Rabu, 25 Mei 2016

Mengoptimalkan Mediasi Penal

Kerusuhan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Banceuy, Bandung, menambah panjang deretan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya. Mengenai peristiwa ini, salah satu hal yang ramai disorot dan diperbincangkan adalah soal kelebihan kapasitas (overcapacity) yang terjadi di dalam lapas.

Dua tahun silam, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dalam Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional 2015-2019 (2014: 22) telah menyebutkan, ada tiga upaya untuk mengatasi persoalan overcapacity. Pertama, melalui kebijakan pemberian remisi, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat.

Untuk merealisasikan upaya yang pertama, pemerintah didesak untuk segera merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Remisi. Kebijakan eksekutif itulah yang menjadi salah satu pemicu overcapacity di lapas.

Kedua, melakukan redistribusi narapidana atau tahanan dari lapas yang sudah kelebihan ke lapas yang belum kelebihan kapasitas. Ketiga, melaksanakan pembangunan lapas.

Selain tiga solusi di atas, masih ada beberapa tawaran agar lembaga pembina pelaku kejahatan itu dapat merebut kembali marwahnya. Di antaranya adalah penerapan alternatif pemidanaan, misalnya perumusan pidana kerja sosial.

Jenis pidana yang belum terakomodir dalam sistem pemidanaan di Indonesia itu, dalam konsepnya, mengharuskan narapidana mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan cara menjadi pelayanan bagi masyarakat untuk kerja-kerja sosial. Pidana yang dijatuhkan diharapkan mampu memberikan efek jera sekaligus pelajaran bagi narapidana.

Pidana Penjara Masih Dibutuhkan

Lalu, apakah pidana penjara yang selama ini ada masih layak dipertahankan eksistensinya? Hal ini mengingat fakta bahwa pidana jenis inilah yang membuat lapas menjadi overcapacity.

Roger Hood (1972: 215) menyatakan, pidana penjara sekurang-kurangnya memisahkan penjahat dari masyarakat. Ditambahkan Barda Nawawi Arief (2010: 96), dengan dirampasnya kemerdekaan si pelaku, maka jelas ruang geraknya untuk melakukan kejahatan dapat dibatasi. Di sisi yang lain, masyarakat merasa aman dari gangguan perbuatan jahat selama si pelaku dirampas kemerdekaannya.

Pendapat sebagaimana tersebut di atas bersesuaian dengan kehendak pemerintah Indonesia dalam hal mempertahankan pidana penjara. Media massa akhir-akhir ini menyebutkan, pemerintah siap untuk membangun lapas-lapas baru. Tak tanggung-tanggung, untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah bersiap-siap merogoh kocek hingga Rp 1 triliun.

Dengan demikian, negeri ini masih membutuhkan pidana penjara sebagai bentuk jerat nestapa bagi pelaku kejahatan. Namun, tentu, harus dipikirkan sebuah upaya alternatif agar pidana penjara tidak menjadi satu-satunya, sehingga persoalan overcapacity dari hari ke hari dapat mulai terurai.

Mengoptimalkan Mediasi Penal

Selain merumuskan konsep pidana kerja sosial, tawaran untuk mengurai persoalan overcapacity adalah penggunaan restorative justice dalam perkara pidana tertentu. Konsep ini sesungguhnya sudah terakomodir di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, hanya untuk sektor-sektor tertentu saja, misalnya diimplementasikan khusus bagi sistem peradilan pidana anak.

Konsep restorative justice semakin berkembang dengan munculnya konsep mediasi penal. Lahirnya konsep ini dilatarbelakangi oleh ide pembaruan hukum pidana di Indonesia, yakni mengurangi efek negatif dari sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan yang tengah berlangsung di negeri ini.

Dalam mediasi penal, pelaku dan korban dihadapkan pada suatu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan dengan difasilitasi oleh mediator. Hasil akhir yang diutamakan dalam proses ini bukan menentukan kalah dan menang, tetapi lebih kepada win-win solution.

Namun demikian, menurut Agus Rahardjo (2008: 99-100), tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan melalui mediasi penal. Dalam penelitiannya, mediasi penal banyak diterapkan dalam perkara yang merupakan tindak pidana yang dirumuskan secara formil dan terkategori sebagai tindak pidana aduan. Lebih lanjut, mediasi penal baru digunakan ketika perkara pidana tersebut berkaitan erat dengan para pihak serta berdasarkan kesepakatan para pihak pula.

