilkada serentak disiapkan, salah satunya, untuk menentukan dan menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang kerap terjadi. Seperti dalam kebijakan hukum sebelumnya, UU No. 10 Tahun 2016, tetap memuat perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan selama dalam masa penyelenggaraan pilkada serentak beserta ketentuan pidananya.
Sebagai contoh, misalnya, pada pelaksanaan Pilkada Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI) 2017 yang lalu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI merilis, untuk putaran pertama, dari 308 laporan dan temuan terkait dengan pelanggaran, terdapat dua tindak pidana. Untuk putaran kedua, dari 108 laporan dan temuan terkait dengan pelanggaran, terdapat lima tindak pidana.
Ditemukannya tindak pidana dalam pelaksanaan pilkada menunjukkan bahwa kehadiran dan penggunaan hukum pidana dalam suksesi kepemimpinan di negeri ini masih sangat diperlukan. Walaupun hukum pidana bersifat represif, namun sesungguhnya mengandung unsur preventif, karena dengan adanya ancaman dan penjatuhan pidana terhadap tindak pidana dalam pilkada diharapkan ada efek pencegahan (Barda Nawawi Arief, 2014: 182).
Pembaruan Kebijakan Kriminalisasi
Pada dasarnya, menurut Barda Nawawi Arief (2005: 30), terdapat dua masalah sentral mengenai kebijakan kriminalisasi. Pertama, mengenai masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana. Kedua, mengenai masalah penentuan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Kebijakan kriminalisasi dalam UU No. 1 Tahun 2015 diatur mulai Pasal 177 hingga Pasal 198. Seluruh pasal tersebut meliputi setiap tahapan-tahapan yang ada pada gelaran pilkada, yakni mulai dari tahapan pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih, pendaftaran dan verifikasi peserta pilkada, kampanye, dana kampanye, serta pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi hasil penghitungan sementara.
Sementara itu, kini, menurut UU No. 10 Tahun 2016, tindak pidana dalam pilkada mengalami pembaruan. Ambil contoh, misalnya, disisipkan beberapa pasal di antara pasal-pasal yang telah ada sebelumnya, seperti hadirnya Pasal 187A yang mengatur mengenai larangan melakukan politik uang (money politic). Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum, pembaruan kebijakan kriminalisasi dalam UU No. 16 Tahun 2016 merupakan upaya menyelaraskan dan menyempurnakan beberapa ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 2015 dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Roeslan Saleh (1983: 40), dalam bukunya “Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif” menegaskan, menghukum haruslah suatu campur tangan terkendalikan, tepat, mempunyai strategi, dirumuskan dengan tepat, dan dapat menentukan akibat-akibat yang telah diperhitungkan sebaik-baiknya. Tujuan pidana tidak lagi sesuatu dalam dirinya. Ia kembali menegaskan, pidana adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat yang berfaedah.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana, menurut Gene Kassebaum (Lihat, Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2010: 149), merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Namun demikian, sebagaimana pendapat Roeslan Saleh (1983: 30) dalam bukunya “Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana”, hukum pidana adalah suatu hukum sanksi yang mengupayakan untuk dapat mempertahankan agar kehidupan bersama akan selalu dalam keadaan lestari.
Harus Ditegakkan!
Pembaruan kebijakan kriminalisasi dalam UU No. 10 Tahun 2016, idealnya, akan menjadikan pelaksanaan pilkada serentak semakin baik dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Tentu, kebijakan kriminalisasi tersebut tak hanya “buas di atas kertas”, tetapi bagaimana kemudian penegak hukum secara profesional mampu menegakkannya. Dengan kata lain, kebijakan kriminalisasi dalam pelaksanaan pilkada serentak harus ditegakkan!
Dengan demikian, jika ada himbauan untuk menghentikan sementara proses penegakan hukum pidana selama pelaksanaan pilkada serentak tahun ini, maka tak berlebihan menyebutnya sebagai langkah yang mengabaikan kepentingan masyarakat dalam bingkai negara hukum yang demokratis. Bagaimana kemudian membiarkan calon pemimpin yang terlibat dalam perbuatan culas memimpin masyarakat yang mendambakan keadilan?
Permasalahannya kemudian, sering kali penegakan suatu peraturan dikaitkan dengan dua sisi dilematis antara keinginan menjaga ketentraman atau kedamaian dengan penegakan hukum. Di tengah posisi dilematis ini, tampaknya upaya menempuh jalur yang sesuai dengan apa yang tertulis dalam undang-undang merupakan pilihan yang tepat bagi para pelaksana aturan (Ramlan Surbakti, dkk, 2011: 26).
Jauh sebelum kebijakan kriminalisasi dalam pelaksanaan pilkada serentak ini terbentuk, Roeslan Saleh (1971: 16) telah menuturkan, pengaruh hukum pidana bukan semata-mata ditujukan kepada si penjahat, tetapi juga untuk mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu masyarakat pada umumnya, untuk mentaati norma-norma yang berlaku. Jadi, apakah masih dapat diharapkan munculnya pemimpin yang berkualitas dalam pilkada serentak ini ketika nyata ada tindak pidana, namun hukum pidana tidak ditegakkan?
Upaya menempuh jalur yang telah ditentukan oleh undang-undang sedapat mungkin mengeliminir pertimbangan subjektif penegak hukum. Selain itu, penegak hukum juga harus konsisten menegakkan hukum terhadap praktik-praktik culas dalam pilkada serentak. Dengan demikian, kepastian dan keadilan dalam pelaksanaan pilkada serentak melalui penegakan hukum pidana juga dapat terpenuhi.
Upaya penegakan hukum, khususnya hukum pidana, dalam pelaksanaan pilkada serentak idealnya juga melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Salah satu ukuran pemilu yang demokratis adalah partisipasi masyarakat dalam pemilu tidak hanya ikut serta memilih, tetapi juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan setiap tahapan dan nontahapan pemilu (Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto, 2013: 24 dan 40).
Oleh karenanya, menurut Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) (2013: 67), proses sosialisasi terhadap tugas pengawasan dalam rangka pencegahan mesti dilakukan agar masyarakat memahami dan turut berpartisipasi di dalamnya. Lebih lanjut, jika ada mekanisme yang memungkinkan memberikan mereka perlindungan, tentunya akan memudahkan pemilih untuk melaporkan setiap pelanggaran secara lebih leluasa (Perludem, 2013: 50).
Tak lain dan bukan, upaya penegakan hukum pidana dengan melibatkan partisipasi aktiv masyarakat bertujuan untuk menciptakan pilkada serentak yang aman dan damai. Selebihnya, upaya ini juga dapat dimaknai sebagai wujud nyata peningkatan rasa nasionalisme bangsa.
-
Terbit di Memorandum, 25 Maret 2018.
Tidak ada komentar
Posting Komentar