Dengan demikian, tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan melalui mediasi penal. Namun, ada secercah asa yang layak diperjuangkan, yakni mengoptimalkan mediasi penal untuk perkara-perkara tindak pidana yang berkaitan erat dengan kepentingan korban.

Perlu dimengerti bersama, bahwa mereka yang berada di lapas bukan hanya narapidana, tetapi ada juga yang masih berstatus tahanan alias masih dalam proses pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama. Kalau misalkan pertanggungjawaban para tahanan yang didakwa melakukan tindak pidana dapat diselesaikan melalui mediasi penal, maka tentu hal ini akan mengurai dan mengurangi persoalan overcapacity di dalam lapas.

Sementara itu, sebelum jauh melangkah ke proses persidangan pidana, idealnya juga pihak kepolisian turut andil dalam mengoptimalkan mediasi penal ini. Tentu, pilihan itu merupakan hasil kesepakatan dan kerelaan antara pihak korban dan pelaku. Dengan demikian, jika penyelesaian perkara pidana itu tuntas di awal, maka persoalan penumpukan perkara pidana maupun overcapacity di lapas akan segera terurai.

Optimalisasi mediasi penal ini sesungguhnya bukan merupakan upaya untuk menegasikan eksistensi pidana penjara. Mediasi penal hadir dan perlu dioptimalkan untuk dapat memilah siapa-siapa saja yang layak diberikan pidana penjara, sehingga persoalan overcapacity tak lagi membuat lapas di negeri ini yang kian hari kian kurang berseri-seri.

-

Terbit di Harian Madura, 11 Mei 2016.

6 komentar

  1. Mediasi penal memang sangat cocok untuk menanggulangi masalah kelebihan kapasitas (overcapacity) tapi apakah jika dari pihak korban atau keluarga yang memilih tidak mau melakukan mediasi penal apakah bisa menjadi tindak keadilan di negeri ini? Dengan alasan tindak kejahatan sudah sewajarnya mendapatkan hukuman karena Indonesia memang berpotensi menghukum yang bersalah dan bagaimana tindakan negara terhadap ini dan apakah bisa terdakwa meminta mediasi penal juga??

    BalasHapus
  2. Permasalahan overcapacity tahanan memang menjadi masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini. Karena ketidakseimbangan penghuni didalamnya, lebih banyak tahanan yg masuk dibanding keluar. Saat ini terjadi over kapasitas dua sampai tiga kali lipat dan sudah dapat digolongan dalam kategori extreme over capacity.

    Hal ini perlu diperhatikan. Mengingat juga kepadatan penghuni dalam rutan maupun lapas dapat berdampak kepada kesehatan mereka. Miris, jika melihatnya karena sungguh terlihat tdk manusia keadaan disana. Oleh sebab itu, perlu diadakannya suatu alternatif. Maka saya sangat setuju dengan mediasi panel. Meskipun mediasi panel di indonesia dianggap kurang cukup kuat karena dalam kasus pidana selama ini kasus yg dpat di mediasi adalah yg terkait dengan kasus pidana anak, kekerasan dalam Rumah Tangga, pemidanaan dalam kasus Hak Cipta. Maka, menurut saya perlu diadakannya perluasan terhadap kasus yg bisa diselesaikan dgn mediasi. Namun tdk jika persoalan kasus yg tergolong berat. Karena dgn membangun rutan maupun lapas itu tdk dpat menjadikan solusi jika tdk ada mediasi panel, maka overcapacity akan tetap terjadi.
    Tdk hanya memikirkan persoalan kapasitas. Namun, penting pula untuk memikirkan kualitas penghuni tahanan. Agar ketika keluar mereka dapat menjadi pribadi yg lebih baik dan merubah hidupnya kearah yg benar. Maka saya sangat mendukung DPR agar segera meyelesaikan dan men-sahkan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan.

    Vivin Nurviana
    AS-B
    931109518

    BalasHapus
  3. Overcapacity itulah permasalahan yang terjadi di Bandung. Ketika suatu lapas sudah over maka para napi atau tahanan akan merasakan dampaknya sehingga perlunya suatu pembangunan lapas atau dipindah kelapas lain.
    Mediasi penal ini Dipertemukannya pelaku dan korban kejahatan secara langsung mengubah cara pandang hukum pidana yang selama ini dikenal statis didalam menyelesaikan sengketa dengan proses dan prosedur yang tetap kearah hukum pidana yang humanistis, karena di dalam mediasi penal fokus utamanya bukan pada pembalasan terhadap tindakan pelaku, tapi pada upaya penyembuhan dan perdamaian.
    Ketika kasus tahanan itu sudah selesai dengan media penal maka dana untuk makan bisa dialosikan untuk pembangunam infratruktur lapas.
    Yang saya binggungkan ketika perlindungan yang kurang memadai kepada korban, karena tidak sedikit korban yang mengalami reviktimasi ketika dihadapkan secara langsung dengan pelaku kejahatan. Biasanya sikorban itu pasti marah, pikiranya kemana-mana.

    Nama :Ali Muharom
    NIM : 931113018
    Kelas : B

    BalasHapus
  4. Overcapacity itulah permasalahan yang terjadi di Bandung. Ketika suatu lapas sudah over maka para napi atau tahanan akan merasakan dampaknya sehingga perlunya suatu pembangunan lapas atau dipindah kelapas lain.
    Mediasi penal ini Dipertemukannya pelaku dan korban kejahatan secara langsung mengubah cara pandang hukum pidana yang selama ini dikenal statis didalam menyelesaikan sengketa dengan proses dan prosedur yang tetap kearah hukum pidana yang humanistis, karena di dalam mediasi penal fokus utamanya bukan pada pembalasan terhadap tindakan pelaku, tapi pada upaya penyembuhan dan perdamaian.
    Ketika kasus tahanan itu sudah selesai dengan media penal maka dana untuk makan bisa dialosikan untuk pembangunam infratruktur lapas.
    Yang saya binggungkan ketika perlindungan yang kurang memadai kepada korban, karena tidak sedikit korban yang mengalami reviktimasi ketika dihadapkan secara langsung dengan pelaku kejahatan. Biasanya sikorban itu pasti marah, pikiranya kemana-mana.

    Nama :Ali Muharom
    NIM : 931113018
    Kelas : B

    BalasHapus
  5. Setiap tindak pidana tidak harus berujung dipenjara sehingga daya tampung rutan dan lapas menjadi overcapacity, padahal efektifitas pidana penjara belum tentu bisa memberikan efek jera dan cenderung memberikan stigma sosial dari masyarakat. Apalagi yang berada di dalam lapas tidak hanya narapidana, namun juga ada yang masih dalam proses pemeriksaan di pengadilan tingkat pertama. Setidaknya, dengan adanya mediasi penal ini dapat mengurangi masalah overcapacity dalam Indonesia yang mirisnya tiap tahun mengalami peningkatan.

    Nama:Muhammad Hafidz Amrulloh
    NIM : 931100118
    Kelas : AS_A

    BalasHapus
  6. Sistem pemidanaan saat ini memang bisa dikatakan tidak tepat, sehingga setiap orang dengan mudah masuk penjara dan menyebabkan kondisi lapas overkapacity, untuk mengatasi permasalahan tersebut mungkin dengan mengurangi penahanan untuk pidana pidana ringan seperti perkelahian agar dilakukan mediasi daripada langsung penjara. Dan masih diibutuhkan perubahan sistem peradilan, jadi lapas atau rutan untuk dijadikan sebagai keputusan terakhir dalam memidanakan orang sehingga tidak tambah terus menerus. Dan sebaiknya agar para napi diharuskan mendapatkan pembinaan dengan baik, sehingga menunjang narapidana untuk bebas dan tidak mengulangi kejahatan nya setelah selesai menjalani masa pidana.
    Saya mendukung dengan adanya mediasi penal tersebut, setidaknya merupakan salah satu cara mengatasi lapas overkapacity, Mediasi penal ini sebagai alternatif sistem peradilan pidana sangat diperlukan, dikarenakan diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara, dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan, dan memperkuat memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan serta penyelesaian sengketa di samping proses menjatuhkan pemidanaan.

    Ana Minhatul Maula
    931106318
    Hukum Acara Pidana (B)

    BalasHapus